Trends Economic Issues zkumparan

Pemerintah Harus Fokus pada 3 Hal Ini Hadapi COVID-19

Chatib Basri Pengamat Ekonomi

Sejak virus corona baru mulai merebak di Wuhan Tiongkok pada bulan Februari lalu, kita sudah merasakan dampaknya pada perekonomian dunia. Bagaimana tidak, virus yang kemudian menyebar ke kota-kota lain di Tiongkok, melumpuhkan bisnis di sana. Padahal Tiongkok mendominasi 30% pasokan produk jadi, bahan baku maupun permintaan dunia itu. Tentu saja ini berimbas ke Indonesia dan negara-negara lain juga.

Chatib Basri, pengamat ekonomi makro, pada sebuah kesempatan diskusi virtual publik yang digagas FPCI (Foreign Policy Community of Indonesia) dengan tema “Coronavirus Crisis? Assessing The Impact Of COVID-19 On The Indonesian And World Economy” menegaskan bahwa krisis ekonomi global pada 2008 masih lebih ‘mudah’ dihadapi daripada krisis yang diakibatkan pandemi COVID-19 sekarang ini.

“Waktu itu krisis disebabkan oleh subprime mortgage di AS, seperti kita ingat Dr. Dino Patti Djalal kita bisa melakukan langkah-langkah untuk mengamankan ekonomi Indonesia dengan fokus pada ekonomi domestik, menerbitkan Sukuk, mendorong purchasing power, dan meningkatkan demand nasional. Beda sekali dengan krisis sekarang,” ujar pria yang akrab disapa Dede ini.

Pandemi COVID-19 saat ini, lanjutnya, berdampak ke ekonomi lebih luas. “Demand dan supply berpengaruh, apalagi pemintaan dari Tiongkok menurun, bahan baku pun susah. Purchasing power terganggu karena manusia dibatasi pergerakannya. Tiongkok itu mendominasi supply and demand di dunia sekitar 30%, ini memengaruhi rantai pasok global. Terlebih Tiongkok adalah pengekspor komponen terbesar dunia juga. Karenanya, harus menggunakan pendekatan sangat berbeda dengan krisis 2008,” jelasnya.

Pada gelaran diskusi yang digelar di kanal Youtube FPCI dan dimoderatori oleh Dr. Dino Patti Djalal tersebut, Dede berpendapat bahwa krisis yang disebabkan isu COVID-19 ini menimbulkan masalah physical persent. “Dengan kebijakan social distancing, orang tidak ke pasar, pasar tidak ada, kecuali kita bisa gantikan proses supply dan demand ini melalui belanja online. Demand dan supply terganggu, karena pekerja tidak ke pabrik juga. Saat World Economy Forum di Davos pada Januari 2020, kami masih membicarakan bagusnya ekonomi global tahun ini, akhir Januari jelang Februari isu virus ini dari Wuhan mengacaukan segala skenario,” ujarnya. Selanjutnya pasar keuangan kolaps, dengan kondisi 40% obligasi pemerintah dimiliki asing, terjadi penjualan da pembelian dolar besar-besaran, ini mendorong depresiasi rupiah sampai 20% dalam waktu kurang dari sebulan.

Dede meyakini kondisi bisnis yang dipaksa berhenti akan menyebabkan NPL (kredit macet) akan naik, akan terjadi risiko gagal bayar juga jika perbankan tetap menyalurkan kredit. “Ini akan menyebabkan UMKM kolaps, efek berikutnya akan terjadi pengangguran masif. Kredit pun tidak bisa disalurkan dalam kondisi ini. Untuk itu pemerintah harus bergerak maju, pemerintah harus memberikan garansi bagi dunia usaha, agar bank tetap dapat memberikan pembiayaan bagi perusahaan, mengeluarkan Perpu yang mendukung ini,” sarannya. Ia juga meyakini stimulus ekonomi yang dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah (saat awal merebaknya virus ini di Februari) tidak akan berpengaruh, waktu pemerintah mengeluarkan stimulus ini, asumsinya tidak akan ada kebijakan social distancing. Kita ingat waktu terjadi krisis 2008, pemerintah mengeluarkan perpu yang menjamin ekspor pengusaha Indonesia, hal yang sama harus diberikan pemerintah berupa jaminan dan pinjaman usaha.

Ia meminta pemerintah melupakan hal-hal lain, dengan menjadikan sektor kesehatan sebagai prioritas utama, mengendalikan wabah ini agar segera hilang dari Indonesia dan melakukan cash transfer atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masyarakat yang membutuhkan. “BLT ini sangat penting, terutama bagi para pekerja informal. Kondisi masyarakat kita itu 55% tinggal di urban, kalau tidak fokus pada ini, mereka akan pindah ke rural area, ini akan mengerikan karena kondisi fasilitas kesehatan di rural kurang memadai,” ujarnya. Dede juga mengingatkan bahwa kita membutuhkan sumber daya luar biasa, ini harus dikerahkan semua, dengan kondisi masyarakat yang lebih memilih menyimpan uangnya.

Dede memprediksi pertumbuhan ekonomi kita tahun ini hanya di kisaran 0-2,5%. Sektor ritel dan grocery dalam catatan Dede sangat bagus kondisinya di tengah pandemi ini dengan pertumbuhan 47%, selain itu, sektor telekomunikasi dan farmasi. Dengan kondisi orang bekerja dan sekolah di rumah kebutuhan akan internet dan keinginan tetap menjaga tubuh tetap sehat, membuat dua industri tersebut paling aman saat ini.

Dalam jangka panjang, Indonesia harus mulai menyiapkan perannya dalam hal rantai pasok global, karena dengan kondisi pandemi yang berasal dari Tiongkok, negara ini menyebabkan mandeknya rantai pasok dunia, negara-negara akan mencari sumber rantai pasok lain, jadi kondisi rantai pasok global tidak akan seperti dulu dengan bergantung ke Tiongkok. “Kita harus memaksimalkan sumber daya Indonesia yang kaya dalam mengambil peran rantai pasok global selepas pandemi ini,” jelasnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved