Technology

Zendesk, Sang “Ibu Asuh” bagi Para Pelanggan

Zendesk, Sang “Ibu Asuh” bagi Para Pelanggan

Dirintis dari sebuah unit apartemen kecil di Kopenhagen sejak 2006, dalam waktu kurang dari sewindu Zendesk berhasil menjadi startup asal Eropa yang bisa masuk dalam Unicorn Club. Bagaimana penyedia platform customer service berbasis cloud untuk kalangan perusahaan ini bisa meroket?

Zendesk

Kantor Zendesk di London (foto: https://www.officelovin.com)

Di masa lalu, penjual adalah raja. Para pembeli atau pelanggan mesti mengikuti apa yang sudah disediakan dan ditawarkan penjual. Di era modern, yang menjadi raja adalah pelanggan. Para penjual, kalau mau sukses, harus mau mendengarkan apa yang diminta dan yang dikeluhkan pelanggan. Bahkan, kalau perlu, mencari tahu apa yang sebenarnya diminati pelanggan –termasuk keinginan yang tidak tersirat.

Belakangan ini, era “pelanggan sebagai raja” bukannya meluntur, malah semakin kuat. Terutama, akibat perkembangan teknologi digital dan media sosial, serta gaya hidup yang menyertainya. Kalau kebetulan perusahaan Anda berbuat kesalahan, jangan coba-coba mengabaikan keluhan pelanggan. Bisa-bisa perusahaan Anda menjadi bulan-bulanan khalayak di jagat Internet dan medsos, dan ujung-ujungnya merugikan kinerja penjualannya.

Beruntunglah, sekarang urusan pelanggan –terutama untuk menangani komplain mereka– sudah bisa dibantu dengan teknologi informasi (TI), yang biasa dikenal dengan teknologi customer service, atau kalau dalam lingkup besarnya, Customer Relationship Management (CRM). Di pasar teknologi, sudah ada beberapa pilihan, baik solusi yang bersifat on-premise (perlu diinstal dalam sistem perusahaan) maupun on-demand (hanya dipakai sesuai kebutuhan). Yang belakangan ini juga biasa diistilahkan sebagai layanan SaaS (Software as a Service), yang memanfaatkan teknologi komputasi awan (cloud computing).

Solusi yang bersifat on-demand dewasa ini semakin populer saja. Alasan utamanya, tentu saja, perusahaan pengguna tidak perlu berinvestasi teknologi besar-besaran, karena biasanya cukup membayar sesuai kebutuhan. Salah satu nama vendor solusi SaaS untuk layanan pelanggan (customer service) yang tengah moncer saat ini adalah Zendesk.

Mikkel Svane, Zendesk

Mikkel Svane, Co-Founder Zendesk (foto: http://reinventingevents.com/w)

Pada 2014, Zendesk menjadi startup asal Eropa yang berhasil masuk dalam Unicorn Club, kelompok perusahaan startup yang mencapai valuasi lebih dari US$ 1 miliar.

Startup ini dirintis sejak 2006, dari sebuah kamar apartemen di Kopenhagen, Denmark. Dari hanya dikelola oleh tiga orang (para pendirinya), dalam waktu hanya tujuh tahun sejak diluncurkan resmi, Zendesk sudah diperkuat lebih dari 500 orang dan memiliki 10 kantor di beberapa belahan dunia. Pada 2014 pula, Zendesk melantai (melaksanakan IPO) di bursa New York. Omsetnya saat ini lebih dari US$ 2,5 miliar.

Cerita bagaimana bendera Zendesk mulai dikibarkan dan mencapai suksesnya seperti sekarang cukup menarik. Sebelum memulai Zendesk sebagai sebuah digital startup, hingga 2006 Mikkel Svane dan rekan kerjanya, Morten Primdahl (keduanya berkewarganegaraan Denmark), bekerja sebagai implementor solusi customer service model lama (on-premise) di berbagai perusahaan. Sebagaimana dijelaskan Svane, software untuk customer tracking dan incident reporting yang mereka implementasikan itu berasal dari sistem generasi lama. Software semacam ini bersifat kompleks dan sulit diimplementasikan ataupun digunakan. Begitu susahnya sehingga sering perusahaan pengguna mesti berulang kali memanggil konsultan dalam proses implementasinya, juga ketika terjadi masalah (trouble).

Keduanya menyadari, ada masalah besar yang seharusnya bisa dicarikan solusinya, sebagai antitesis terhadap software yang sudah ada itu. Kebetulan, saat itu dunia sedang diperkenalkan dengan model penggunaan software ala SaaS dan kemunculan pionir di dunia software penjualan berbasis cloud bernama Salesforce.com.

Mereka berdua kemudian memanggil rekan mereka yang jago di bidang desain web, Alexander Aghassipour. Mereka memutuskan untuk mengembangkan solusi customer service/helpdesk, tetapi sebagai layanan cloud-based atau SaaS. Ini sebagai jawaban alternatif terhadap kompleksitas solusi customer service yang ada saat itu. Namun, Svane mengenang, mengembangkan startup yang menyediakan layanan helpdesk ketika itu bukanlah hal seksi dibandingkan dengan startup yang menggarap pasar konsumer. “Helpdesk kedengarannya memang tidak menarik perhatian dan saya tidak punya pengetahuan di bidang itu. Tetapi, saya menyadari bahwa kalangan perusahaan kurang terlayani di bidang ini,” kata Aghassipour, yang kemudian juga menjadi co-founder Zendesk.

Pada akhir 2006, mereka bertiga sepakat keluar dari pekerjaan full-time mereka untuk mengembangkan startup tersebut, di sebuah unit apartemen kecil di Kopenhagen. Untuk membiayai hidup mereka sehari-hari, mereka bekerja sambilan sebagai konsultan. Svane mengatakan, saat itu adalah periode di mana mereka ingin bekerja secara intensif, tetapi tak punya akses yang baik untuk menggaet modal di Eropa.

Svane juga mengaku, mereka mengembangkan solusi ini dengan perasaan bimbang pula. Dalam benaknya, kalau memang bidang ini betul-betul sebuah peluang, mengapa tak ada satu pun yang menubruk peluangnya. Bahkan, pendaftaran mereka agar solusi buatan mereka, Zendesk, bisa masuk dalam TechCrunch 40 pada September 2007, diabaikan panitia. Namun, bukannya patah arang, trio ini memutuskan untuk bekerja keras mengembangkannuya agar bisa meluncurkan solusi ini sebagus-bagusnya.

Pada musim gugur 2007, Zendesk di-soft launch sebagai perusahaan yang menyediakan layanan SaaS untuk helpdesk. Svane dan dua rekan pendirinya itu mengirim surat elektronik ke seluruh jaringan pertemanan mereka. Maksudnya, agar mereka yang punya kebutuhan mengelola urusan customer service mau mencoba solusi Zendesk.

Beberapa bulan kemudian, ada sejumlah perusahaan mencoba (trial) layanan Zendesk. Pertumbuhan peminatnya begitu cepat, hingga ada sekitar 1.000 yang mendaftar untuk menggunakannya. Kebanyakan pelanggan awal ini adalah situs-situs web yang butuh cara sederhana untuk mengelola layanan komunikasi dengan pelanggan. “Kami ketika itu sadar, bahwa dengan melayani pelanggan yang piawai di bidang web (web savvy), kami berarti telah menjangkau perusahaan yang selama ini tak terlayani solusi software tradisional,“ kata Svane. “Ini sekaligus merupakan pengakuan pertama terhadap kehadiran kami,” katanya lagi.

Berbeda dari kisah sukses kalangan consumer startup, langkah Zendesk tidak dimulai dengan pertumbuhan yang eksplosif. Solusi mereka dipakai pelanggan lebih disebabkan rekomendasi word of mouth. Pada awal 2008, Svane yang dipercaya sebagai CEO Zendesk memutuskan, Zendesk tak bisa lagi terperangkap soal dana seperti itu. Mereka harus mencari modal dari para investor Eropa. Namun, pencarian Zendesk selalu menerima tanggapan “Tidak!”

Beruntung, masih ada seorang angel investor asal Jerman bernama Christoph Janz, yang amat terkesan dengan teknologi dan model bisnis Zendesk. Ia mengucurkan US$ 500 ribu – yang merupakan dana eksternal pertama bagi startup ini setelah dua tahun para pendiri mengembangkan produknya. Janz menyatakan ingin mengerek Zendesk ke level yang lebih tinggi.

Ketika itu, pada 2008, “suara pelanggan” juga makin punya porsi penting di dunia bisnis. Dengan perkembangan social web, pelanggan makin mudah berbagi pengalaman –baik atau buruk— melalui aneka media, termasuk Facebook dan Twitter yang makin populer.

Janz yang punya jejaring luas di kalangan investor pun ingin membantu Zendesk agar bisa menjangkau kalangan investor dunia. Ia merancang pertemuan trio Zendesk ini dengan para investor dari Silicon Valley. Mereka juga diundang ke pertemuan August Annual Party yang diselenggarakan TechCrunch. Saat itu, Svane mengaku terperangah ketika orang-orang dari Silicon Valley mengaku telah menggunakan software dari perusahaan yang saat itu masih dikelola tiga orang itu. “Ini membuka mata kami. Padahal, kami hanyalah tiga orang di Kopenhagen yang sebelumnya tak tahu apakah orang-orang di Silicon Valley pernah mendengar tentang kami,” katanya bangga.

Ki-ka: Alexander Aghassipour, Morten Primadhi dan Mikkel Svane, Co_Founder Zendesk (foto https://venturebeat.com/)

Salah satu pemodal ventura ternama dari Silicon Valley, Charles River Ventures (CRV), tertarik dengan kiprah Zendesk. Salah seorang mitra CRV, Devdutt Yellurkar, sempat berbincang via telepon dengan Svane. Selama proses pengenalan ini, Yellurkar mengetahui bahwa sejumlah perusahaan startup yang didukung pendanaannya oleh CRV ternyata merupakan pengguna solusi Zendesk dan mengaku amat menyukainya. “Saya belum pernah melihat kecintaan yang seperti itu terhadap sebuah enterprise software,” kata Yellurkar.

Salah satu klien besar Zendesk di masa-masa awal ini adalah Twitter –yang juga didukung oleh CRV. Menurut Primdahl, ketika Twitter pertama kali menggunakan Zendesk, traffic ke Zendesk naik empat kali lipat. Mereka sampai menghabiskan waktu tiga bulan berikutnya untuk membereskan soal bottleneck yang diakibatkan oleh Twitter. “Tak ada customer yang memberikan tantangan berat terhadap software kami seperti halnya Twitter,” ujar Primdahl.

Pada akhir 2009, beberapa juta dolar disuntikkan CRV –sebagai first round funding atau Seri A– pada perusahaan SaaS yang baru berusia tiga tahun itu. Dengan dana cash ini, Svane bisa mempekerjakan beberapa developer tambahan. Menurut Yellurkar, kekuatan Zendesk memang pada ketiga pendirinya. “Mikkel memahami aspek customer support, Alex jago dalam hal estetika desain, dan Morten merupakan seorang engineer berbakat,” kata Yellurkar, memberi penilaian.

Ada lagi pemodal ventura besar yang tertarik dengan Zendesk, yakni Benchmark Capital –pendukung dana bagi Twitter, Yelp, dan OpenTable. Seperti halnya Yellurkar, Matt Cohler, salah seorang mitra Benchmark, juga mendengar tentang Zendesk dari perusahaan yang menjadi portofolio investasinya. “Customer membicarakan Zendesk seperti halnya mereka membicarakan Facebook ketika pertama kali diluncurkan,” ujar Cohler.

Dari hasil penjajakan tadi, beberapa bulan kemudian Zendesk memperoleh putaran pendanaan Seri B sekitar US$ 6 juta, yang berasal dari Benchmark dan CRV. Seperti halnya Yellurkar, mitra Benchmark Peter Fenton pun bergabung dalam board Zendesk.

Demi mendekatkan diri dengan para investor AS-nya, para pendiri Zendesk pun pindah ke Negeri Abang Sam ini. Mulanya mereka tinggal di Boston, demi mendekatkan diri dengan markas CRV, tetapi kemudian memilih memindahkan kantornya ke kawasan South of Market, San Francisco, California, dekat dengan markas baru Twitter. Alasannya, mereka harus dekat dengan Silicon Valley, sebagai jantungnya startup digital dunia.

Kehadiran di Silicon Valley memang benar membuat Zendesk dekat dengan sumber dana. Pada Desember 2010, perusahaan asal Kopenhagen ini pun memperoleh nilai pendanaan yang lebih besar lagi, yakni US$ 19 juta, yang dipimpin oleh Matrix Partners. Investor yang sudah ada lebih dulu, yakni CRV dan Benchmark, juga ikut menaruh uangnya. Dengan demikian, total pendanaan investor yang masuk ke Zendesk sekitar US$ 25 juta.

Popularitas Zendesk juga makin berkibar. Pada April 2011, Zendesk mengumumkan telah menggaet klien perusahaan yang ke-10.000. Kurang dari setahun, Zendesk telah mampu melipatduakan basis pelanggan perusahaannya.

Ini semua tentu berkat cinta klien kepada Zendesk. “Solusinya benar-benar customizable,” ujar LaFountain, Kepala Community Support untuk Tumblr. “Kami dapat melayani para pengguna kami dengan cara yang kami inginkan,” katanya lagi. Dalam hal ini, Tumblr memantau 1.500-2.000 surat elektronik terkait layanan pelanggan tiap harinya menggunakan tools dari Zendesk. Selain itu, perusahaan pengguna juga tak perlu membayar mahal untuk bisa menggunakan software Zendesk. Tarif penggunaannya cukup US$ 25 per user per minggu.

Menurut Christoph Janz, investor pertama Zendesk, keberhasilan Zendesk disebabkan banyak hal. Namun, terutama sekali berkat timing yang pas. “Zendesk mampu memetik keuntungan dari pergeseran teknologi penting beberapa tahun terakhir, seperti meningkatnya adopsi cloud, makin populernya mobile devices, dan meledaknya media sosial,” ujar Janz, yang telah mendirikan pemodal ventura bernama Point Nine Capital.

Pada Oktober 2016, Zendesk kembali menapaki tonggak penting berikutnya dengan mendesain ulang company brand-nya dan memperluas products family-nya untuk membangun customer relationship yang lebih baik. “Para customer kami menginginkan pengalaman tunggal dengan pelanggan mereka berdasarkan preferensi dan history-nya, bukan pada kebutuhan departemen internal,” ujar Adrian McDermott, Senior VP Pengembangan Produk Zendesk. “Kami menciptakan sebuah shared memory bagi perusahaan pelanggan kami, agar mereka tahu pelanggan masing-masing dan dapat terkoneksi dengan mereka,” tambahnya.

Simpelnya, dengan langkah desain-ulang dan peluncuran produk barunya itu, menurut manajemen Zendesk, perusahaan SaaS ini ingin berkiprah “beyond customer service”. Sistem brand-nya disebut “Relationshapes”. Pada logonya digambarkan adanya interaksi antara dua bentuk sederhana, yang menyimbolkan “the business”dan “the customer”.

Adapun dari segi produk, Zendesk menambahkan dua produk baru, yakni Zendesk Connect dan Zendesk Explore. Dua produk ini memungkinkan koneksi personal antara perusahaan dan pelanggannya melalui customer intelligence dan deeper analytics. “Selama ini, software untuk bisnis dibangun untuk kebutuhan departemen dan bagian-bagian yang terpisah,” kata Svane. Dengan dua produk barunya itu, Zendesk ingin beralih dari produk customer service tunggal menjadi sebuah keluarga produk yang menyatu (a unified family of products), sehingga bisa meningkatkan customer relationship.

Yang menarik, produk baru ini betul-betul bersandar pada data analytics. Kedua produk baru ini secara bersama-sama dapat mengubah data menjadi pengalaman proaktif dan personalized bagi pelanggan. Zendesk Explore memanfaatkan kemampuan analitis dan menyatukan data dari semua produk Zendesk lainnya dan sumber-sumber pihak ketiga. Fitur (produk) ini memungkinkan data pelanggan dapat diakses di seantero organisasi, sehingga perusahaan pelanggan Zendesk dapat mengukur dan memahami keseluruhan customer experience.

Sementara itu, Zendesk Connect menyediakan customer intelligence , sehingga mereka dapat memperoleh pesan-pesan yang relevan dan membantu. Produk ini mengombinasikan data historis dan aktivitas pelanggan dari website, mobile apps, maupun interaksi digital lainnya. Dengan menggunakan Zendesk Connect, perusahaan dapat membimbing pelanggan melewati customer experience baru, menyediakan informasi yang relevan, dan merekomendasikan produk-produk yang relevan.

Semua produk Zendesk ini dikembangkan untuk disediakan dengan cukup single login. Produk-produk ini juga menggunakan platform data pelanggan yang sama.

Dan dalam usia sekitar satu dasawarsa tahun 2017 ini, Zendesk diperkirakan mampu meraih revenue US$ 2,6 miliar. Solusi SaaS yang disediakannya sudah melayani sekitar 90 ribu perusahaan di berbagai penjuru dunia. Kebanyakan pelanggan Zendesk adalah kalangan perusahaan e-commerce, gaming, dan penyedia jasa digital lainnya –yang jelas-jelas membutuhkan sistem layanan pelanggan yang powerful.

Dengan kehadiran produk terbarunya yang inovatif karena memanfaatkan teknologi machine learning itu, diperkirakan ketertarikan khalayak bisnis terhadap layanan Zendesk makin kuat. “Support bukan lagi ujungnya layanan customer relationship,” kata Sam Boonin, VP Strategi Produk Zendesk. “Selanjutnya, Zendesk data akan makin relevan bagi para pemasar dan orang penjualan,” katanya lagi. (Riset: Armiadi/dari berbagai sumber)

*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved