Trends

Satu Tahun Usai Pencabutan Izin Konsesi Hutan, Bagaimana Situasi Saat Ini?

TuK Indonesia saat media briefing tentang satu tahun pencabutan izin konsesi. Hasil survei TuK Indonesia menunjukkan 72% pencabutan izin konsesi layak dari aspek lingkungan. (Ubaidillah/SWA)

Pencabutan izin konsesi kawasan hutan telah berjalan satu tahun (5 januari 2022-5 Januari 2023). Dalam rentang waktu tersebut, TuK Indonesia menilai pemerintah Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam melakukan penataan ulang lahan kawasan hutan.

Pada saat mengumumkan pencabutan izin, Presiden Jokowi didampingi oleh Menteri LHK menyatakan lahan-lahan yang telah dicabut izinnya akan dialihkan kepada warga, komunitas, organisasi lainnya untuk digunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, pencabutan izin tersebut ditujukan untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi dan deforestasi yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengatakan bahwa pencabutan izin ini seharusnya menjadi langkah awal dalam melakukan penataan terhadap industri kehutanan di Indonesia. Namun, tidak dalam perencanaan dan pelaksanaan yang baik sehingga berdampak pada tidak dapat dieksekusinya lahan kawasan hutan yang telah dilakukan pencabutan.

Penelitian TuK INDONESIA menemukan kebijakan pencabutan izin konsesi kehutanan ini harusnya bisa menjadi langkah besar dalam perbaikan penataan lingkungan hidup. Dalam hasil skoring fungsi kawasan hutan menunjukkan bahwa pencabutan izin layak dari aspek lingkungan.

Sebesar 72% areal konsesi yang dicabut 2022 dan dievaluasi merupakan areal dengan fungsi hutan lindung (HL) dan fungsi hutan produksi terbatas (HPT) yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit. Areal tersebut juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Hal ini mengindikasikan kerentanan bencana ekologis pada kawasan–kawasan konsesi tersebut.

Faktualnya, izin konsesi kawasan hutan yang telah dicabut telah beralih menjadi perkebunan sawit dan masih beroperasi hingga kini. Sebagai contoh PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama/Ganda, PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division/Gama, PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II) Grup TSE yang berada di Merauke, Papua.

Atas dasar tersebut TuK INDONESIA menyampaikan usulan kepada pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan perencanaan yang lebih sistematis terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Sehingga dapat diakses oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan dan mengembalikan fungsi lindung terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan sebelumnya.

“Sebagai tindak lanjut perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai redistribusi memberikan tanah miskin kepada warga miskin. Akhirnya muter-muter di lingkaran kemiskinan, tidak akan maju,” kata Edi dalam Media Briefing, Rabu (5/1/2023).

Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian mengatakan bahwa upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin ini yaitu pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan. Pencabutan izin konsesi dinilai belum menuju kepada terciptanya keadilan.

“Keadilan tidak dapat tercipta dalam ruang tertutup. Persoalan ini menjadi rumit sebab publik dalam republik ini tidak diberikan akses untuk tahu sejauh mana perjalanan negara ini sudah ditempuh”, lanjut Bayu.

Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan, menambahkan bahwa pencabutan izin ini harusnya juga direspons oleh lembaga jasa keuangan, khususnya terkait dengan kebijakan keuangan berkelanjutan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini layak dikorelasikan dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI).

“Sehingga investasi yang berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan. Selain itu juga memiliki jaminan hukum, serta secara berimbang memiliki apresiasi dan penalti (carrot and stick),” katanya.

Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa di dalam keputusan yang berangkai, ketika induknya sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas illegal. Fakta lain, 24 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat telah dilakukan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021.

“Namun hanya 12 perusahaan yang dilakukan pencabutan izin konsesi kehutanan. Padahal hasil evaluasi, perusahaan tersebut terbukti telah melakukan pelanggaran,” ucapnya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved