Technology

Masa Depan Google di Depan Mata

Oleh Admin
Masa Depan Google di Depan Mata

Seorang pria berbadan kekar berjalan dengan tegap. Jas warna gelap dan kacamata melengkapi penampilannya. Pria seperti ini biasa ditemui dalam film detektif. Dengan kacamatanya, ia mengambil gambar situasi sekitar tanpa diketahui siapapun. Ia pun tak khawatir tersesat di wilayah asing. Kacamata yang dikenakannya memberi petunjuk jalan bahkan mendeteksi wajah orang-orang di sekitarnya lengkap dengan biografi. Saat ini, situasi tersebut baru bisa ditemui di film detektif. Namun tiga atau empat tahun mendatang bukan tidak mungkin bila hampir setiap orang seperti menjadi tokohnya dengan kacamata Project Glass yang dikeluarkan Google.

Sejak diumumkan April lalu, Project Glass menarik banyak perhatian. Berbagai perbincangan muncul di kalangan pebisnis dan pengamat teknologi. Obrolan tentang Project Glass pun semakin hangat setelah Google membuka pre-order kacamata tersebut untuk developer. Tak tanggung-tanggung, harga yang dibandrol wearable computer ini US$ 1.500. Hal tersebut disampaikan Desainer Senior Google, Isabelle Olson dalam konferensi Google I/O 2012 Kamis 28 Juni 2012.

Seperti dikutip Guardian, para developer akan menerima kacamata tersebut awal 2013 mendatang. Dua tahun setelahnya, masyarakat bisa menikmati teknologi ini dengan harga yang lebih terjangkau. Co-founder Google, Sergey Brin memperjelas bahwa harga Glass, hasil dari Project Glass akan lebih mahal dari smartphone. “Kami memandang ini sebagai suatu benda premium,” katanya. Saat ini Google masih dalam tahap penyempurnaan. Google pun tengah mencari cara agar baterai lebih tahan lama sehingga dapat dikenakan di luar sepanjang hari.

Rafe Needleman Mengenakan Prototype Project Glass

Glass menghadirkan fitur seperti mencari informasi, membaca pesan singkat, menonton video online, bahkan mengirimkan foto ke sosial media tanpa bantuan tangan. Beberapa jurnalis berkesempatan menjajal prototype teknologi ini termasuk Rafe Needleman, jurnalis CNET. “Kacamata tersebut memiliki output audio di telinga kanan saja. Tidak ada earbud. Suaranya keluar ke udara. Serunya adalah ketika menelungkupkan tangan menutup telinga dan pelipis untuk memperkuat suara,” ungkap Rafe dalam reportasenya.

Berbeda lagi dengan pengalaman jurnalis Bloomberg Businessweek, Brad Stone. “Alat ini lebih ringan dari sepasang kacamata biasa. Bahkan Anda nyaris lupa ada alat itu di muka. Layarnya mengambang di udara, sangat mengasyikkan. Namun ketika mata tertuju hal lain di luar bifokal, layar tersebut hilang,” Brad menjelaskan.

Konsep Glass menurut Brad sangat ambisius dan menantang hampir semua keterbatasan teknologi seperti baterai, kapasitas jaringan, dan metode input. Tantangan lainnya adalah keamanan. Akankah pemakai Glass mengakses website dan baca email seraya mengendarai atau mengawasi anak-anak mereka? Kacamata ini kemungkinan juga akan bertabrakan dengan norma ketika orang bisa mengambil gambar dimana pun, kapan pun, tanpa sepengetahuan orang lain. Bicara privasi, pemakai kacamata Project Glass bisa mengidentifikasi seseorang dari wajah kemudian dengan cepat mengetahui latar belakangnya tanpa diketahui siapapun.

Direktur Produk Google, Steve Lee mengatakan bahwa pihaknya masih mendiskusikan beberapa aturan mengenai penggunaan Glass. “Setiap ada alat, selalu ada etika yang dikembangkan,” tutur Steve. “Dalam banyak hal, hal tersebut tidak begitu berbeda dengan ketika saya menggunakan smartphone saat ini,” lanjutnya.

Kalau Glass masuk Indonesia, barangkali cafe penyedia koneksi wi-fi makin laris. Kopi yang dibeli pengunjung untuk menemani browsing tak perlu antri tangan dengan laptop sampai dingin. Pemakai Glass lebih leluasa menikmati secangkir kopi. Biarkan tangan menggenggam cangkir kopi, urusan browsing serahkan pada mata dan kacamata Google.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved