Trends

Menristek: Indonesia Bisa Hadapi Krisis Kesehatan secara Mandiri

Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro, Menristek dan Kepala BRIN

Sejak ditetapkan status darurat bencana akibat merebaknya virus corona di Indonesia pada Maret 2020, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merespons dengan cepat melalui inisiatif pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. Konsorsium ini berperan aktif dalam mengintegrasikan, menyelaraskan, mengoordinasikan, dan menyinergikan program riset dan inovasi guna mempercepat penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air.

Dalam tiga bulan terakhir, para periset dan inovator Indonesia yang tergabung dalam konsorsium ini berhasil mengembangkan solusi berupa 57 prototipe produk untuk penanganan Covid-19. Produk-produk tersebut secara garis besar meliputi kategori: instrumen pencegahan penularan Covid-19, instrumen screening dan diagnosis, alat kesehatan dan pendukung, serta terapi dan obat.

Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 yang diketuai Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti ini mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 90 miliar dari Kemenristek/BRIN dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan-Kementerian Keuangan.

Pada 23 Juni lalu, tim redaksi SWA –yang terdiri dari Jeihan K. Barlian, Sujatmaka, Joko Sugiarsono, dan Kusnan M. Djawahir– mewawancarai secara eksklusif Menristek/Kepala BRIN, Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro, melalui aplikasi video conference. Berikut ini petikannya:

Apa latar belakang pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19?

Latar belakang pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 dimulai ketika pandemi ini dinyatakan secara resmi merebak di Indonesia sejak awal Maret. Saya memutuskan, harus ada konsorsium untuk kegiatan riset dan inovasi dalam menangani penyebaran virus ini. Pada waktu itu tentunya karena masih sangat awal, kami sendiri masih belum mengetahui apa saja faktor penting dalam menangani pandemi ini. Namun, kemudian kami mencoba menguraikannya berdasarkan standar protokol ketika kita menghadapi penyakit menular.

Pertama, kami harus fokus pada penanganan kesehatan bagi pasien yang terinfeksi, baik dalam kondisi ringan maupun berat. Dalam hal ini, karena virus menyerang saluran pernapasan, sangat dibutuhkan ventilator. Dan, ternyata rumah sakit di Indonesia sangat kekurangan ventilator. Apalagi, dalam kondisi yang tiba-tiba dibutuhkan dalam jumlah banyak.

Di samping itu, kondisi alat kesehatan (alkes) di Indonesia selama ini 90% tergantung pada impor sehingga menjadi berisiko karena pada saat yang sama semua negara berlomba-lomba mencari alkes yang dibutuhkan, termasuk ventilator. Karena itu, kami memutuskan pembuatan ventilator menjadi salah satu prioritas.

Siapa saja yang dilibatkan dalam konsorsium ini?

Anggota konsorsium terdiri dari berbagai stakeholder yang sangat relevan dengan kegiatan riset dan inovasi.

Pertama, kelompok peneliti yang terdiri dari dua kelompok besar, yakni lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Lalu, juga bergabung kelompok industri. Karena, yang bisa dilakukan komunitas peneliti dalam membuat ventilator hanya sampai pada tahap prototipe. Tetapi, ketika ingin diproduksi secara massal, berarti harus dilakukan oleh pelaku industri. Karena itu, kami menggandeng kelompok industri, antara lain BUMN dan perusahaan swasta yang bersedia untuk terlibat dalam kegiatan konsorsium ini. Terutama, perusahaan manufaktur yang punya kapabilitas membuat beberapa jenis alkes.

Kelompok berikutnya, pemerintah. Dalam hal ini, tentu bukan hanya Kemenristek yang memberikan dukungan pendanaan, tetapi melibatkan instansi lain, termasuk yang paling penting Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang mengetahui apa yang dibutuhkan dalam penanganan virus ini. Kemenkes juga sebagai regulator yang memberikan izin edar dari semua alkes yang diproduksi. Dengan dilibatkan dalam konsorsium ini, proses perizinan bisa dilakukan lebih cepat tanpa mengorbankan aspek safety.

Bagaimana mekanisme kerja konsorsium ini?

Sifat konsorsium ini adalah top-down dan juga bottom-up. Top-down artinya pemerintah mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi secara nasional, terutama yang memiliki ketergantungan pada impor yang tinggi. Bottom-up berarti adanya inisiatif dari berbagai lembaga yang sanggup untuk membuat hal-hal yang dibutuhkan terkait penanganan pandemi dalam waktu relatif singkat.

Prinsip dalam konsorsium ini adalah kolaborasi. Masa-masa di mana kegiatan riset seolah-olah pekerjaan individu atau satu institusi tampaknya sudah lewat. Riset dan inovasi masa depan sudah harus menunjukkan pola kolaborasi lintas lembaga, misalnya perguruan tinggi dengan lembaga penelitian. Dan juga lintas aktor, baik peneliti maupun pelaku industri.

Kami mencoba menghubungkan dunia penelitian dengan dunia industri dan pemerintah. Berbagai elemen dilibatkan, mulai dari ahli kesehatan, ikatan farmasi, hingga Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian.

Pandemi ini juga membukakan mata bahwa ekosistem riset yang selama ini kita bayangkan justru bisa berkembang dengan baik. Ini menandakan bahwa semua komunitas riset dan inovasi punya spirit yang sama untuk membantu penanganan Covid-19 dengan lebih mengedepankan kemampuan sendiri (dalam negeri).

Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro, Menristek dan Kepala BRIN

Bagaimana peran konsorsium ini, termasuk dalam aspek kebijakan penanganan pandemi?

Tentunya, kami selalu responsif untuk bisa mendukung –baik Gugus Tugas Covid-19 maupun Kemenkes– dalam kebijakan penanganan pandemi. Misalnya, ketika kami melihat rasio dari orang yang dites PCR relatif masih rendah jika berdasarkan standar WHO, maka harus ada tes yang lebih masif. Di situlah kami kemudian menfokuskan pada pengembangan rapid test kit dan PCR test kit.

Kami tentunya paham bahwa salah satu aspek yang paling ditunggu oleh masyarakat adalah soal obat atau terapi. Kami juga mencoba meriset berbagai macam obat yang dianggap bisa meredakan gejala Covid-19. Obat-obat yang masih bersifat eksperimen di berbagai negara ini ketika masuk di Indonesia perlu dilakukan uji klinis untuk memastikan apakah tepat untuk pasien di Indonesia. Kemenristek bekerjasama dengan BPOM dan berbagai institusi untuk melakukan uji klinis.

Konsorsium ini juga sedang mengembangkan terapi. Yang saat ini dalam tahap uji coba adalah plasma convalescent serum yang berasal dari plasma orang yang sembuh dari Covid-19 yang mengandung antibodi untuk pengobatan pasien Covid-19. Saat ini sudah dalam tahap uji klinis di 10 rumah sakit dan nantinya 20 rumah sakit di Indonesia. Sejauh ini hasil pengujian terapi ini relatif aman untuk pasien, tetapi masih diteliti pasien dalam tahap seperti apa yang harus diberikan terapi ini.

Kami mengembangkan pula terapi stem cell untuk mengganti jaringan paru-paru pasien yang sudah rusak akibat terinfeksi Covid-19. Uji coba sudah dilakukan oleh Universitas Indonesia terhadap dua pasien di RSCM, dan hasilnya pasien sembuh.

Secara paralel, selain alkes, obat, dan terapi, konsorsium ini juga fokus pada pencegahan. Ada dua hal yang kami lakukan, yang pertama dan terpenting adalah mengembangkan vaksin yang saat ini sedang dilakukan LBM Eijkman. Kedua, menyiapkan suplemen herbal untuk menjaga daya tahan tubuh terhadap serangan infeksi virus, yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis di Rumah Sakit Wisma Atlet. Terbuat dari bahan-bahan herbal khas Indonesia, suplemen ini kami ujicobakan kepada PDP yang diharapkan bisa menstimulasi daya tahan tubuh.

Bagaimana mengoptimalkan hasil riset yang sudah dicapai guna mendukung kemandirian Indonesia di sektor kesehatan?

Salah satu masalah klasik dalam proses inovasi di Indonesia yang membuat daya saing kita rendah adalah adanya gap yang cukup besar antara dunia penelitian dan dunia industri. Komunikasi antara dua pihak ini susah untuk bertemu sehingga tidak pernah ada produk dari lembaga penelitian yang berhasil dikomersialisasi. Sebaliknya, pihak industri, ketika merasa punya kebutuhan untuk penetrasi pasar, yang dilakukannya bukan mengeksplorasi apa yang sudah dilakukan peneliti, tetapi langsung membeli produk atau lisensi dari luar negeri.

Hal ini yang kami perhatikan menjadi penyebab budaya inovasi di Indonesia belum optimal. Dalam kasus Covid-19, saya belajar banyak, seperti kenapa di Indonesia tidak pernah ada yang memproduksi ventilator sebelumnya, padahal alat ini juga dibutuhkan untuk penyakit saluran pernapasan lainnya.

Jawabannya adalah selama ini tidak pernah ada permintaan ventilator untuk produk dalam negeri. Jika ada kebutuhan, biasanya akan langsung diimpor. Kebiasaan ini sudah berlangsung sangat lama, padahal teknologi ventilator bukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh para peneliti atau perekayasa di Indonesia.

Kami harapkan dengan adanya konsorsium ini, demand menjadi lebih clear, dan dari pihak regulator, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menjadi lebih sigap. Lalu, pihak industri lebih terbuka matanya bahwa sebenarnya ke depan ada peluang bisnis yang sangat menjanjikan, yaitu industri yang terkait kesehatan, baik alat kesehatan maupun farmasi.

Tidak hanya itu, Indonesia memiliki biodiversity yang luar biasa dari sumber daya alamnya. Ini yang belum dieksplorasi. Padahal, kalau kita membicarakan obat di masa depan, bukan lagi yang berbasis kimiawi melainkan berbahan herbal.

Lalu, apa yang menjadi prioritas konsorsium saat ini?

Karena sebagai konsorsium riset, fokus utamanya adalah sampai pada tahap prototipe. Namun, kami juga ingin agar momentum ini tidak hilang begitu saja. Jangan sampai ketika pandemi berakhir, iklim riset dan inovasi juga kembali ke masa sebelum pandemi, yang ditandai dengan ketergantungan pada impor yang tinggi serta kurangnya kolaborasi dalam berinovasi.

Kami sepakat bahwa ini adalah momen bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Sekaligus melepaskan diri dari ketergantungan pada impor produk kesehatan. Sebagai gambaran, sebelumnya swab stick untuk pengambilan sampel dalam swab test saja masih impor 100%. Namun, kini telah diproduksi sterilized nasopharynx swab stick sebanyak 50 ribu unit oleh Universitas Indonesiabersama mitra indutri, yang ditargetkan bisa diproduksi satu juta unit nantinya.

Kita harus membangun ekosistem dengan juga memastikan supply chain di dalamnya rapi. Artinya, ketika kita membangun ventilator, kalau bisa dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tinggi. Jadi, kita juga harus membangun industri pendukung komponennya.

Kami ingin ke depannya Indonesia lebih siap dalam menghadapi segala krisis kesehatan dengan kemampuan mandiri memproduksi alkes dan obat, tidak tergantung pada impor. Ini yang menjadi cita-cita kami.

Prof. Dr. Bambang P.S. Brodjonegoro, Menristek dan Kepala BRIN

Seperti apa prosesnya hingga konsorsium sudah mampu menghasilkan sejumlah produk inovasi?

Sebelumnya, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-112 pada 20 Mei lalu, Presiden Joko Widodo meluncurkan sembilan produk utama dari 57 produk hasil penelitian dan inovasi percepatan penanganan Covid-19 dari Konsorsium Riset dan Inovasi tentang Covid-19.

Dalam hal ini, kami menekankan perbedaan antara inovasi Indonesia dan produk buatan Indonesia. Kalau produk buatan Indonesia, proses produksi atau finalisasinya dilakukan di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh industri otomotif. Namun, value added terbesar suatu produk bukanlah dari proses produksi atau distribusi, melainkan proses inovasi dalam merancang dan mengembangkan produk tersebut. Sasaran kami sekarang adalah konten inovasi bukan sekadar dibuat di Indonesia, tetapi menjadi karya anak bangsa, dalam pengertian mulai dari tahap research & development.

Saat ini kami dalam tahap pembahasan dengan Kementerian Perindustrian, di mana komponen inovasi diharapkan masuk ke dalam hitungan TKDN, bukan hanya sebatas komponen produk yang berasal dari Indonesia.

Mengapa perlu mengadakan IDEAthon?

Konsorsium ini memang mengundang ide dari grass root atau partisipasi masyarakat umum untuk menyampaikan ide atau solusi terkait penanganan Covid-19. Melalui program IDEAThon, telah diterima 5.590 ide/proposal yang diseleksi menjadi 17 pemenang ide terbaik. Ke-17 pemenang ini akan diberi anggaran untuk merealisasikan idenya.

Apa saja tantangan yang dihadapi dalam percepatan produksi dan implementasi hasil inovasi ini?

Dari pengalaman terbentuknya konsorsium ini selama tiga bulan terakhir, tantangan utamanya adalah tidak mudah mendorong kolaborasi antarpihak. Hal ini mungkin karena sudah terlalu lama mereka asyik dengan bidang masing-masing.

Hambatan lainnya, dari sisi industri. Industri kita belum terbiasa dengan hasil inovasi Indonesia. Yang cukup berani malah dari sektor industri kecil dan menengah. Kami berupaya menjembatani antara perusahaan menengah dan perusahaan yang lebih besar supaya proses produksi bisa berjalan. Karena, yang paling menghambat dari segi inovasi di Indonesia adalah hilirisasi, yakni dari prototipe ke produksi massal.

Apakah model konsorsium akan dilanjutkan untuk menggairahkan inovasi di Tanah Air?

Tentunya, sebagai model, iya. Namun, bentuknya tidak lagi sebagai konsorsium. Ini akan menjadi model kerja dari Kemenristek/BRIN yang berfungsi untuk mengintegrasikan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) dalam rangka menghasilkan invensi dan inovasi.

Mekanisme kerja yang dilakukan konsorsium ini dapat diadopsi untuk masa mendatang. Dengan pengalaman ini, kami bisa langsung mengajak seluruh stakeholder bekerjasama, tanpa mengotak-kotakkan tiap lembaga. Jadi, riset kolaboratif dan inovasi dalam konsorsium menjadi contoh untuk dibawa ke level BRIN. Sehingga, kita harapkan, inovasi dan daya saing di Indonesia menjadi lebih baik. Hal ini nantinya menjadikan Indonesia unggul bukan dari sumber daya alam, melainkan dari inovasinya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved