CEO Interview Technology

Adi Rusli, Naikkan Pamor EMC Indonesia dari Nothing to Something

Adi Rusli, Naikkan Pamor EMC Indonesia dari Nothing to Something

Perusahaan penyedia fasilitas penyimpanan (storage), EMC Indonesia, yang merupakan anak usaha dari EMC Corporation yang berbasis di Amerika Serikat (AS), sebenarnya sudah masuk ke Indonesia sejak 2006. Namun pamor mereka pada waktu itu masih “nothing” atau belum dikenal luas di nusantara ini. Maka pada 2009, ketika Adi Rusli ditarik dari Oracle ke EMC, dia harus memulai dari bawah untuk membangun EMC Indonesia. Hingga sampai saat ini EMC Indonesia sudah mempunyai pangsa pasar terbesar ketiga di Indonesia.

Ayah dua anak yang lahir pada 22 Juli 1967 ini melakukan cara-cara tertentu untuk menaikkan pamor EMC dari nothing to something. Pria lulusan Teknik Elektro Universitas Diponegoro dan mempunyai hobi golf ini juga mempunyai niat untuk menjadikan EMC sebagai perusahaan storage dengan pangsa pasar terbesar pertama di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Berikut perbincangan khusus yang dilakukan reporter Swa Online, Ria Pratiwi, dengan Adi Rusli (Country Manager EMC Indonesia), beberapa waktu lalu.

Adi Rusli, Country Manager EMC Indonesia, dalam sebuah acara (Juli 2013)

Adi Rusli, Country Manager EMC Indonesia, dalam sebuah acara (Juli 2013)

Bisa diceritakan bagaimana awal karier Anda?

Saya masuk ke dunia kerja sebagai programmer pada 1987, waktu itu masih kuliah, dan pada 1990 ketika saya lulus, saya bergabung dengan Federal Motor, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Astra Honda Motor (AHM). Setelah itu saya bergabung di perusahaan yang bernama MINCOM, yang merupakan perusahaan pembuat software yang ditujukan untuk perusahaan-perusahaan pertambangan. Kemudian, tahun 1995, saya bergabung ke Oracle, di sana cukup lama, sekitar 14 tahun lebih, baru tahun 2009 masuk ke EMC.

Kenapa memutuskan pindah ke EMC?

Dalam lima tahun terakhir di Oracle Indonesia, jabatan saya adalah Managing Director. Saya membawa Oracle Indonesia menjadi penyumbang terbesar bagi wilayah Asia Tenggara. Tahun 2009, EMC Indonesia datang ke saya dalam kondisi yang almost nothing. Mereka bukan baru sih (beroperasi di Indonesia) pada 2009, tapi sudah masuk ke sini sejak 2006. Cuma dari 2006 sampai 2009, ada pergantian pemimpinnya sampai lima kali. Kondisinya agak sedikit “porak poranda”, dan tingkat kepercayaan dari mitra bisnis atau pelanggan hampir tidak ada lagi.

Jadi ini menjadi tantangan baru untuk saya pada waktu itu. Saya juga belum pernah bekerja di industri perangkat keras, karena kan EMC secara mayoritas adalah (produsen) perangkat keras, sementara Oracle adalah (produsen) perangkat lunak.

Sejak masuk EMC tahun 2009 sampai sekarang (2013) di mana EMC bisa memiliki market share terbesar ketiga di Indonesia, apa saja yang sudah Anda lakukan?

Tidak ada yang istimewa. Saya tidak melakukan yang aneh-aneh kok. Dalam bisnis kami di teknologi informasi (TI), ada beberapa stakeholders kunci. Yang pertama adalah para pelanggan, kedua yaitu para mitra bisnis , dan tentunya orang-orang (karyawan) kita sendiri. Kita harus “mencintai” mereka (karyawan), harus memperlakukan mereka dengan baik, harus memperhatikan career development-nya, kompensasi, dan sebagainya; sehingga ini membuat mereka nyaman untuk bekerja.

Kemudian dengan mitra bisnis, tentunya kita ingin membangun bisnis yang profitable, bukan yang merugi. Kalau dengan customer atau pelanggan, tentunya kita tidak mau menempatkan diri sebagai penjual, tapi sedemikian rupa memposisikan diri sebagai partner mereka, bukan semata-mata sebagai penjual. Kita ingin membantu permasalahan mereka, baik dalam bisnis maupun infrastruktur TI mereka.

Kalau secara market, indsutri TI di Indonesia sudah besar atau masih kalah dengan negara-negara ASEAN lainnya?

Ini tergantung, seperti saya ambil contoh dalam perjalanan karir saya sendiri, bahwa di 2008 saya bisa membawa pendapatan Oracle Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Jadi kalau dalam konteks itu, pasar kita belum tentu lebih kecil daripada yang lain. Tapi dalam konteks lain, bisa jadi kita tertinggal jauh dari negara tetangga. Yang jelas dari tingkat kedewasaan adopsi teknologi informasi, kita masih tertinggal dari mereka. Ini masih bisa dilihat dari seberapa besarnya industri TI kita jika dibandingkan dengan PDB.

Namun, kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk adopsi IT juga tidak bisa dibilang rendah, karena ada juga yang sudah sophisticated. Kalau kita lihat misalnya perusahaan operator telco, jika dibandingkan dengan negara tetangga, mana ada negara lain yang punya pelanggan mencapai ratusan juta seperti di sini. Jadi apakah TI-nya (perusahaan telco) tertinggal? Tentunya tidak.

Memang kalau makin turun ke bawah segmennya, misal di pasar menengah atau SME memang kesadaran TI-nya masih cukup tertinggal. Cuma sekarang dengan teknologi yang ada, perusahaan yang kecil-kecil tersebut sudah mempunyai akses yang cukup mudah ke teknologi. Terutama teknologi cloud, di mana mereka tidak perlu melakukan investasi besar-besaran seperti perusahaan besar dulu sewaktu pertama kali memulai adopsi TI.

Mereka tidak perlu menjadi Astra International atau grup Garuda Food yang dulu implementasi TI-nya seperti apa. Misalnya untuk email atau kolaborasi sistem, mereka dulu tidak ada yang langsung pakai Google Mail, tapi beli Microsoft Exchange atau Lotus Note. Perusahaan baru sekarang tidak harus seperti itu, tapi mereka punya pilihan yang bisa lebih efisien. Jadi, dunia IT kita mungkin masih dalam journey (untuk menjadi lebih maju). Kalau kondisi sosial politiknya kondusif, bukan tidak mungkin akan bisa menyalip (industri TI) negara tetangga dari size yang mungkin bisa kita ciptakan untuk sektor TI.

Namun, yang benar-benar bisa dibilang kita masih tertinggal, yakni kita masih belum menjadi pemain utama atau penyedia aplikasinya, atau kita ini lebih ke arah sebagai pengguna saja. Misalnya games; memang di sini banyak perusahaan pembuat aplikasi games, tapi belum ada yang seperti di Korea. Lalu, di sini juga sudah banyak perusahaan yang bisa menyediakan ERP Solution, tapi skill-nya masih kecil. Jadi masih belum ada yang mempunyai skill sperti Microsoft, SAP, ataupun Oracle. Kemudian, perusahaan yang membuat aplikasi jaringan sosial, mungkin sudah ada, tapi tidak ada yang sebesar FB, Twitter, Tumblr, dan lainnya.

Berarti bisa dibilang bahwa dukungan pemerintah terhadap industri TI masih kurang ya?

Pemerintah sudah berusaha sedemikian rupa, tapi mungkin yang diurusi bukan hanya itu. Tapi mungkin memang belum ada keseriusan dari pemerintah untuk memperbesar industri TI sendiri. Dulu harapan saya ketika sudah mulai diseriuskan tentang industri kreatif, harusnya TI sebagai salah satu yang didorong, tetapi sejauh apa didorong, yang saya lihat sebagai pelaku industri sepertinya masih kurang. Kalau soal inovasi, sepertinya orang-orang kita tidak kalah pintar dengan yang di negara lain. Cuma ekosistemnya mungkin belum bisa dibangun sedemikian rupa. Seperti AS yang punya Silicon Valley, di mana ekosistem tersebut dibangun di sana. Ide-ide cemerlang bisa ditangkap dan ada venture capital yang bisa diserap. Di Indonesia mungkin sudah mulai banyak venture capital, tapi itu semata-mata orientasinya hanya untuk bisnis mereka, bukan untuk mengembangkan industrinya. Di Indonesia sudah lama ada Bandung Valley, tapi hasilnya apa yang konkrit sampai sekarang?

Selama menjabat di EMC Indonesia, apa suka dukanya?

Mungkin bukan duka, tapi tantangan yang dihadapi mungkin lebih kompleks, karena saya mesti menghadapi permasalahan mendasar, yaitu masalah awareness, edukasi pasar, persepsi terhadap EMC yang masih sangat negatif, mahal, tidak serius berbisnis di Indonesia, support-nya jelek, sehingga saya harus bisa memperbaiki citra atau persepsi terhadap EMC. Bahkan saya merasa masih belum selesai pekerjaannya, karena selain basic perception untuk EMC di storage-nya, portofolio kita secara bersamaan sudah melebar. Yang perlu disyukuri adalah kita bisa sebesar sekarang, bisa memperlihatkan kemajuan dan pertumbuhan yang cukup signifikan, walaupun memang pekerjaan masih jauh.

Apa target untuk EMC ke depannya?

Karena pekerjaan masih belum selesai, karena EMC itu nomor satu di dunia, maka saya berharap bisa membawa EMC menjadi pemain nomor satu juga di Indonesia. Karena bisnisnya juga dinamis. EMC itu bisnisnya tumbuh secara organis, juga merger dan akuisisi. Yang kita akuisisi adalah perusahaan di luar negeri, oleh kantor pusat EMC, yang bertujuan untuk melengkapi fungsi perusahaan kami secara keseluruhan. Misalnya akuisisi terakhir di area storage yaitu perusahaan Israel, ScaleIO.

Kemudian, ada akuisisi lagi di area security kita yakni RSA, yaitu perusahaan yang bernama Aveksa, yang bergerak di bidang identity dan access management. Jadi memang kita nomor satu di area storage, tapi karena portofolionya berkembang, otomatis tujuannya bukan hanya di sini, tapi meng-cover yang lainnya juga. (Berbagai akuisisi) ini dikembangkan dari bidang R&D kita, karena kita ini termasuk perusahaan yang besar dalam spending R&D yaitu 12% dari total revenue. Tahun lalu (2012) revenue kita mencapai US$ 21 miliar, jadi 12%-nya pasti besar sekali.

Untuk di Indonesia, tentu saja kita ingin memperluas bisnis storage, karena sekarang kita masih nomor tiga. Big data akan jadi growth engine buat kita, karena ini adalah sektor di mana kita menjadi salah satu pemainnya yang punya solusi di situ, dan solusi kita adalah end to end, dan bisa kita gabungkan structured dan unstructured data dalam satu mesin, storage, atau analytical appliance.

Kalau ambisi hidup Anda pribadi ke depannya seperti apa?

Salah satu aspirasi hidup saya adalah ke arah edukasi. EMC itu kan perusahaan AS, maka mereka berbisnis di sini, giving back-nya itu lebih ke arah edukasi. Di EMC, saya mulai menginisiasi untuk membangun aliansi dengan dunia akademi. Kita akan memberikan materi kurikulum pengajaran untuk mempersiapkan mahasiswa kita supaya siap terjun langsung ke industri (TI). Yang kita berikan adalah pengetahuan TI yang sedang menjadi tren, contohnya cloud. Kita adalah perusahaan yang pertama kali memberikan kurikulum tentang cloud. Lalu sekarang sedang disiapkan kurikulum tentang big data. Selain itu, kita juga akan memberikan modul pelatihan dan sertifikasi.

Pertama kita ingin tahu dulu, mereka (perguruan tinggi) melihat dunia TI itu seperti apa. Mereka yakin tidak lulusannya akan mudah terserap di industri yang nyata. Kalau mereka merasa masih kurang, biasanya kita menawarkan apa bisa dibantu, karena kan selama ini kalau ada pegawai baru pasti perusahaan akan training dia lagi. Tapi kalau sekarang mahasiswa sudah diberikan kurikulum tentang cloud, big data, maupun storage secara umum, maka ketika mereka melamar pekerjaan sudah bisa secara spesifik sebagai storage admin misalnya. Jadi itu yang ingin kita jembatani antara demand dan supply dunia akademi dengan industri (TI). (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved