Technology Trends

Priyantono Rudito: Pengembangan Digital Mastery Perlu Pendekatan Experiential

Priyantono Rudito: Pengembangan Digital Mastery Perlu Pendekatan Experiential

Adalah buku Disruption karya mutakhir Prof. Rhenald Kasali yang kali ini mampu menarik perhatian besar Priyantono Rudito. Menurut Direktur Human Capital Management PT Telkomsel ini, buku tersebut telah mampu membangun awareness cukup luas di masyarakat mengenai adanya fenomena digital disruption.

Memperhatikan wacana disrupsi digital yang makin meluas di masyarakat, Priyantono mengaku ingin memberikan sejumlah pemikiran. Pemikiran dasarnya, bahwa adanya fenomena disrupsi digital itu bukan hanya mendatangkan ancaman dan tantangan, tetapi juga sejumlah peluang baru. Respons ideal terhadap disrupsi digital itu diistilahkannya sebagai “digital mastery skills”.

Priyantomo Rudito

Priyantono Rudito, Direktur Human Capital Management PT Telkomsel

Priyantono pun memutuskan melakukan riset di lingkungan internal Telkomsel untuk melihat sejauh mana level digital mastery SDM Telkomsel. Ia menggunakan framework yang dikembangkan peneliti MIT bernama Westerman dan Bonnet.Tak cukup di situ, mantan Direktur Human Capital PT Telkom ini juga memutuskan untuk mengikuti executive training dengan topik khusus di bidang digital transformation di Institute for Management Development (IMD), Swiss.

Priyantono saat ini masih dalam penyelesaian penulisan buku yang berisi pemikirannya tersebut, berdasarkan riset yang dilakukan di lingkungan internal Telkomsel. Buku ini direncanakan dapat diluncurkan dalam waktu dekat.

Untuk memahami lebih jauh pemikiran Priyantono mengenai disrupsi digital dan digital mastery itu, wartawan SWA Jeihan Kahfi Barlian mewawancarai khusus eksekutif yang pernah menjadi Ketua Umum Forum Human Capital Indonesia itu. Berikut ini petikannya :

//Bagaimana Anda melihat fenomena disrupsi digital yang menyerang sejumlah bisnis model lama, tetapi belum ada yang secara mendasar menjadi solusinya?//

Yang harus kita sadari dari kreasi-kreasi di bidang digital tersebut adalah mengubah logika-logika bisnis yang selama ini kita pahami dan kita pegang. Contohnya di industri telekomunikasi, selama bertahun-tahun dipahami bahwa revenue dihasilkan dari waktu penggunaan produk dikalikan dengan pricing. Sekarang berubah total. Dengan teknologi digital bisa tercipta strategi pricing yang paling hebat, yaitu tidak berbayar melalui Wi-Fi. Ini adalah salah satu contoh yang sangat sederhana.

Logika bisnis atau paradigma ekonomi lama bisa berubah total. Bagaimana menghadapinya? Menurut saya, tidak cukup untuk sekadar aware mengenai hal ini. Digitalisasi menghasilkan dua sisi dari satu keping mata uang. Satu sisi adalah ancaman yang mengkhawatirkan, dan sisi lain adalah peluang-peluang baru.

//Bagaimana cara Anda menemukan jawaban terhadap disrupsi digital tersebut dalam konteks korporat?//

Saya memutuskan melakukan sebuah riset menggunakan pendekatan deduktif dan induktif. Deduktif dengan cara belajar konsep-konsep yang dikembangkan di belahan dunia lain dan menggunakan framework yang dikembangkan peneliti MIT bernama Westerman dan Bonnet, yakni Leading Digital. Leading Digital menawarkan sebuah framework dengan dua dimensi, yaitu digital leadership (kemampuan manusia untuk melakukan inisiatif mengembangkan teknologi menjadi sesuatu yang punya value) dan digital capabiliy (kemampuan menguasai teknologi digital), yang menunjukkan tahapan-tahapan going digital mulai dari beginner sampai advanced. Hal ini dikenal dengan Kuadran Digital Mastery, yang terdiri dari beginner (kiri bawah), fashionistas (kiri atas), conservatives (kanan bawah), dan digital masters (kanan atas).

Pertama, saya harus memahami kontekstualitasnya di Telkomsel, bagaimana agar framework ini bisa digunakan. Tentu, saya harus menvalidasi modelnya. Saya bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung dengan responden riset karyawan Telkomsel untuk menjawab fenomena digital mastery. Riset dilakukan selama satu tahun. Ternyata, model tersebut valid. Validitas indikator-indikator modelnya kuat, bahkan diakui ITB.

//Apa temuan pentingnya?//

Saya berhasil menemukan faktor-faktor pembentuk leverage dari model tersebut. Dari semua faktor tersebut, saya gunakan diagram sarang laba-laba, dan saya plot di manakah posisi tiap-tiap variabel tersebut pada karyawan Telkomsel. Dari sana saya dapat dua grafik, yaitu expected dan current, di mana ada gap. Gap yang terbesar itulah yang difokuskan untuk

mendorong tahapan digital mastery.

Yang masih menjadi PR bagi saya sebagai direktur human capital, ternyata faktor-faktor experiential, agility dan creativity masih memiliki gap yang lebar. Padahal, itu dibutuhkan untuk membentuk digital mastery dengan value yang diharapkan.

Priyantono Rudito, Direktur Human Capital Management Telkomsel. (Foto : Hendra Syaukani/SWA).

//Lalu, bagaimana pengembangan kapasitas digital mastery karyawan?//

Dari berbagai faktor yang menjadi leverage tadi, sebagai digital competencies-nya, saya bandingkan dengan direktori kompetensi yang telah dikembangkan di Telkomsel. Jadi, dibandingkan antara nilai kompetensi lama dan yang baru. Ternyata, ada sebagian yang masih sama, tetapi sebagian besar lainnya adalah hal-hal baru yang belum pernah diterapkan, seperti agility, experiential dan open mindset.

Saya merasa perlu ikut pelatihan eksekutif di Swiss. Pengembangan digital mastery itu ternyata tidak bisa menggunakan cara lama, yaitu mengajari karyawan di kelas. Pengembangan digital mastery harus dilakukan dengan pendekatan experiential yang melibatkan orang mengalami dan berinteraksi langsung. Dan, tempat yang paling optimal untuk seseorang bisa menjadi digital master adalah Silicon Valley. Buktinya, perusahaan telekomunikasi Prancis, Orange S.A., sampai memindahkan unit bisnisnya ke Silicon Valley. Mereka bekerja layaknya perusahaan startup.

Di Silicon Valley itu, orang-orang bekerja, tetapi di saat yang sama selalu ada source of knowledge. Selain itu, tempat ini juga telah memiliki ekosistem inovasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah.

//Pendekatan experiential seperti apa yang dilakukan Telkomsel untuk membangun digital culture dan digital mastery ini?//

Saya inginnya seluruh karyawan dikirim ke Silicon Valley, tetapi jelas anggarannya terbatas. Namun, pada tahun ini saya mengirim 50 talent Telkomsel yang kami sebut sebagai Digital Champion ke Silicon Valley. Diharapkan mereka akan mampu memimpin proses transformasi digital mastery nantinya. Tetapi, 50 orang tidak cukup. Saya menargetkan bisa mengirim 500 orang untuk bisa di level digital mastery dengan sejumlah KPI.

Saya tidak bisa menunggu anggaran itu ada. Akhirnya, saya berpikir bahwa tidak harus kita semua pergi ke sana. Caranya adalah buat saja “Silicon Valley” di Telkomsel. Tepatnya, kami membuat Silicon Valley-like environment di Telkomsel. Ini yang saya tulis di buku saya itu. Jadi, kami membuat sebuah suasana kerja, situasi bekerja atau bisnis yang punya karakteristik, tantangan, dan peluang seperti di Silicon Valley.

//Bagaimana langkah untuk menciptakan environment seperti Silicon Valley?//

Saya tetapkan pengembangan people untuk memiliki digital mastery dengan sebuah strategi trilogi dengan nama program Digital Mastery Development.

Pertama, experiential & leveraging. Kedua adalah unlocking, yakni membuka kehebatan potensi tiap orang. Ketiga adalah pendekatan coaching, yang merupakan hal penting. Bahkan, seorang Bill Gates pun masih memerlukan peran seorang coach. Ini dilakukan tanpa meninggalkan kompetensi dasar Telkomsel dan meninggalkan pekerjaannya.

Saya gunakan proyek dan program unggulan yang existing dari tiap-tiap unit yang memberi dampak besar terhadap value/revenue. Dipilih tiga program unggulan yang kemudian KPI-nya ditranslasikan dengan KPI disruptive sebagaimana layaknya di Silicon Valley. Jadi, segala sesuatunya tidak boleh business as usual. Tidak boleh normal seperti sebelumnya, baik itu hasilnya, cara bekerjanya, efektivitasnya maupun kecepatannya. Hanya dengan biaya yang sama atau bahkan setengah biaya, tetapi hasilnya dobel atau akselerasi lebih cepat selayaknya kita bekerja di Silicon Valley. Resep itulah yang kami ambil.

Saya tetapkan total 30 proyek existing di tiap-tiap divisi. Bahkan, direktur utama pun punya program digital mastery. Proyek digital mastery ini harus dikerjakan dan dicapai pada tahun ini. (*)

Jeihan K. Barlian dan Joko Sugiarsono


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved