Trends

Sampoerna Agro, Raih Untung Justru di Masa Pandemi

Michael Kesuma, Kepala Hubungan Investor Sampoerna Agro.

Penyakit karena virus corona yang saat ini mewabah di 213 negara terus berdampak pada industri kelapa sawit di triwulan II/2020, seiring dengan banyaknya kota di berbagai penjuru dunia yang menerapkan kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran virus. Alhasil, permintaan minyak sawit mengalami penurunan, khususnya di sektor energi dan konsumsi pada segmen horeka (hotel, restoran, dan kafe).

Akan tetapi, PT Sampoerna Agro Tbk. (berkode SGRO di Bursa Efek Indonesia) masih mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih di semester I sebesar 17,51\%, dari Rp 1,36 triliun menjadi Rp 1,6 triliun. Kepala Hubungan Investor Sampoerna Agro, Michael Kesuma, menjelaskan, kenaikan penjualan terutama karena tingginya penjualan minyak sawit yang menyumbang porsi 84\% dari total penjualan, walaupun volume penjualan CPO menurun 9\% dibandingkan semester I/2019. Bahkan, di paruh pertama 2020, perusahaan ini mampu membukukan laba bersih Rp 5 miliar, padahal di periode yang sama tahun 2019 merugi Rp 19,70 miliar.

Budi S. Halim, CEO Sampoerna Agro, menjelaskan bahwa di tengah pandemi Covid-19, perusahaan yang dipimpinnya itu segera menyelaraskan kembali prioritas usaha, dengan menerapkan secara disiplin protokol kesehatan dan keselamatan kerja. Selain memantau dan membatasi akses pada areal kerja di konsesi operasional perusahaan, upaya business continuity plan Sampoerna Agro juga meliputi serangkaian inisiatif pencegahan lainnya. Di antaranya, pemindahan lokasi kerja beberapa eksekutif senior ke luar Jakarta yang merupakan zona merah Covid-19. “Tujuan utamanya adalah untuk memastikan kesiapan jika sewaktu-waktu terjadi kondisi buruk yang dapat merugikan perusahaan, sembari beradaptasi dengan lingkungan kerja di era new normal,” kata Budi.

Dari sisi manajemen finansial, lanjut Budi, Sampoerna Agro merumuskan serangkaian contingency plan dan meningkatkan perhatian terhadap manajemen arus kas, antara lain meninjau kembali belanja modal atau capital expendinture(capex) dan pengendalian biaya operasional lainnya. Analisis menyeluruh dilakukan dengan penekanan pada aktivitas operasional utama, serta serangkaian upaya efisiensi yang dinilai berdasarkan skala prioritas.

“Manajemen optimistis perseroan telah memiliki ketahanan (resilience) dan lebih siap menghadapi segala tantangan di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian ini karena serangkaian inisiatif yang telah dilakukan tersebut,” dia menandaskan.

Hingga Juni 2020, capex perusahaan berkode SGRO di Bursa Efek Indonesia ini yang digunakan mencapai Rp 217 miliar. Sekitar 70\% capex digunakan untuk investasi, perawatan, dan pemeliharaan tanaman. Sisanya untuk perawatan aset tetap (fixed asset), seperti gedung dan lini produksi.

Di samping itu, manajemen Sampoerna Agro juga mengubah struktur utang (re-profiling). Salah satunya, dengan merilis obligasi dan sukuk ijarah pada Maret lalu. Dengan begitu, rasio likuidas membaik, antara lain rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) tetap terjaga sebesar 0,9 kali pada semester I/2020, rasio utang terhadap laba kotor (debt to EBITDA) membaik dari 15,3 kali menjadi 4,3 kali, dan rasio cakupan utang (debt service coverage) meningkat dari 0,4 kali menjadi 1,1 kali.

Saat ini, Michael mengatakan, Sampoerna Agro fokus pada pasar domestik. Ini terutama karena kebijakan pemerintah yang menggalakkan program B30. “Program itu membantu penyerapan minyak sawit dalam negeri. Contohnya tahun lalu, produksi biodiesel kami 6 juta ton lebih. Hal tersebut untuk penstabilan konsumsi,” katanya.

Namun, akibat pandemi, tak ayal Sampoerna Agro pun merevisi target. “Tahun ini sebenarnya adalah peningkatan produksi 0-5\%. Tahun-tahun sebelumnya, produksi kami meningkatnya luar biasa, rata-rata di atas 5\%. Namun, setelah kami kaji kembali, kisarannya mungkin akan lebih menuju 0\% sampai akhir tahun. Kami harapkan, dari sisi harga akan membantu kinerja perusahaan,” Michael mengungkapkan.

Pandemi ini, menurutnya, membuat manajemen Sampoerna Agro tambah yakin bahwa dalam mengelola suatu bisnis, terutama perkebunan yang sifatnya long term, diperlukan komitmen untuk meningkatkan daya saing dan resilience. Sebab, yang ditimbulkan pandemi ini adalah ketidakpastian. (*)

Andi Hana dan Kusnan M. Djawahir

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved