Marketing zkumparan

Vie Home, Debut Hit Bams di Bisnis Furnitur

Vie Home, Debut Hit Bams di Bisnis Furnitur

Bagi Bambang Reguna Bukit yang populer disapa Bams Samson –mantan vokalis grup band Samson– dunia musik dan bisnis furnitur itu beda-beda tipis. Sama-sama berada di lingkup seni dan kreativitas, keduanya merupakan bagian dari leisure economy; menciptakan gaya baru ekonomi yang mengedepankan moment dan experience.

Bams Samson --mantan vokalis grup band Samson

Maka, ketika bersama sang istri, Mikha Vita Wijaya, terjun merintis usaha furnitur tahun 2010, Bams pun mengaku sangat menikmatinya. Ia merasa menemukan satu hal baru yang menantang sekaligus menyenangkan. Apalagi, sang istri juga berasal dari keluarga pebisnis furnitur, sehingga liku-liku bisnis furnitur menjadi bahan diskusi menarik.

Usaha furnitur itu diberi nama Vie. Berasal dari kata c’est la vie, bahasa Prancis yang berarti hidup. Bams berharap, Vie benar-benar menjadi tempat yang menggairahkan, hidup, dan sekaligus menghidupi keluarga. “Kami suka dan menikmati bisnis ini, sehingga sampai sekarang terus kami jalani,” ujarnya. Ia mengaku banyak dibantu istrinya dalam hal desain, produksi, sekaligus pemasaran.

Setelah delapan tahun berjalan, kini Bams mantap membuat brand, desain, dan lini produk secara mandiri. Ada tiga lini bisnis yang dikembangkannya, yakni Vie for Living, Vie Home, dan Karaca Indonesia. Masing-masing memiliki target pasar yang berbeda. Vie for Living untuk kelas A dan B, Vi Home untuk target pasar B dan C, sedangkan Karaca adalah brand dari Turki berupa piring gelas yang diproses secara halal.

Diungkapkan Bams, seperti halnya bisnis lain, bisnis furnitur pun harus spesifik menentukan target dan perilaku pasar. Tidak seperti zaman dulu yang bisa menggarap semua kelas pasar tanpa sekat, kini semuanya harus fokus dan spesifik karena modal yang dibutuhkan lumayan besar. Karena itu, demi mendapatkan hasil yang optimal, ia pun mempelajari detail gaya hidup dan persepsi konsumen terhadap furnitur.

Contohnya, terkait dengan pilihan kualitas furnitur, Bams tidak mau mengambil risiko. Kendati kebanyakan konsumen mengutamakan desain sebagai alasan memilih furnitur, tetap saja kualitas material tidak boleh diabaikan. “Kami menjual produk yang tidak hanya dari desain yang bagus, namun juga dari segi bahan dapat diandalkan sehingga konsumen tidak perlu ganti-ganti furnitur,” ungkap Bams. Ia membiasakan menjelaskan kepada konsumen bahan-bahan yang digunakan yang umumnya kayu dari Jawa.

Dengan perlakuan seperti itu, tak heran, peminat Vie for Living di gerainya adalah konsumen loyal dan ekspatriat. Bahkan Bams menandai, awalnya sekitar 80% konsumen di gerainya adalah ekspat. Namun sekarang, perlahan-lahan mulai bergeser menjadi 50:50. Diakuinya, karakter ekspat berbeda dengan orang Indonesia. “Mereka lebih bertanya secara spesifik, mulai dari material hingga hal kecil seperti paku pun ditanyakan,” cerita Bams. Hal itu justru memacunya untuk membuat produk dengan kualitas yang bagus.

Berkat ketekunannya, kini Vie for Living sudah menembus Abu Dhabi, Malaysia, Singapura, Italia, Amerika Serikat, dan negara-negara Timur Tengah. Tanpa mau mengungkap secara terperinci, Bams mengaku kinerja Vie for Living bagus. “Sales-nya sudah dua kali lipat dari tahun lalu,” ungkapnya. Adapun gerainya di Indonesia –di kawasan Kemang, Jakarta Selatan– menjadi destinasi belanja ekspat berbagai negara.

Lain halnya dengan Vie Home yang kini sedang getol dipasarkan. Untuk Vie Home yang menyasar kelas menengah, strategi pemasaran yang dijalankan agak berbeda. Pertama, meskipun tetap mempertahankan kualitas, harganya dibuat lebih terjangkau, Rp 600 ribu- jutaan. Kedua, selain mendirikan toko fisik, Vie Home juga dijual secara online, baik melalui website maupun marketplace seperti Tokopedia. Ketiga, Vie Home memanfaatkan material lokal, khususnya kayu khas asli Indonesia, serta menggandeng desainer dan perajin lokal. Biasanya, Bams mengajak perajin melakukan brainstorming untuk menyamakan ide desain yang akan diwujudkan.

Bagi Bams, di sinilah tantangan bisnis gaya hidup furnitur, yakni buatan manusia, human made. Untuk produk buatan manusia, kontrol kualitas jelas lebih sulit daripada buatan mesin. Tantangan lainnya, perlunya edukasi ke pasar Indonesia agar mengerti natural finishing. “Orang Indonesia biasanya maunya diwarnain atau lebih ke Europe classic,” ungkap Bams yang saat ini memiliki 30 karyawan. “Padahal, justru kami ingin menonjolkan kenaturalan warna aslinya di finishing-nya. Ini yang sering membuat berbeda pendapat. Ini yang susah untuk mengedukasi orang Indonesia,” katanya mengeluh.

Kendati masih banyak tantangan, Bams optimistis bisnis yang digelutinya ini bakal moncer. Pasalnya, Vie Home dihadirkan memang khusus membidik generasi milenial, segmen muda yang diyakini pengeluarannya akan mendominasi di lima tahun ke depan. “Vie Home dengan desain yang sophisticated ditawarkan dengan harga lebih terjangkau,” kata Bams. Selain itu, 5-10 tahun lagi kelas menengah akan lebih menggemuk.

Pasar Indonesia ke depan akan lebih besar. Untuk itu, Bams pun bersiap-siap ekspansi dengan membuka gerai baru dan bekerjasama dengan department store papan atas, seperti Sogo atau Seibu, sebagai kanal salah satu lini produknya, Karaca.

Agar sukses ke depan, menurut Bams, yang penting jangan khianati konsumen. Sejak awal ia berpegang teguh membangun kepercayaan konsumen sehingga tidak perlu beriklan besar-besaran untuk memikat mereka. Ia yakin, dengan cara seperti itu, nantinya ada orang yang loyal dan merekalah yang akan menyebarkan informasi mengenai produknya. Selain itu, “Saya memilih lebih baik gambling dengan membuat ide baru menciptakan tren, daripada ikut-ikutan tren yang berkembang,” katanya menegaskan.

Dyah Hasto Palupi dan Sri Niken Handayani


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved