Technology

Bank Jago, Kompatibel dengan Ekosistem Digital

Bank Jago, Kompatibel dengan Ekosistem Digital

Tak salah bila mengatakan tahun 2021 adalah tahunnya Bank Jago Tbk. Selain PT DCI Indonesia Tbk. (DCII), Bank Jago adalah salah satu bintang terang di dunia bisnis nasional, terutama di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI).

Akhir tahun 2020, harga saham bank berkode ARTO ini terbang dari Rp 4.270 per lembar pada 28 Desember 2020 menjadi Rp 15.950 pada 24 September 2021. Itu artinya melonjak 273,5%. Adapun kapitalisasi pasarnya melejit dari Rp 46,68 triliun pada akhir tahun lalu menjadi Rp 219 triliun per 24 September 2021. Catatan ini menempatkan Bank Jago di urutan keenam saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI pada Agustus 2021.

Ditinjau dari aspek fundamental, melejitnya Bank Jago sangat menarik perhatian. Respons pasar yang memberi valuasi tinggi layak membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Pasalnya, menggunakan pendekatan value investing, harga saham bank ini mestinya tak melesat tinggi. Bahkan, mungkin ambles ke dasar, tak tertutup kemungkinan mengarah menjadi saham gocap (Rp 50 per lembar). Maklum, bank ini masih merugi. Semester I/2021 kerugiannya mencapai Rp 46,7 miliar. Adapun sepanjang 2020 rugi Rp 189,6 miliar.

Namun, rupanya investor melihat dari sisi lain: prospek yang menjanjikan. Pertama, dari sisi kinerja yang menunjukkan perbaikan. Kerugian tahun berjalan (semester I/2021) menyusut dari kerugian periode yang sama tahun lalu (Rp 50,91 miliar). Kemudian, hingga akhir Juni 2021, Bank Jago telah menyalurkan kredit Rp 2,2 triliun, tumbuh 695% year on year (YoY).

Pertumbuhan kredit mengerek pendapatan bunga 289% YoY. Dengan beban bunga yang hanya meningkat 46%, perseroan mencetak kenaikan pendapatan bunga bersih sebesar 423% menjadi Rp 139 miliar. Namun, prospek yang paling membuat saham serta kapitalisasinya terbang tinggi adalah yang satu ini: Bank Jago adalah bank digital!

Ini adalah alasan paling sahih untuk menjelaskan kehebatan Bank Jago. Setelah diakuisisi Jerry Ng melalui PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia dan Patrick Sugito Walujo melalui Wealth Track Technology Limited pada Desember 2019, bank yang semula bernama Bank Artos ini memang bertransformasi menjadi bank digital. Segala lini diperbarui dan didigitalisasi.

Namun, yang membuat sentimen investor melonjak adalah Bank Jago terlihat memiliki ekosistem digital yang kuat. Ini ditegaskan setelah PT Dompet Karya Anak Bangsa (GoPay), yang terafiliasi dengan Gojek, resmi menjadi pemegang saham baru di Bank Jago (ARTO) pada 19 Desember 2020, dengan kepemilikan sebesar 22,16%. Diperkirakan total dana yang dikeluarkan dalam aksi korporasi ini mencapai Rp 2,77 triliun.

Analis melihat kerjasama Bank Jago dengan Gojek akan membuat bank digital ini memiliki kekuatan yang powerful. Bank Jago bisa memberikan layanan perbankannya di aplikasi Gojek sehingga mempunya akses ke hampir 30 juta pelanggan Gojek. Diyakini, kesuksesan bank digital terletak pada kekuatan ekosistem serta kemampuan memberikan pengalaman (experience) yang baik kepada nasabahnya. Bank Jago dinilai memiliki modal di dua titik ini.

Di bursa, analisis ini membuat dorongan pembelian saham Bank Jago melonjak, dan saham bank ini makin melejit begitu pada 17 Mei 2021 Gojek merger dengan Tokopedia menjadi GoTo. Investor, juga masyarakat, langsung meyakini Bank Jago sungguh-sungguh memiliki ekosistem yang kuat. Seperti diketahui luas, GoTo memiliki ride-hailing, e-commerce, payment, sampai pesan antar makanan. Oh ya, Patrick Sugito Walujo adalah pemilik North Star yang notabene menjadi investor Gojek (yang kemudian menjadi GoTo).

Faktanya, April 2021, sewaktu aplikasi Bank Jago resmi diluncurkan, bank digital ini menawarkan sejumlah fitur menarik, yang memudahkan nasabah mengelola keuangan secara sederhana, kolaboratif, dan inovatif. Salah satunya, fitur “Kantong” (Pocket).

Jadi, sewaktu pertama mengakses aplikasi ini, nasabah akan mendapat satu kantong utama (main pocket) berisi saldo awal di tabungan mereka. Setelah itu, mereka bisa membuat sejumlah kantong untuk membagi uang tersebut ke beberapa pos kebutuhan, mulai dari kantong belanja, pendidikan, hiburan, sampai liburan. Customized services di layar ponsel!

“Ini yang paling menarik. Ini merupakan hal baru yang memampukan nasabah mengelola uang secara mudah, simpel, dan kolaboratif,” ujar Tjit Siat Fun, Direktur Kepatuhan Bank Jago. Kantong ini bisa dibuat dengan mudah dan cepat, seperti membuat folder di komputer. Selain itu, kantong ini juga bisa diberi warna, foto, hingga nama.

Fitur Pocket hanyalah salah satu fitur andalan. Masih banyak fitur unggulan lainnya yang diberikan. Yang pasti, ungkap Tjit, prinsip yang dikedepankan Bank Jago adalah kemampuan aplikasinya yang kompatibel dengan teknologi digital para pemain yang ada di ekosistem tempat bank digital ini beroperasi sehingga layanan yang diberikan bersifat seamless (tanpa gangguan).

“Bagi kami, bank digital itu tidak sekadar menawarkan kecepatan dan kemudahan. Lebih dari itu, bank digital yang baik harus mampu tertanam dalam ekosistem dan bisa berkolaborasi secara mendalam dengan pelaku bisnis di ekosistem,” kata Tjit tandas.

Kesadaran itu benar-benar diwujudkan. Bank Jago telah mengintegrasikan dirinya dengan aplikasi Bibit.id (reksa dana online) dan Gojek sehingga memberikan banyak benefit bagi nasabah. Misalnya, transaksi di Bibit bisa cepat dilakukan karena sumber dananya bisa dikaitkan dengan rekening Bank Jago. Begitu pula pada aplikasi Gojek: akun di Bank Jago bisa disambungkan untuk sumber pembayaran GoPay sehingga tidak membutuhkan biaya top-up dan tanpa limit dana lantaran disesuaikan dengan saldo di rekening.

Keberadaan dalam sebuah ekosistem digital memang menguntungkan bank digital. Selain seamless, kolaborasi dalam ekosistem digital membuat Bank Jago mampu menggunakan strategi omnichannel dalam memberikan layanan bagi nasabahnya. Keberadaan para pelaku dalam eksosistem digitalnya (ride hailing, pesan antar, dsb.) seakan menjadi kepanjangan tangan Bank Jago dalam memuaskan nasabahnya. Cukup dengan aplikasi di ponselnya, nasabah bisa memanfaatkan seluruh layanan yang ada dalam aplikasi Bank Jago.

Bicara dari sisi keuangan, selayaknya bank yang memainkan fungsi intermediasi, Bank Jago juga mengandalkan sumber pendapatan dari lending (kredit) demi mencari net interest margin (NIM). Di sini, Tjit menjelaskan, mereka mempunyai dua model pembiayaan: partnership-institusi keuangan dan partnership–value chain.

Untuk yang pertama, Bank Jago melakukan pembiayaan UKM melalui skema channeling dengan P2P lending, dan kerjasama dengan multifinance. Adapun model yang kedua, bekerjasama dengan perusahaan atau korporasi besar untuk membiayai supplier atau distributor, juga bekerjasama dengan platform online untuk membiayai agen atau merchant.

“Kami bekerjasama dengan sejumlah fintech lending dan digital ecosystem untuk menyalurkan kredit. Kami akan konsisten pada strategi ini karena kami melihat peluang di segmen ini masih sangat besar,” kata Tjit.

Realitasnya, seperti disinggung di atas, hingga akhir Juni 2021, penyaluran kredit mencapai Rp 2,2 triliun. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 115% (year to date) dari Rp 804 miliar menjadi Rp 1,7 triliun dengan rasio CASA (Current Account Saving Account) 30%.

Catatan yang menarik, pertumbuhan itu sebagian berasal dari nasabah digital banking setelah diluncurkan pada April 2021. Ini setidaknya menunjukkan layanan Bank Jago semakin mampu menarik nasabah, dan tampaknya ini pula yang membuat investor melihat masa depan Bank Jago terbilang menjanjikan sehingga sahamnya layak dikoleksi kendati masih merugi.

Kerugian yang masih didera memang tak bisa dinafikan. Namun, Kharim Siregar, Direktur Utama Bank Jago, dalam paparan publik 8 September 2021 mengatakan, bila dilihat performa semester I/2021, ada sinyal positif, yaitu menekan kerugian. “Kami perkirakan triwulan berikutnya sudah bisa membukukan pertumbuhan positif. Ini terjadi karena kami bisa merealisasi bisnis kami sehingga meningkatkan pendapatan operasional,” katanya.

Pendapatan operasional bank digital ini tumbuh menjadi Rp 142 miliar di semester I/2021 dibandingkan tahun 2020 (Rp 67 miliar). Selagi mengejar pertumbuhan, Bank Jago juga terus menguatkan infrastruktur. Itulah mengapa beban operasional semester I/2021 meningkat Rp 183 miliar, terutama karena investasi di digital banking dan biaya promosi, sesuatu yang memang sangat penting dalam mengarungi kehidupan sebagai bank digital. (*)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved