Trends

Memulai Corporate e-Learning

Memulai Corporate e-Learning

Oleh: Rahadi Catur Yuwono M.M. – Marketing Manager Online Learning PPM Manajemen

Rahadi Catur Yuwono M.M. – Internet Marketing Passionate | Executive Development Program | PPM Manajemen

Namun, pada kenyataannya banyak perusahaan yang masih nyaman dengan pembelajaran konvensional sehingga belum siap dan mampu memanfaatkan teknologi yang satu ini. Lalu apa penyebabnya?

Hal pertama yang perlu dipertimbangkan oleh organisasi yang mempunyai niatan untuk menjadikan e-learning sebagai bagian nyata dari salah satu strategi pembelajaran organisasi adalah memastikan organisasi tersebut siap untuk berubah.

Borotis & Poulymenakou (2004) mendefinisikan e-learning readiness (ELR) sebagai kesiapan mental dan fisik suatu organisasi dalam hal pemanfaatan teknologi e-learning. Model ELR ini dirancang untuk menyederhanakan proses dalam memperoleh informasi dasar untuk membantu organisasi dalam mendesain sistem yang tepat, mengembangkan metode pengukuran evaluasi kesuksesan e-learning, serta membantu menyeleraskan antara desain pembelajaran dengan kebutuhan pembelajar. Hal tersebut dibaginya menjadi tujuh kelompok, yaitu :

1. Psychological Readiness

Faktor terbesar yang memengaruhi sukses atau gagalnya pengembangan e-learning pada perusahaan adalah kesiapan psikologis orang-orang yang ada pada perusahaan tersebut baik top level sampai kepada pengguna e-learning itu sendiri.

Keterbukaan dalam berpikir terhadap sesuatu yang baru menjadi pintu masuk teknologi e-learning yang akan dikaji lebih lanjut. Kalau belum apa-apa sudah ada penolakan atau resistensi tanpa terlebih dahulu mencoba untuk mendengarkan dan memahami apa itu e-learning, hal ini diyakini akan sangat sulit bagi perusahaan untuk memanfaatkan teknologi yang satu ini.

2. Sociological Readiness

Faktor ini mempertimbangkan aspek interpersonal para karyawan di dalam perusahaan. Bagaimana karyawan yang satu dengan lainnya saling berkomunikasi dan memengaruhi terhadap penggunaan e-learning di perusahaan, turut menentukan sukses atau tidaknya pemanfaatan e-learning.

3. Environment Readiness

Ini menjadi faktor yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan. Contohnya adalah mengenai ketersediaan jaringan internet di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari jumlah penetrasi pengguna Internet di Indonesia. Menurut data survei yang dilakukan oleh Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, penetrasi internet di Indonesia telah mencapai angka 54,68%. Dari total 262 juta penduduk Indonesia, diperkirakan hanya 143,26 juta jiwa yang telah terhubung dengan internet, sementara sisanya belum dapat menikmati fasilitas internet.

4. Human Resources Readiness

Strategi pengembangan sumber daya manusia selalu menjadi pilihan yang sulit apakah perusahaan akan membentuk tim yang berdedikasi untuk mengembangkan e-learning atau lebih memilih untuk berkolaborasi dengan mitra yang memang andal dan terbukti sukses dalam mengembangkan e-learning, baik secara infrastruktur, kreativitas konten, dan desain pembelajaran. Sehingga seluruh aspek dalam sistem e-learning dapat berjalan dengan baik.

5. Technology Readiness

Kesiapan infrastruktur teknologi terdiri dari perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat keras meliputi ketersediaan komputer, server, jaringan internet. Sedangkan perangkat lunak yang paling fundamental adalah Learning Management System (LMS). LMS merupakan perangkat lunak yang dirancang untuk mengelola semua proses belajar mengajar dalam metode daring.

6. Financial Readiness

Faktor ini berkaitan dengan besarnya anggaran yang akan dikeluarkan, analisis investasi, serta segala instrumen dalam manajemen keuangan.

7. Content Readiness

Faktor ini berkaitan dengan kesiapan konten pembelajaran baik dari sisi strategi, sasaran pembelajaran, jenis konten e-learning, serta berapa banyak yang akan diproduksi untuk memenuhi kebutuhan organisasi.

Model e-learningreadiness tidak hanya untuk mengukur tingkat kesiapan perusahaan untuk mengimplemantasikan e-learning. Tetapi yang lebih penting adalah dapat mengungkap faktor atau area mana yang masih lemah dan memerlukan perbaikan, dan area mana sudah dianggap berhasil atau kuat dalam mendukung implementasi e-learning.

Model e-learning readiness pada tahap analisis digunakan untuk menyusun dokumen kebutuhan yang menjadi base line untuk tahap desain, pengembangan, dan implementasi. Pada tahap evaluasi, model e-learning readiness digunakan untuk mengukur keberhasilan dan menentukan recycling decission untuk proses perbaikan pada periode berikutnya.

Lalu, bagaimana dengan perusahaan Anda, apakah sudah siap melakoni perubahan?


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved