Marketing Trends zkumparan

Peluang Besar Private Label di e-Commerce

Peluang Besar Private Label di e-Commerce

Industri e-commerce atau marketplace di negeri ini sudah penuh sesak. Persaingan pun tak bisa dielakkan lagi. Para pemain berlomba-lomba menjajakan produknya dengan berbagai aktivitas pemasaran yang jorjoran agar menjadi pilihan pelanggan.

Teddy Arifianto

Selanjutnya, Berrybenka memiliki private label Berrybenka Label untuk produk sepatu, pakaian, dan tas wanita. Mataharimall.com memiliki private label Mavis & Massilca (fashion). Adapun Blibli.com memiliki private label Papercut (fashion).

Teddy Arifianto, Head of Corporate Communications & Public Affairs JD.id, menjelaskan bahwa private label dibuat agar ada diferensiasi dari e-commerce lain. Hal ini dilakukan karena pasar Indonesia menarik. Orang senang dengan barang yang desain, harga, dan jenisnya unik. “Kami bukan marketplace lho. Semua barang, kami kontrol dan kelola sendiri. Untuk private label, tentunya agar ada diferensiasi dari pemain e-commerce lain,” katanya. Bisa dibilang JD.id merupakan e-commerce yang petama kali mengeluarkan private label, terutama yang business to customer (BtoC).

Dalam mengelola private label, JD.id menggandeng produsen lokal atau perancang busana. Misalnya, untuk merek Joy bekerjasama dengan produsen handuk. Namun, kontrol dan desain produk ada dalam kendali JD.id dan ada divisi khusus Joy Living. Merek Joy pada produknya selalu menggunakan gambar kuda putih yang menjadi maskot JD.id. Adapun merek Stylehaus selalu menggandeng perancang ternama Indonesia, salah satunya Barli Asmara.

Private label JD.id sudah dimulai tahun lalu. Responsnya, menurut Demmy Indranugroho, Head of Marketing-nya, sangat memuaskan. Namun, ia tidak menyebut angka pasti omset penjualannya. Contohnya, tas ransel merek Joy seharga Rp 16 ribu dengan jumlah 10 ribu unit yang dipasarkan bisa ludes dalam waktu 3-5 menit saja. Hal ini sampai ramai dibicarakan di Twitter dan Instagram.

Namun, yang paling bagus pertumbuhan penjualannya adalah fashion yang ditangani divisi fashion yang terpisah dari divisi lainnya. “Kami menggandeng perancang kelas atas seperti Barli Asmara dengan merek IKYK. Barli kami gandeng karena dia butuh kanal untuk memasarkan produknya secara online dan kami butuh Barli untuk memperkenalkan private label Stylehaus,” kata Demmy. Barli dikenal sebagai perancang busana mahal tetapi bisa menjual rancangannya di JD.id dengan harga Rp 500 ribu-1 juta. Tentu saja, berbeda dengan rancangan utamanya, yang di JD.id dibuat untuk produk massal walau secara unit setiap hasil rancangannya juga tidak banyak.

Untuk membangun private label, kuncinya adalah pada branding dan kontrol kualitas. Penyedia produk atau pihak yang digandeng bekerjasama harus diajak duduk bareng, membicarakan kesanggupan menyediakan unit produk, desain yang sesuai dengan JD.id, hingga harganya. “Private label yang dijual online itu sangat bagus prospeknya karena bisa menjangkau lebih luas. Tantangan kami: membuat orang aware bahwa JD.id produk fashion-nya bagus, karena selama ini kami lebih dikenal produk elektroniknya,” kata Teddy.

Merek Joy juga dibangun dari nol dan hingga saat ini masih terus membangun kepercayaan dengan kekuatan JD.id sebagai e-commerce yang bisa menjangkau lebih luas serta skema harga yang lebih slim. Branding dengan slogan citra “Dijamin Ori” yang selama ini digaungkan JD.id juga dilakukan dalam memasarkan private label sebagai kunci membangun kepercayaan konsumen.

Ke depan, JD.id tidak berencana membuat private label untuk produk elektronik. Pasalnya, produk elektronik butuh asuransi dan kepercayaan kepada merek yang sudah dikenal di pasar. Membangun kepercayaan merek di elektronik tidaklah mudah. Kalaupun dikembangkan, lebih ke seri khusus yang memang ada di JD.id saja, tidak dijual di pasar lain. “Contohnya, Zyrex, HP, dan Lenovo. Kami menyebut seri khusus HP yang ada di JD.id, yaitu HP Joy,” kata Demmy menginformasikan.

Sumardy, pengamat pemasaran, berpendapat bahwa strategi private label sebenarnya tergolong gagal di Asia. Kecuali pada produk-produk komoditas, seperti gula, beras, dan minyak. Pada umumnya, produk-produk ini tidak bisa menjadi pemimpin pasar. “Di era ritel, private label dibuat sekadar menjual barang. Karena melihat jumlah trafik yang datang ke ritelnya tinggi, dibuatlah produk-produk komoditas dengan private label, tanpa memikirkan membangun merek,” tutur Sumardy.

Kondisi berbeda terjadi di dunia e-commerce.Private label mendapat tempat karena pola konsumsi yang berbeda dengan industri ritel. Di dunia e-commerce, data transaksi lebih detail, pola belanja terukur, historis, termasuk warna barang yang dipilih dan preferensinya. “Semua ini menjadi value added para pelaku e-commerce yang membuat private label. Mereka lalu membuat kolaborasi dengan berbagai pihak,” demikian analisis Sumardy. Menurutnya, kolaborasi memang eranya saat ini, yang bisa menjadi daya tarik konsumen yang membeli juga.

E-commerce memiliki database konsumen lebih lengkap, bahkan mampu memberi subsidi promosi yang baik. Tantangannya, bagaimana membuat kolaborasi yang baik agar citra private label tidak seperti pada era ritel; tidak menjadi produk yang murahan dan produk komoditas, tetapi melahirkan produk dengan kualitas lebih bagus. Jadi kuncinya, e-commerce harus bisa membuat kolaborasi yang bagus secara produk ataupun citra untuk private label jika ingin berhasil di pasar. (*)

Reportase: Herning Banirestu

Riset: Armiadi Murdiansah


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved