Management Trends

Tembakau dan Keadilan Sosial Internasional

Tembakau dan Keadilan Sosial Internasional

Di berbagai kesempatan Gabriel Mahal, pengamat tembakau, selalu mengatakan, dalam pembuatan suatu produk hukum – termasuk UU Pertembakauan – hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah menjawab pertanyaan: untuk apa suatu UU itu dibikin? Jawaban atas pertanyaan tersebut merupakan jawaban atas ratio legis (alasan hukum) yang merupakan anima legis (jiwa hukum) dari UU yang mau dibikin tersebut.

Secara umum dan esensial, setiap UU harus dibikin dengan maksud untuk memastikan tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara, sebagaimana dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Jadi, jika kita bicarakan tentang pembuatan UU Pertembakauan, maka substansi UU itu harus memastikan dan memberikan jaminan: Pertama, UU Pertembakauan tersebut harus melindungi segenap rakyat pertembakauan Indonesia. Berarti, melindungi seluruh masyarakat industri pertembakauan Indonesia, dari hulu hingga hilir.

rokok

Menurutnya, jaminan perlindungan ini penting karena: Pertembakauan nasional Indonesia adalah salah satu industri yang memberikan kontribusi besar bagi APBN, penyerap tenaga kerja yang besar, dan memberikan multiplier effect bagi masyarakat (1). Industri pertembakauan nasional Indonesia jelas-jelas berada dalam ancaman penghancuran oleh kekuatan-kekuatan asing dari luar, baik dari dunia pertembakauan asing, maupun dari kekuatan korporasi farmasi multinasional yang dikenal dengan sebutan ”big pharma” yang menghasilkan dan menjual produk-produk nikotin berupa beragam produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) – produk pengganti nikotin (2).

Bisnis besar nikotin dari big pharma ini dilakukan dan didukung oleh kebijakan global FTI dari WHO, yang dibalut busana ”itikad baik demi kepentingan kesehatan publik”. Inilah persaingan bisnis nikotin dari korporasi big pharma yang menggunakan isu kepentingan kesehatan publik, dan sekaligus merupakan ancaman paling besar yang dihadapi dunia pertembakauan nasional saat ini.

“Kenapa? Pertama, karena dalam persaingan bisnis nikotin tersebut, kepentingan bisnis nikotin big pharma didukung oleh kekuatan lembaga internasional. Di antaranya WHO, lalu hukum internasional berupa Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC), serta didukung pula oleh negara dan hukum nasional, dan LSM-LSM antitembakau yang mendapat dana dari Prakarsa Bloomberg (Bloomberg Initiative). Tidak ada bisnis yang lebih enak daripada bisnis yang mendapat dukungan seperti itu, bukan?,” ungkap Gabriel yang dikenal juga sebagai advokat itu.

Kedua, UU Pertembakauan tersebut harus memberikan perlindungan dan jaminan memajukan kesejahteraan rakyat pertembakauan Indonesia khususnya, dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya. Jika ada ketentuan dalam UU itu yang justru merugikan, atau membuat rakyat petani tembakau semakin tidak mungkin mencapai kesejahteraan, maka UU tersebut sudah bertentangan dengan tujuan menyejahterakan.

Ketiga, UU Pertembakauan tersebut harus memberikan jaminan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini mesti terwujud mulai dari proses pembuatan UU-nya. Yakni, memberikan gambaran karya kecerdasan para pembuat produk UU itu, yang tercermin lewat rumusan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut. Bukan sebaliknya, memberikan gambaran kebodohan kepada masyarakat.

Gabriel Mahal, pengamat dari Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobbaco Initiative /FTI)

Gabriel Mahal, pengamat dari Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobbaco Initiative /FTI)

Menurutnya, UU yang tidak cerdas, tidak akan bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. UU yang cerdas, yang merupakan produk kecerdasan para pembuatnya, akan membuka peluang mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika ada ketentuan-ketentuan dalam UU itu yang merugikan atau mematikan salah satu dari mata rantai industri pertembakuan nasional, hal itu menggambarkan UU tersebut bukan merupakan produk kecerdasan, dan tidak akan mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya masyarakat pertembakauan.

Jika ada ketentuan dalam UU itu yang hanya mengakomodasi kepentingan asing, atau kepentingan kelompok tertentu saja, maka jelas UU itu bukan merupakan produk kecerdasan, dan tidak bisa diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Keempat, ketika tiga hal tersebut di atas diperhatikan, barulah kemudian dimungkinkan pencapaian tujuan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perhatikan, keikutsertaan melaksanakan ketertiban dunia itu harus berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud, meminjam istilah Presiden ke-1 RI Bung Karno, adalah keadilan sosial internasional. Globalisasi dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang ekonomi, menyebabkan ketidakadilan sosial bagi negara-negara berkembang berhadapan dengan negara-negara maju.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi sudah mengingatkan hal ini. Terkait dengan dunia pertembakauan, terkesan sangat kuat adanya Global Government (Pemerintahan Global), berpusat di WHO, yang telah menetapkan penggunaan produk tembakau sebagai salah satu penyakit gaya hidup (lifestyle disease) yang harus diberantas di satu sisi, dan di sisi lain mendukung penggunaan produk-produk Niccotine Replacement Therapy yang dihasilkan oleh industri big pharma.

Hal ini dilakukan melalui kebijakan Prakarsa Bebas Tembakau dengan segala perangkat hukum internasionalnya. Juga, kampanye internasional dan kecenderungan menerabas kedaulatan hukum negara atas nama ”kepentingan kesehatan publik”. Di Indonesia, kebijakan yang didukung oleh sejumlah LSM yang mendapat sokongan dolar asing (Prakarsa Bloomberg) nyata-nyata telah menimbulkan keresahan masyarakat pertembakauan nasional, dan nyata-nyata juga akan menciptakan ketidakadilan sosial internasional.

Indonesia yang didesak untuk melaksanakan kebijakan ini terancam kehilangan sumber pendapatan APBN-nya dari industri tembakau. Di samping, kehilangan peluang kerja bagi rakyat yang selama ini menggantungkan kehidupan dari dunia pertembakauan. Di sisi lain, kebijakan ini menguntungkan kepentingan bisnis nikotin dari industri big pharma di negara-negara maju yang notabene tidak memberikan kontribusi bagi sumber pendapatan APBN, juga tidak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri tembakau nasional – mulai dari hilir hingga hulu.

Ini jelas bentuk ketidakadilan sosial internasional. Lihat juga kasus larangan bagi rokok kretek Indonesia untuk masuk dan diperdagangkan di Amerika. Sementara, rokok Amerika bisa masuk dan diperdagangkan di Indonesia. Ini juga menggambarkan ketidakadilan sosial internasional. Hal-hal seperti ini yang mesti diperhatikan dalam pembuatan UU Pertembakauan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved