Technology

Overhaul Infrastruktur TI Citigroup Setelah Bencana Finansial

Overhaul Infrastruktur TI Citigroup Setelah Bencana Finansial

Kalau saja Pemerintahan Obama tak turun tangan menginjeksikan dana besar-besaran, Citigroup tentu termasuk ikon keuangan dunia yang bakal tumbang didera tsunami finansial akibat masalah subprime mortgage. Demi memulihkan diri, langkah restrukturisasi besar-besaran pun dijalankannya, termasuk di bidang operasional TI.

Sebelum krisis finansial yang diakibatkan macetnya gunungan subprime mortgage di pasar keuangan Amerika Serikat meledak, Citigroup dikenal sebagai salah satu ikon penting industri keuangan negeri itu. Bahkan, ketika pada 2007 rumor mengenai bakal meledaknya masalah kredit macet akibat produk derivatif itu berembus, Charles O. Prince, Chairman dan CEO Citigroup ketika itu, dengan lantang berujar bahwa perusahaannya “masih mampu berdansa”.

Namun, tak lama kemudian, musik pun berhenti. Citigroup ikut rugi besar karena cukup besar exposure dananya di produk subprime mortgage itu. Mr. Prince pun dipaksa turun takhta oleh Board of Directors pada November 2007. Pada 12 Desember 2007, Sir Win Bischoff ditunjuk sebagai chairman, sedangkan posisi CEO diberikan kepada Vikram Pandit yang sebelumnya mengepalai unit perbankan investasi perusahaan ini. Tahun 2007 itu diperkirakan kerugian yang dialami Citigroup mencapai US$ 5,9 miliar.

Kerugian itu tak berhenti di situ. Malah menjadi awal dari banyak kerugian susulan. Terbukti pada 2008, salah satu raja bisnis keuangan di bidang corporate dan consumer banking ini pun menderita kerugian total hingga US$ 27,7 miliar pada 2008 — kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan. Bencana ini mengundang Pemerintahan Obama menjalankan Troubled Asset Relief Program (TARP) — semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional di Indonesia. Lewat ini, pada Oktober 2008, Pemerintah AS menginjeksikan dana talangan (bailout) dari para pemegang pajak di Negeri Abang Sam itu senilai US$ 25 miliar. Lalu, akibat harga sahamnya terus tergerus, Pemerintah AS kembali menyuntikkan dana US$ 20 miliar. Ini menjadikan para pembayar pajak AS — yang diwakili pemerintahnya — sebagai pemegang saham mayoritas di Citigroup.

Sejalan dengan itu, Pemerintah AS meminta Citigroup merombak jajaran direksinya. Pada 21 Januari 2009, ditunjuklah Richard D. Parsons, mantan Chairman Time Warner, untuk menjabat sebagai Chairman Citigroup baru menggantikan Sir Win Bischoff. Adapun posisi CEO tetap dipegang Pandit. Bersamaan dengan itu pula, Citigroup membelah bisnisnya menjadi dua unit — yang dipimping oleh manajer yang berbeda — menjadi Citicorp (menangani corporate dan investment banking) dan Citi Holdings (menangani consumer banking). Ini dimaksudkan agar para investor lebih fokus melihat mana bisnis yang lebih sehat.

Pada Desember 2009, Citigroup mengumumkan sebuah program besar yang akan menggantikan US$ 20 miliar dana bailout dengan uang dari para investor swasta, memfasilitasi penjualan saham pemerintah senilai US$ 25 miliar, dan menyediakan diri untuk kemungkinan bantuan dari pemerintah. Namun, rencana perusahaan mengumpulkan dana senilai US$ 20,5 miliar dari pasar saham tak berjalan mulus karena pasar tak merespons dengan baik, sehingga rencana mengeluarkan saham pemerintah ini pun ditunda. Pada April 2010, Citigroup menjual unit hedge fund-nya yang senilai US$ 4,2 miliar kepada SkyBridge Capital.

Nah, setelah dua tahun rapornya senantiasa merah, Citigroup mulai menunjukkan sinyal positif untuk pulih setelah mencatat profit sebesar US$ 4,4 miliar pada kuartal I/2010. Prestasi ini bahkan mengalahkan dua bank besar pesaingnya, JP Morgan dan Bank of America. Dan, pencapaian ini di luar ekspektasi kebanyakan analis. Tampaknya ini berkat bangkitnya pasar obligasi dan berkembangnya perekonomian.

Tentu saja, pencapaian itu masih jauh dari kondisi aman. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan Citigroup. Dengan latar belakang seperti itu, pantaslah bila Citigroup punya kemauan keras melakukan langkah overhaul besar-besaran. Program restrukturisasi yang dicanangkan mencakup pemotongan sekitar 17 ribu posisi pekerjaan. Tujuannya antara lain memangkas US$ 2,6 miliar dari pengeluaran tahunannya. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Grup TI perusahaan keuangan ini pun segera mencari cara untuk bisa menghemat ratusan juta US$ uang perusahaan.

Namun sebelum bom krisis finansial meledak di akhir 2007 itu, manajemen Citigroup sebenarnya sudah berencana melakukan transformasi bisnis. Diumumkan sejak April 2007, ketika itu Citigroup juga telah mengumumkan akan melepaskan sekitar 17 ribu karyawannya (7%-8% dari total karyawannya yang mencapai 327 ribu orang waktu itu). Kala itu juga disebutkan dalam tiga tahun penghematan ini akan bernilai lebih dari US$ 10 miliar. Selain pemangkasan SDM, Citigroup pun menyebutkan akan memindahkan 9.500 posisi pekerjaan di back office dan korporat ke lokasi-lokasi yang lebih murah biayanya (dibandingkan kota-kota seperti London, Hong Kong ataupun New York), baik di dalam negeri (AS) maupun luar negeri.

Apa pendorongnya? Prince yang saat itu masih menjabat chairman dan CEO dalam pernyataannya menyebutkan bahwa langkah ini bertujuan mengidentifikasi dan mengeliminasi biaya-biaya organisasi, teknologi dan administrasi yang tidak berkontribusi pada kemampuan perusahaan men-deliver produk dan layanan secara efisien kepada para pelanggan/nasabahnya. Akan tetapi, Guillermo Kopp, analis dari TowerGroup di Boston, menilai langkah transformasi ini dilakukan lantaran pengeluaran Citigroup tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan revenue-nya. “Pada 2005-06, pengeluarannya tumbuh hampir 15%, sedangkan revenue hanya tumbuh 8%,” kata sang analis. “Memang, tidak ada ‘peluru perak’ buat mendongkrak revenue, sehingga mereka perlu merestrukturisasi.”

Dalam pernyataannya saat itu, Citigroup menyebutkan pula bahwa langkah restrukturisasi itu juga mencakup bidang operasional TI, yakni konsolidasi pusat-pusat data, optimalisasi teknologi yang sudah ada, restrukturisasi jaringan (data dan voice) secara global, standardisasi proses pengembangan aplikasi, dan konsolidasi vendor.

Nah, restrukturisasi bidang operasional TI ini sudah dijalankan cukup sukses oleh Citigroup. Prioritasnya diletakkan pada restrukturisasi jaringan sebagai tulang punggung sistem TI raksasa keuangan berskala bisnis US$ 80 miliar ini — yang dalam prosesnya juga akan membenahi aspek-aspek operasional TI lainnya.

Menurut Yesim Akdeniz, Direktur Pengelola Network Engineering Citigroup, langkah restrukturisasi infrastruktur TI ini sejatinya bukan hanya untuk menghemat pengeluaran, tetapi lebih jauh lagi untuk mengubah cara perusahaan ini mengelola tulang punggung TI-nya yang berukuran massif dan kompleks.

Prinsip langkah overhaul jaringan ini sederhana: simplifikasi dan standardisasi jaringan. Namun, mengingat besarnya jaringan dan volume bisnis Citigroup, pelaksanaan proyek ini jelas tak sesederhana prinsipnya.

Selama bertahun-tahun — sebelum bencana subprime mortgage melanda — Citigroup dikenal punya strategi penetrasi pasar yang amat agresif. Bahkan, hingga saat ini saja, perusahaan keuangan ini masih memproses volume transaksi sebesar US$ 3 triliun untuk 200 juta pelanggannya di 140 negara.

Lantaran agresivitasnya itulah, dulu perusahaan ini sering mengambil pendekatan reaktif dalam mengembangkan sistem dan jaringan TI-nya. Aspek time to delivery sering diprioritaskan, mengalahkah ukuran bisnis lainnya. Karena tidak efisiennya, sulit sekali mengetahui total volume data dalam jaringan, biaya kepemilikan (cost of ownership), ataupun belanja para vendor yang sesungguhnya. “Maklumlah, kami punya banyak tim di seluruh dunia yang mengeksekusi aneka program di wilayah mereka. Jarang sekali kami melihat seperti apa keseluruhan program dan perubahannya itu secara global dan sejauh mana potensi saling memengaruhinya,” ungkap Akdeniz.

Akibatnya, Citigroup punya banyak masalah dalam hal infrastruktur TI-nya. Contoh masalah yang besar adalah terlalu banyaknya silo (semacam kumpulan atau gudang data yang tak jelas), tiadanya proses manajemen terhadap aset ataupun demand dari user, masih banyaknya infrastruktur lama (legacy) yang mahal, seringnya terjadi overcapacity atau sebaliknya under-utilization pada jaringan, terbatasnya kemampuan kontrol terhadap data keuangan, dan yang tak kalah beratnya adalah kuatnya resistensi terhadap perubahan. “Karena itu, kami harus mengubah secara fundamental cara kami bekerja,” kata Akdeniz.

Akdeniz dan timnya pun memancang rencana besar transformasi tulang punggung sistem TI-nya. Ini mencakup transformasi pada 45 ribu unit perangkat jaringan dan 225 ribu perangkat telepon yang mendukung aktivitas paling penting dan kritis (mission-critical) di seantero perusahaan.

Melihat skala proyek dan ukuran bisnis Citigroup, mestinya proyek ini membutuhkan waktu lima tahun. Namun, Akdeniz dan timnya mampu menuntaskannya hanya dalam waktu setahun. Itulah mengapa proses transformasi infrastruktur TI di Citigroup ini diganjar CIO 100 Award untuk tahun 2010.

Apa rahasianya? Akdeniz mengambil metode yang disebutnya “business incubator approach”. Cara ini untuk memastikan respons tim TI bisa cepat, tetapi tidak reaktif. Di sini, Tim Jaringan mengembangkan metode proses yang bisa mengevaluasi tools baru dibandingkan dengan tools yang sudah ada, yang kemudian melaporkan hasilnya ke grup-grup yang terpencar global. “Metodologi seperti ini mempercepat implementasi teknologi-teknologi inovatif,” kata eksekutif wanita ini dengan nada gembira. “Juga, memperbesar peluang solusi-solusi tersebut akan menjadi bagian dari rencana strategis jangka panjang kami.”

Tentu, langkah transformasi ini bukan hanya melibatkan pihak-pihak internal, tetapi juga pihak eksternal seperti para pemasok sistem atau vendor. Beruntung, meskipun dikenal sebagai salah satu pengguna sumber daya infrastruktur TI terbesar di dunia, selama ini Citigroup menggunakan sourcing strategy terpisah-pisah, sehingga tak ada keguncangan dalam hubungannya dengan para vendor ini.

Nah, dalam hal ini Network Group Citigroup justru lebih memantapkan kemitraan dengan para vendor strategis untuk membuat kontrak yang lebih komprehensif dan memperkenalkan analisis belanja berkelanjutan (continuous spending) guna meningkatkan service level mereka. Grup ini juga menyinkronisasi jadwal penyegaran teknologi perusahaan guna mengoptimalkan biaya, sekaligus memperkenalkan proses demand-management dalam penggunaan sumber daya. “Ya, kami tentu ingin mengembangkan sesuatu yang berkelanjutan, dan ingin menjaga kinerja terbaik kami, guna mendukung pertumbuhan perusahaan, efisiensi biaya, kualitas layanan dan risiko,” kata Akdeniz.

Hasil yang telah dicapai sejauh ini cukup menggembirakan. Dengan langkah overhaul infrastruktur ini, Citigroup berhasil mengurangi jumlah perangkat dan sirkuit jaringan hingga 25% dalam tiga tahun terakhir dan memangkas biaya infrastruktur TI — sebuah penghematan yang nilainya setara dengan lebih dari US$ 300 juta. Bahkan, Akdeniz berani memastikan, semua solusi yang diinisiasi grup di bawah komandonya ini didesain untuk menghasilkan angka return on investment positif hanya dalam setahun.

Keberhasilan yang dicapai di bidang operasional TI ini memang baru sebagian dari keseluruhan aspek bisnis Citigroup. Namun, harus diingat bahwa TI memegang peran signifikan di bisnis perbankan yang dijalaninya. Sehingga, bolehlah diharapkan keberhasilan di TI ini bisa memberikan dampak signifikan bagi proses recovery Citigroup secara keseluruhan. (*)

Riset: Dian Solihati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved