Marketing Trends

Riset Kantar: Ternyata Setelah Pandemi Konsumen Indonesia Tak Kembali Normal

Riset Kantar: Ternyata Setelah Pandemi Konsumen Indonesia Tak Kembali Normal
Nadya Ardianti, Chief Client Officer Kantar Indonesia sebagai pembicara dalam konferensi ICON 2022 di Jakarta

Kehidupan setelah pandemic atau post-pandemic era akan kah kembali sama seperti era sebelum pandemic? Nadya Ardianti, Chief Client Officer Kantar Indonesia, mengatakan, kondisi dan perilaku masyarakat tidak kembali seperti masa sebelum pandemi.

“Mereka menemukan sebuah pola baru yaitu memadukan aktivitas secara online dan aktivitas secara offline bahkan hasil dari memadukan kedua hal itu membuat mereka bisa mengeksplorasi lebih jauh mengenai preferensi dan gaya hidup,” ungkapnya dalam konferensi ICON 2022 yang bertajuk ‘What’s Normal Now’ pada Kamis 6/10/2022 di Jakarta.

Apa saja indikatornya? Kantar telah melakukan riset mengenai hal ini, khususnya di Indonesia. Temuan dari riset tersebut, pertama, 84% respoden tidak ingin kembali bekerja full WFO, tetapi mereka juga tidak ingin terus WFH. “Mereka ingin ada paduan keduanya dalam komposisi yang imbang,” jelas Nadya.

Mengapa begitu? Ternyata selama WFH mereka merasa nyaman karena tidak harus menyiapkan waktu untuk berangkat ke kantor, tetapi disaat yang sama mereka juga menyadari bahwa bercampurnya kehidupan kantor dan kehidupan pribadi di dalam rumah membuat tingkat stress dan kecemasan meningkat. Sehingga kini, mereka ingin ada pola hybrid antara WFO dan WFH, bahkan sebagian menginginkan work from holiday atau work from anywhere.

Temuan kedua, 49% masyarakat Indonesia ingin tetap terkoneksi secara offline alias bersosialisasi secara langsung dengan teman dan kerabatnya. Ketiga, selama pandemic masyarakat Indonesia semakin sadar dengan isu kesehatan mental. 43% responden mengaku kesehatan mental mereka terdampak buruk akibat pandemic Covid-19. Sementara itu 31% yang mengaku mengalami kelelahan mental yang meningkat selama pandemi mencari pelarian atau hiburan dengan makanan dan minuman (jajan). Mereka membelanjakan uangnya untuk makanan dan minuman sebagai usaha menyenangkan diri sendiri atau stress release.

Keempat, kebiasaan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan, seperti cuci tangan dan menggunakan hand sanitizer sudah menjadi budaya yang paten di tengah masyarakat Indonesia yang tak lain juga merupakan dampak dari pandemic covid-19.

Kantar juga menemukan ada perubahan-perubahan lain yang terbentuk dan membuat profil masyrakat Indonesia tidak lagi sama seperti sebelum pandemi. Pertama, kini pertumbuhan penjualan datang dari luar Jawa terutama dari kota lapis kedua dan ketiga. Salah satu yang terlihat adalah pertumbuhan nilai penjualan FMCG (data Juni 2022), pertumbuhan tertinggi pertama adalah di Sumatera tumbuh 11% YoY, kedua, Jawa Tengah 11% YoY dan ketiga pulau-pulau lainnya di luar Jawa 11% YoY.

Kedua, profil masyarakat berubah karena adanya perubahan cara pandang semakin terbuka (open mind), hal ini berdampak pada pertumbuhan populasi. Dalam satu decade ini ada perubahan yang signifikan, pertumbuhan populasi mengalami penurunan 20% demikian juga dengan ukuran rumah tangganya, 10 tahun yang lalu rata-rata 4,2, kini menjadi lebih kecil yakni 3,9. Hal ini dikarena ada perubahan menegani defenisi menikah dan preferensi memiliki atau tidak memiliki anak dalam pernikahan.

Hal lain yang juga berubah adalah dari sisi budaya. Secara umum budaya Indonesia adalah budaya yang sangat berorientasi pada penerimaan dalam kelompoknya atau “kita”, sehingga orang Indonesia secara umum terbentuk karakter untuk mengesampingkan suara “aku” dan mengikuti suara mayoritas agar bisa diterima dalam “kita”. Tetapi Kantar menemukan budaya ini menurun dalam kurun waktu 2015-2018 sebesar 32%.

Fenomena tersebut didorong oleh generasi milenial dan Z yang lebih percaya diri dengan pilihannya sendiri ketimbang menjadi pengikut mayoritas. Paparan konten sosial media adalah satu factor pendorong tumbuhnya mind set “aku” dalam diri generasi muda ini, mereka jadi lebih percaya diri untuk menunjukkan jati diri yang berbeda dari kelompok mayoritas.

Temuan kelima, adanya perubahan mindset dari “que sera sera” menjadi prudence mindset. Jika generasi sebelumnya adalah generasi yang menjalani hidup dengan prinsip “jalani saja hari ini, hari besok biarlah terjadi besok’ yang artinya tidak memiliki rencana hari esok. Mindset tersebut ternyata berubah di generasi muda Indonesia. Mereka jadi lebih bijak. Mereka sadar dan peduli bahwa apapun yang dipilih, dikonsumsi atau dilakukan hari ini akan berdampak ke hari esok. Sehingga mereka menjadi lebih cerdas dalam hal memilih apapun untuk hidupnya. Riset Kantar menunjukkan adanya pertumbuhan 21% kelompok orang muda yang memiliki mindset prudence dan melakukan ‘smart-choices’. Dan 47% dari mereka mengaku akan lebih bijak mengelola keuangan terutama dalam hal tabungan dan investasi.

Tren PHK selama pandemic telah menumbuhkan kesadaran kaum muda ini untuk menyiapkan tabungan dan investasi karena memiliki pekerjaan tetap tidak menjamin keamanan finansial. Berikutnya mengenai perilaku ‘smart choice’, hal ini terindikasi salah satunya dalam hal memilih brand produk consumer atau pun jasa. Mereka cenderung memilih brand-brand kecil yang dengan jelas menunjukkan value dan dampak bagi masyarakat dan lingkungan hidup, ketimbang brand besar yang sudah eksis sebelumnya tetapi tidak membawa manfaat langsung. Mereka selalu bertanya “What’s in it FOR ME” setiap kali akan membeli sebuah produk atau menggunakan jasa layanan.

Riset Kantar menunjukkan kebutuhan akan hal-hal yang membawa dampak dan meaningful meningkat 43% pasca pandemic ini. Beberapa brand lokal kecil dan pendatang baru yang telah berhasil memenangkan konsumennya karena membawa nilai dan meaningfulness, di antaranya Kahf (skincare pria), Astro (quick commerce), Lemonilo (instant food), Kopi Kenangan (coffee chain), Hometown (RTD milk).

Temuan-temuan ini membuat Nadya mengajak para pemilik brand untuk melihat beberapa catatan penting. Pertama, konsumen Indonesia tidak lagi terpikat hanya dengan nama besar brand. Kedua, brand-brand kecil berkembang pesat hampir disemua kategori, hal ini disebabkan dengan ukuran bisnis yang masih ramping mereka jadi lebih mudah untuk diluncurkan dan distribusikan. Ketiga, brand lokal dan kecil tidak berarti murahan. Ada banyak brand premium justru eksis dengan konsep bisnis UMKM. Keempat, para brand kecil ini masuk ke pasar dengan menawarkan keunikan dan spesialisasi yang dengan perlahan menjadi pendatang baru yang mendisrupsi pasar brand besar.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved