Technology Trends zkumparan

Strategi HDI Kembangkan Bisnis Fintech Lewat Kawasan Timur Indonesia

Hendra David

Kendati begitu, boleh dibilang hampir semuanya beroperasi di Pulau Jawa. Untunglah, masih ada nama seperti DavestPay –berada di bawah payung PT Hensel Davest Indonesia (HDI)–yang mau menggarap pasar konsumen di Kawasan Timur Indonesia (KTI). “Kami mungkin satu-satunya fintech yang bergerak di Indonesia Timur,” kata Hendra David, CEO HDI.

Mulanya, HDI adalah distributor pulsa. Baru pada 2015 menyiapkan diri untuk memasuki bidang pembayaran dan fintech. Pendiriannya secara resmi sebagai perusahaan fintech pada akhir 2017.

Lalu, mengapa DavestPay atau HDI memilih menggarap KTI? Menurut Hendra, ini karena pihaknya melihat kalangan yang sulit mengakses layanan perbankan, alias unbankable people itu, kebanyakan berada di Indonesia Timur. Ia berpendapat, selama ini ada yang tidak tepat, karena kebanyakan fintech terlalu fokus menggarap Pulau Jawa. Sudah begitu, kredit yang disalurkan via fintech –misalnya, layanan P2P (peer to peer) lending— cenderung ke penggunaan konsumtif. “Tujuan kami sebenarnya sama dengan pemerintah, supaya kreditnya bisa meningkatkan ekonomi, dan kesenjangan bisa diturunkan,” kata Hendra.

Wilayah garapan utama perusahaan rintisan fintech ini berada di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke kawasan timurnya. Kendati begitu, Kawasan Barat Indonesia juga tetap digarap. Menurut Hendra, saat ini komposisi bisnis perusahaannya sekitar 70% di kawasan timur dan 30% di kawasan barat. Untuk itu, business office-nya ada dua: satu di Makassar dan satu di Jakarta. “Kami fokus menggarap pasar blue ocean, yakni di Indonesia Timur, karena potensi UMKM dan masyarakat unbankable sangat besar, tapi belum ada perusahaan lain yang serius menggarapnya,” katanya. Ia pun menyebutkan bahwa visi HDI adalah menjadi platform fintech terintegrasi pilihan utama, yang berorientasi pada UMKM dan masyarakat unbankable.

Sebagai platform fintech terintegrasi, seperti dijelaskan Hendra, HDI memang punya beberapa layanan. Pertama, DavestPay, yang merupakan aplikasi pembayaran dan transaksi online untuk kalangan UMKM. Mekanismenya melalui agen-agen, dengan pola online to offline (O2O). Jadi, masyarakat pengguna membayar ke agen, lalu agen yang akan memasukkan ke dalam sistem online-nya. Sang agen sendiri bisa bertransaksi melalui aplikasi mobile, web, SMS-based ataupun application programming interface (API).

Kedua, Emposh, yakni marketplace platform untuk kalangan UMKM. Jadi, UMKM bisa memanfaatkan website ataupun mobile app dari platform ini dengan label putih atau merek mereka sendiri. Ketiga, PinjamAja, yakni solusi pendanaan bagi UMKM dengan pola P2P lending. Pilot project layanan PinjamAja sekarang dijalankan via DavestPay. Keempat, Motransfer, yakni aplikasi transfer uang antarbank lintasnegara. Dan kelima, BiroPay, yakni layanan payment gateway yang menghubungkan pemilik website dengan payment channel BiroPay.

Menurut Hendra, layanan yang saat ini sudah berjalan adalah DavestPay. “Yang lain masih menunggu izin operasional dari OJK,” ujarnya. DavestPay kini sudah memiliki sekitar 140 ribu agen yang tersebar di Indonesia, terbanyak di KTI, dengan user base sekitar 25 juta pengguna. Total karyawan full-time HDI saat ini 50 orang, sedangkan secara keseluruhan (termasuk part-timer) sekitar 350 orang.

Mengapa HDI perlu memiliki layanan variatif dan terpadu seperti itu? Menurut Hendra, ini adalah strategi sebelum diserbu oleh cross-selling platform. Sebaliknya, dengan layanan terpadu ini, HDI bisa melakukan cross selling. Hendra menyebutkan beberapa pemain juga sudah melakukannya seperti Grup Go-Jek.

Dalam menyediakan layanannya, HDI bekerjasama dengan beberapa bank sebagai mitra bisnis, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Artha Graha, dan BTPN Wow. HDI juga mengikat kerjasama dengan Finnet (anak usaha Telkom).

Di tahun 2017, menurut Hendra, HDI lewat DavestPay telah membukukan 150 juta transaksi. Sedangkan di kuartal II 2018 telah tumbuh 30% (dibandingkan periode yang sama tahun lalu).

Rencana terbesar HDI, menurut Hendra, adalah melakukan penawaran saham perdana (IPO). “Paling lambat, pada pertengahan tahun 2019,” ujarnya. Hasil penghimpunan dana dari IPO ini, menurutnya, akan digunakan khususnya untuk modal kerja perusahaan dalam menyasar UMKM dan kelompok masyarakat unbankable, serta mengembangkan teknologi dan SDM.

Menurut Heru Sutadi, pengamat industri berbasis teknologi, pada dasarnya industri fintech memang masih akan terus berkembang; baik di kawasan barat maupun timur Indonesia. “Sebab, fintech dapat membuka akses terhadap layanan keuangan yang tidak bisa dilakukan perbankan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute ini.

Heru mengatakan, semua jenis layanan fintech bisa ditawarkan kepada masyarakat, terutama e-payment dan P2P lending. “Namun, agar pemain baru bisa maju, mereka harus masuk ke segmen pasar yang memang belum tergarap, termasuk dengan mempertimbangkan jenis layanan dan wilayah layanan,” katanya menyarankan. (*)

Joko Sugiarsono & Yosa Maulana


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved