Technology

Pupuk Batu Bara, Inovasi Saputra yang Meraih Paten dari Amerika

R. Umar Hasan Saputra, peneliti & pendiri PT Saputra Global Harvest (SGH).
R. Umar Hasan Saputra, peneliti & pendiri PT Saputra Global Harvest (SGH).

16 Juni 2020 menjadi tanggal bersejarah bagi PT Saputra Global Harvest (SGH). Pada hari itu, pupuk batu bara, produk inovasi yang dikembangkannya, berhasil meraih hak paten dari Pemerintah Amerika Serikat (AS), yakni dari United States Patent and Trademark Office. Sebuah pencapaian yang istimewa karena boleh dibilang menjadi satu-satunya teknologi produk buatan Indonesia yang berhasil memperoleh hak paten di AS.

Adalah R. Umar Hasan Saputra, peneliti sekaligus pendiri SGH, yang gigih dengan penemuan baru itu. Dengan demikian, hak paten tersebut menjadi semacam “bahan bakar” tersendiri untuk masuk ke negara maju. Terlebih, di AS sendiri belum ada pesaingnya. Itu sebabnya, pupuk batu bara dengan merek dagang Glogens Organic Micro-Carbon Fertilizer ini akan bisa dijual di AS dan Meksiko, Amerika Utara. “Kami sudah pede untuk menyasar market Amerika. Apalagi, kini juga sudah ada pesanan dari Jerman dan Jepang,” kata Saputra bangga.

Menurutnya, pupuk batu bara merupakan temuan yang telah lama dikaji. Sebagai seorang pebisnis dan inventor bidang pertanian lulusan IPB University, Bogor, yang pernah menjadi dosen (1993-2006), CEO SGH ini menyadari pentingnya membuat terobosan teknologi di bidang pertanian.

Hal itu yang mendorongnya mundur sebagai tenaga pengajar dan memilih fokus pada pengembangan bisnis pupuk batu bara dan beberapa bisnis lainnya. “Saya sampai hari ini masih menjadi seorang peneliti dan memiliki perusahaan sendiri yang fokus pada penelitian,” ujarnya.

Saputra pun memiliki visi besar, yaitu memakmurkan dan menyejahterakan seluruh penduduk bumi. Menurutnya, untuk memakmurkan penduduk bumi, pangan harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Jika berbicara pertanian di seluruh dunia, kendalanya adalah tanah pertanian di seluruh dunia sudah rusak.

Kondisi pertanian di seluruh dunia saat ini bisa diibaratkan dengan tanaman jeruk yang mengambil 26 unsur dari tanah, sementara kita hanya memberikan tiga unsur kepada tanah melalui pupuk, yakni pupuk NPK. Jika dilakukan terus-menerus, kita akan kehilangan 23 unsur dari tanah dan tidak bisa digantikan. Artinya, masalah utama pertanian adalah pada pupuk.

“Kita selalu berkata bahwa pertanian terkait dengan pupuk, namun ternyata pupuk juga memiliki masalah. Masalahnya adalah yang kita berikan dengan pupuk tidak seimbang dengan yang kita ambil dari tanah,” Saputra mengungkapkan. Karena itu, yang harus diperbaiki adalah pupuknya terlebih dahulu. Dengan demikian, kita harus membuat pupuk yang kandungannya sama dengan kandungan tanaman yang diambil dari tanah. Bahan baku pupuk pun seharusnya berasal dari bahan baku tanaman agar kandungannya sama dengan tanaman.

Di Indonesia, pupuk batu bara ini diberi merek dagang Futura. Keunggulan pupuk batu bara ini, bersifat organik dan eco-friendly karena dapat memperbaiki kondisi tanah serta dapat diproduksi lebih cepat dan masif. Di samping itu, pupuk ini juga relatif lebih ekonomis dibandingkan pupuk kimia.

Saat ini, ada yang sudah menggunakan pupuk yang berasal dari tanaman, yakni kompos. Namun, kalau diaplikasikan pada jutaan hektare sawah atau perkebunan, itu akan sulit bahan bakunya. Di samping itu, untuk membuat kompos, dibutuhkan waktu 1-2 bulan. “Sejak 2009, saya sudah memikirkan itu. Riset batu bara (mulai) saya lakukan di 2009,” kata Saputra.

Menurutnya, batu bara itu tidak bisa serta-merta menjadi pupuk. Di situlah ia menelitinya sampai 2016 dan di tahun tersebut, ia sudah menemukan bagaimana teknologi untuk membuat pupuk dari batu bara. Di 2016, ia melihat teknologi tersebut baru ada di Indonesia dan di dunia. Akhirnya di 2017, teknologi tersebut ia daftarkan ke AS. “Jika bisa mendapatkan paten dari AS, akan baik sekali karena negara tersebut merupakan pusat teknologi,” katanya.

Namun, untuk mendapatkan hak paten dari AS tidaklah mudah karena memerlukan waktu 3,5 tahun untuk meraihnya. Untuk hak paten pupuk batu bara ini, Saputra tidak hanya sebagai penemu, tetapi juga sebagai pemegang sah atas penggunaan paten dan pemegang paten. Pasalnya, ketika orang Indonesia mendapatkan hak paten, ternyata hak patennya itu hanya tunggal, yaitu hanya sebagai penemu, hanya pemegang paten, atau hanya pemegang kuasa atas paten tersebut.

Hak paten bisa diraih Saputra dari AS karena teknologi pupuk batu bara yang dikembangkan di Indonesia ini merupakan teknologi yang mudah, murah, dan bisa diproduksi dalam sekala besar dan masif. “Teknologi pupuk batu bara ini tidak dimiliki oleh negara lain dan membuat kami menang dalam paten ini. Setelah mendapatkan paten, dampaknya luar biasa,” ucap Saputra. Contohnya, orang AS saat ini telah meminta pupuk batu bara sebanyak dua kontainer. Namun, karena Covid-19, semuanya jadi tertahan. Tak hanya itu, pada 2021, Pemerintah Indianapolis, AS, berencana membangun pabrik pupuk batu bara di sana. Jadi, ekspor ke AS hanya sementara, sebelum pabrik di sana berdiri.

Selain di AS, pabrik pupuk batu bara ini juga akan dibangun di Zimbabwe untuk kapasitas 50 ribu ton. Selain itu, negara lain yang sudah menandatangani kontrak pembuatan pabrik pupuk batu bara ini adalah Zambia, Namibia, Botswana, dan Mozambik. Rencananya, ketika pabrik di Zimbabwe sudah berdiri, pupuk batu bara ini akan didistribusikan ke seluruh negara di Afrika melalui bantuan African Union. “Negara lainnya yang saat ini sudah menghubungi kami untuk ekspor pupuk batu bara adalah Australia, Dubai, Cile, Malaysia, Pakistan, India, Kamerun, dan Jepang,” katanya.

Bagaimana dengan pasar domestik? Saputra menjelaskan, pertama, tentang pembangunan pabrik. Pabrik pertamanya ada di Sukabumi dan ke depan akan membangun pabrik di Pontianak. Di Indonesia, ada banyak batu bara di berbagai daerah, sehingga ia berencana membangun pabriknya di berbagai daerah di setiap kabupaten di Indonesia. Pabrik-pabrik tersebut nantinya bisa dikerjasamakan dengan para pengusaha lokal. Membuka pabrik di berbagai daerah bisa mengatasi masalah logistik, dan harga yang dibeli petani untuk pupuk batu bara ini bisa lebih murah.

Untuk mempercepat pendirian pabriknya, baik di dalam maupun di luar negeri, Saputra memiliki metode sendiri. Sebagai pemegang paten, ia berhak mendapatkan goodwill dan royalti. Namun, goodwill dan royalti tersebut ia bebaskan kepada mereka (mitranya) untuk menentukan sendiri (seikhlasnya). “Itu berlaku di seluruh dunia. Makanya, kenapa perkembangan pupuk batu bara ini cepat. Niat saya adalah saya ingin dengan segera tanah di dunia ini diperbaiki dan tidak ada lagi orang yang kekurangan pangan,” katanya. Adapun target pembangunan pabrik di Indonesia sebanyak 30 pabrik, sedangkan di luar negeri, ia tidak memiliki target.

Saat ini, distribusi pupuk batu baranya masih di Jawa Barat. Di Indonesia sendiri, sejatinya masih dalam tahap sosialisasi. Hal ini karena pihaknya baru mendapatkan izin untuk mengedarkan pupuk ini tahun lalu.

Kedua, ia berharap nantinya tidak akan ada lagi petani yang kekurangan pupuk, karena pabrik pupuk sudah ada di daerah masing-masing. Ketiga, pertanian bisa meningkat. Harapannya, bisa menjadi pengekspor bahan pertanian. Keempat, pemerintah tidak lagi pusing memikirkan subsidi karena sudah ada teknologi yang bisa membuat pupuk lebih murah.

Menurut Saputra, saat ini, nilai bisnis pupuk di dunia mencapai US$ 180 miliar per tahun, sementara nilai subsidi pupuk Indonesia sebesar Rp 30 triliun. Nantinya, dengan adanya pupuk batu bara ini, nilai subsidi itu bisa digunakan pada sektor lain. Adapun target di Indonesia, nilai bisnis pupuk batu bara sekitar 30% dari nilai bisnis pupuk. Lalu, target dalam lima tahun ke depan, 80% dari wilayah Indonesia sudah terkover dengan pupuk batu bara. (*)

Dede Suryadi dan Anastasia A.S.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved