Trends Economic Issues

Ribuan Petani Rumput Laut dan Nelayan NTT Dirugikan Tumpahan Minyak PTTEP

Ribuan Petani Rumput Laut dan Nelayan NTT Dirugikan Tumpahan Minyak PTTEP

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Alue Dohong mengatakan pihaknya akan mengambil langkah dalam penyelesaian kasus tumpahan minyak PTT Exploration dan Production (PTTEP), perusahaan asal Thailand karena dinilai telah menyebabkan ecological distraction di perairan Indonesia. Setidaknya 15.481 petani rumput laut dan nelayan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dirugikan akibat tumpahan minyak tersebut.

“KLHK ditugaskan untuk melakukan penuntutan perdata akibat dari ecological distraction, ecological cost yang diakibatkan dari adanya tumpahan minyak ini,” kata Alue dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat (FMB) 9 Kementerian Komunikasi dan Informarika RI bertema ‘Optimasilasi Penyelesaian Kasus Montana’ (1/4/2022). Upaya ini, Alue menjelaskan, agar perusahaan (PTTEP) mau membayar ganti rugi terhadap ecological distraction yang disebabkan kelalaian dalam kegiatan operasinal perusahaannya.

Menurut Alue, banyak kerugian bagi Indonesia dari tumpahan minyak milik PTTEP ini. Antara lain, Alue menyebutkan, ada kerugian secara ekonomi, ekologikal dan kesehatan. “Jadi sebetulnya kalo kita bicara ini ada economic, ecological dan health cost akibat dari adanya pencemaran atau tumpahan minyak oleh PTTEP di Montara ini,” terangnya.

KLHK, kata Alue telah menyiapkan sejumlah langkah dalam mengoptimalisasi penyelesaian masalah ini. Pertama setelah Perpres sudah keluar adalah memastikan kembali penuntutan, termasuk mengidentifikasi beberapa tergugat baru. Selanjutnya, pihaknya juga menerbitkan surat kuasa khusus baru, baik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di internal KLHK ataupun Kejaksaan dan Mahkamah Agung, maupun advokat yang ditunjuk dalam membantu menyusun tuntutan atau gugatan.

“Berikutnya, KLHK akan melakukan, menyiapkan dan melengkapi alat bukti. Dulu awalnya kita sudah menghitung sebetulnya. Estimasi waktu itu nilai tuntutan kerusakan ecological itu sekitar Rp21 triliun untuk kerusakan rumput laut, biota perairan, manggrove dan lain sebagainya,” urainya. Kemudian nilai yang kedua waktu itu adalah untuk recovery. Nilai rehabilitasi kerusakan saat itu, kata Alue sekitar Rp6 trilun. Sehingga, total estimasi kerugian yang harus dibayar PTTEP berdasarkan perhitungan saat itu mencapai Rp27 triliun.

Sementara itu, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat Ferdy Tanoni dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah RI yang telah mengambil langkah serius membantu masyarakat terdampak dalam upaya menuntut hak-hak mereka. Penerbitan Perpres ini, menurut Tanoni, akan membangkitkan kepercayaan masyarakat NTT, khususnya warga yang terdampak, bahwa negara sungguh hadir berada bersama rakyat yang menderita.

“Peraturan Presiden yang terbit khusus untuk kasus Montara ini penting bagi kami. Sehingga ini Perpres menjadi tanda bahwa benar negara berada bersama rakyat. Itu saja yang penting bagi kami,” ungkapnya.

Untuk diketahui, hingga saat ini, tumpahan minyak akibat ledakan di unit pengeboran minyak Montara di Australia pada tahun 2009 telah mengakibatkan dampak serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir dan laut Timor Barat, NTT.

Peristiwa itu bermula pada 21 Agustus 2009. Ketika itu terjadi ledakan unit pengeboran di anjungan minyak lepas pantai Montara yang menumpahkan minyak dan gas. Total luas tumpahan diperkirakan mencapai kurang lebih 92 ribu meter persegi.

Departemen Sumber Daya, Energi, dan Turisme Australia memperkirakan aliran minyak yang tumpah sekitar 2.000 barel per hari. Tumpahan minyak ini baru bisa teratasi pada November 2009 atau setelah 74 hari dan menumpahkan sekitar 40 juta liter minyak ke perairan antara Indonesia dan Australia.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 melansir, 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 km pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak paling dekat, sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao, NTT. Tumpahan minyak ini menghancurkan panen rumput laut para petani pada 2009. Pemerintah menemukan ada tigabelas kabupaten di NTT yang terkena dampak dari kasus Montara.

Ketua Montara Task Force Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan permasalahan pencemaran tak hanya pada tumpahan minyak, tetapi juga penggunaan bubuk kimia dispersant jenis Corexit 9872 A dan lain-lain yang sangat beracun.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved