Management Technology Trends

Kimia Farma Usung Model Incremental Revenue untuk Digitalisasi Bisnis

Kimia Farma Usung Model Incremental Revenue untuk Digitalisasi Bisnis

Honesti Basyir, Direktur Utama Kimia Farma

Tidak seperti industri telekomuniksi yang sebagian besar pangsa pasarnya dipegang Telkom, industri farmasi cenderung terfragmentasi. Pemain nomor satu di industri ini hanya memegang kurang dari 10 persen dari total pangsa pasar 200 perusahaan di dalamnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Honesti Basyir, Direktur Utama Kimia yang sempat berkarier selama 20 tahun di Telkom.

Ia mengaku, awalnya tidak memahami seluk beluk industri ini. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Honesti menemukan kesimpulan bahwa inti dari segala bisnis adalah supply dan demand. “Ketika kita bisa mengintegrasikan supply dan demand, itu monetizing. Kebetulan saya lihat ada satu uniqueness di Kimia Farma yang tidak dimiliki industri lainya. Kami itu end-to-end. Secara value chain, Kimia Farma mungkin di dunia sekalipun tidak banyak yang seperti ini. Dari produksi obat, kamii distribusikan, jual ritel di apotek, kelola klinik, punya lab diagnostik sendiri. Biasanya, pemain lain hanya di sisi supply saja,” dia mengungkapan.

Kimia Farma kini memiliki 7 pabrik obat, channel distribusi jaringan nasional, 1.200 outlet apotek dan 600 klinik. Melihat kondisi itu, Honesti merasa perlu melompat pada level berikutnya, yaitu indstri healthcare.

Ia menjelaskan, “Dari sana saya punya satu pemahaman; seandainya saya memiliki satu sistem yang mengintegrasikan sisi supply dan demand ini, magnitude-nya akan sangat luar biasa karena selama ini model bisnisnya fokus per masing-masing value chain saja. Tidak ada yang mencoba berpikir bahwa ini adalah konsep ekonomi dasar, supply chain.”

Menurut Honesti, industri sejenis ini belum memiliki benchmark. Jadi, Kimia Farma harus menemukan cara baru melalui trial and error. “Apa yang kami lakukan? Kalau bicara ekosistem healthcare, Kimia Farma adalah prototype dari industri yang besar. Pertanyaannya, kalau kami bisa membuat Kimia Farma efisien, apa yang kami lakukan bisa kami angkat ke level yang lebih besar,” ujarnya.

Ia berharap, platform ini akan digunakan industri lain. Namun, kebanyakan perusahaan masih memikirkan masalah biaya investasi yang tinggi.

Solusinya adalah membuat model bisnis baru, dengan berkolaborasi dengan penyedia teknologi. “Saya cari yang paling kuat, Telkom. Mereka punya semua; uang, network, orang, teknologi. Kalau kita bisa bersinergi, itu luar biasa karena kami tidak punya resource. Akhirnya, untuk masalah IT, kami tetapkan hanya satu kontrak dengan Telkom. Yang lain di bawah Telkom. Kalau satu-satu takut salah, karena kami tidak punya orangnya. Bayarnya adalah dengan incremental revenue. Kalau ini berhasil, ada incremental revenue yang kami share ke Telkom. Kami sudah hitung dalam waktu 5 tahun mendatang, butuh setidaknya Rp 5 triliun. Revenue kami kurang dari Rp 10 triliun setahun,” jelasnya.

Adapun platform yang dibangun tersebut mengintegrasikan supply dan demand; mulai dari produksi obat hingga penjualan. “Kami juga buat pabrik bahan baku untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor,” ujarnya menegaskan.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved