Trends Economic Issues

Rakyat Terbebani Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Rakyat saat ini terbebani dengan 4 jenis iuran, antara lain BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan,

Terkait keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 yang dituangkan dalam Perpres 64/2020 di mana secara bertahap iuran naik pada 1 Juli 2020 ini adalah tidak tepat. Dan Mahkamah Agung telah mengabulkan gugatan masyarakat tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan dan membatalkan Perpres 75/2019.

“Beleid yang diterbitkan di bulan Mei pada saat pandemi sangat memberatkan dan hanya membuat rakyat yang ekonominya sulit semakin susah. Tolonglah pemerintah, lihatlah dengan mata hati kondisi rakyat saat ini. Terlebih lagi, saat ini banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian kemudian terbebani kenaikan iuran yang signifikan. Baik peserta iuran mandiri juga penerima upah,” jelas Intan Fauzi, anggota DPR Komisi IX dari Fraksi PAN Dapil Kota Depok dan Bekasi.

Menurut Intan, rakyat saat ini terbebani dengan berbagai iuran yaitu antara lain: – 4 jenis iuran BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, kemudian tahun depan saat kita belum tahu ekonomi masyarakat bisa bangkit atau belum terbebani lagi dengan iuran BPTapera. “Kalau saya ambil UMP saja di DKI Jakarta sebesar Rp763.429 tersedot untuk berbagai iuran tersebut. Sisanya untuk biaya hidup dikurangi lagi tagihan air, listrik dan lainnya. Belum lagi berbagai beban perpajakan sebagai PTKP dengan adanya PPH 21, PBB ,” ungkap dia.

Baginya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini mengkonfimasikan pemerintah tidak punya perencanaan yang baik. Karena itu,Fraksi PAN meminta agar mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020. Alasannya, pertama, MA telah mengabulkan gugatan masyarakat tentang kenaikan iuran dan membatalkan Pepres 75/2019. Seharusnya untuk sesuatu yang sudah diputuskan oleh hukum, harus dijalankan pemerintah. Apalagi masyarakat akan menggugat kedua kalinya kenaikan iuran yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020. Kalau sampai pemerintah kalah lagi, sama saja menampar muka pemerintah yang kedua kalinya.

Kedua, alasan defisit anggaran hanya berdasarkan perhitungan aktuaria juga tidak bisa seenaknya dibebankan kepada masyarakat. Defisit itu harus menjadi perbaikan pemerintah. Dalam amar Putusan MA,disebutkan bahwa harus dilakukan penyelesaian persoalan inefisiensi dalam pengelolaan dan pelaksanaan BPJS Kesehatan.Juga, dalih menaikkan iuran karena terjadi deifisit adalah tidak berdasar hukum.

Ketiga, sehingga tolok ukurnya adalah persoalan inefisiensi . Lembaga yang berwenang telah memberikan putusan hukum yang tujuannya demi tercapainya keadilan masyarakat dan hukum, beberapa lembaga lain juga telah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah terkait hal ini antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi dan lainnya. Juga, DPR dalam berkali kali kesimpulan Raker dab RDP Komisi 9, juga Rapat Gabungan Komisi 9,11,8,2 dan dipimpin langsung oleh Ketua DPR juga menyampaikan rekomendasi perbaikan tata kelola ini. Sehingga seyogyanya Perpres 64/2020 tidak perlu menunggu gugatan masyarakan lagi. Jangan jadikan rakyat tumbal dari kebijakan yang tidak pro rakyat.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini melanggar amanat konstitusi.UUD 45, Pasal 28 ayat 1 H, menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, negara berkewajiban melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Bukan malah membebani rakyat dengan menaikkan iuran.

Kenaikan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 24/2011 tentang BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan bukanlah Badan Usaha, tetapi Badan Penyelenggara Publik. Sehingga pemerintah tidak boleh seenaknya menaikkan iuran secara sepihak tanpa memperhatikan keadilan masyarakat dan hukum.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved