Management Trends zkumparan

Strategi Compensation dan Benefit Bukalapak

Bekerja di perusahaan besar dan mapan, saat ini mungkin sudah tidak menjadi pilihan utama bagi generasi millenial.

Semenjak tren perusahaan rintisan (startup) mulai mencuat beberapa tahun ke belakang, generasi langgas punya beragam alternatif baru dalam hal pengembangan karier mereka. Sebuah hasil survei pada 2014 menunjukkan, 67 persen generasi millenial lebih memilih untuk memulai bisnis sendiri dibandingkan menaiki tangga karier di sebuah korporasi besar.

Melihat fakta yang ada, perusahaan startup memang seolah membawa angin segar bagi generasi millenial dalam hal bekerja. Sebab, karakter millenial yang cenderung melek teknologi, berorientasi pada tim, serta haus akan kesempatan dapat terakomodasi oleh lingkungan kerja perusahaan startup.

Bukalapak sebagai salah satu perusahaan startup asli Indonesia juga mengakui bahwa mayoritas karyawannya didominasi oleh kaum millenial. Maka itu, untuk strategi compensation dan benefit pun disesuaikan dengan kebutuhan millenial. “Kebutuhan millenial itu financial dan experiential,” ujar Gema Buana Putra, Vice President Human Capital Bukalapak.

Di Bukalapak, ia mengatakan, strategi komensasi dan benefit disesuaikan dengan filosofi Bukalapak. Filosofi tersebut antara lain berekspektasi lebih besar kepada pertumbuhan dibanding kesetiaan, tanggung jawab daripada mematuhi aturan yang kaku, ekspektasi kontribusi daripada jam kerja, pemikiran terbuka alih-alih patuh, delivery nilai bukan pemenuhan rencana, misi bersama alih-alih sekedar membagikan misi, diskusi terbuka dibandingkan arahan, dan terakhir kolaborasi dan komunikasi bukan birokrasi.

Bagi Gema, sudah seharusnya sebuah perusahaan berani untuk memindahkan hal-hal yang sifatnya cash ke benefit-benefit lain yang non-cash. Karena pada dasarnya, kaum millenial itu adalah kaum yang pintar dan memiliki akses terhadap informasi yang luas. Mereka bisa menghitung semua pemberian dari perusahaan, bahkan lebih pintar dalam mengubah nilai menjadi EVS (Equivalent Value of Salary). “Kita tidak perlu khawatir, cash ditarik ke lain yang lain-lain. At the end mereka bisa menghitung dan membandingkan sendiri,” ujarnya.

Satu-satunya yang mungkin sulit dikonversikan ke dalam EVS adalah experience atau pengalaman. Ini yang bisa dimanfaatkan sebagai strategi membuat mereka bertahan. “Mereka ini haus akan pengalaman,” ungkapnya.

Kompensasi dan benefit pun sudah seharusnya juga memasukan experiential compensation & benefit seperti regulasi yang nyaman bagi mereka, interaksi sosial serta infrastruktur dan makanan. “Misalnya apapun yang dapat membuat karyawan merasa bebas, bertanggung jawab dipercaya dan menjadi manusia,” ujarnya.

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved