Marketing Trends zkumparan

Tulola Jewellery Mengikat Afeksi Konsumen Lewat Sejarah dan Puisi

Ketiga Pendiri Tulola Jewellery (Ki-Ka) : Franka Franklin, Happpy Salma dan Sri Luce Rusna

Beberapa waktu lalu, sempat viral foto Franka Franklin, isteri dari Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang mengenakan anting dengan tulisan Tanah Air. Anting tersebut adalah signature design dari Tulola Jewellery, di mana Franka sendiri adalah Direktur Strategi Bisnisnya. Ia bersama dua temannya, yaitu Happy Salma (aktris & publik figur) dan Sri Luce Rusna (desainer) membangun bisnis perhiasan dengan nama Tulola yang mulai dirintis sejak 2008 lalu di Bali.

Setelah lebih dari 10 tahun,Tulola telah berkembang pesat. Kini, sudah ada 8 gerai offline dan sebuah website untuk belanja online. Apa yang membuat merek perhiasan ini bertumbuh pesat dalam satu dekade? Apa bedanya dengan merek perhiasan lainnya ? Berikut wawancara jurnalis SWA Online, Arie Liliyah dengan ketiga wanita pemimpin Tulola Jewellery usai pembukaan gerai terbaru Tulola di Plaza Indonesia, Jakarta.

Bisa dijelaskan konsep kreatifnya Tulola, apa yang membedakannya dari merek perhiasan lain di Indonesia ?

Happy : kalau soal konsep kreatif, Tulola itu bukan sekadar desain yang memang lahir dari energi manusia karena 100 persen dilakukan oleh tangan pengrajin. Namun, sebelum desain, kami buatkan dulu konsepnya yang memang lahir dari kekayaan Indonesia, baik itu dari sastra indonesia, idiologisnya Indonesia yang kami tuangkan dalam sebuah perhiasan.

Dulu mungkin tidak akan pernah terbayang bahwa karya sastra Pramoedya Ananta Toer, salah satu yang menjadi nominasi nobel di dunia, teks itu bisa diadaptasikan menjadi sebuah kalung. Di dalam kalung itu ada teks yang berisi kutipan percakapan Jean Marais kepada Minke.

Kemudian, contoh lainnya adalah anting dengan font Tanah Air yang menjadi viral. Sebetulnya konsep awal berasal dari sebuah buku berjudul Tanah Air karya Douwes Deker, di mana kekayaan Indonesia jelang Kemerdakaan RI digambarkan di sana, mulai dari ragam sukunya, tradisinya, seni dan sosial politik pada jaman itu. Maka itu, di Tulola kami mendefenisikan perhiasan bukan hanya sebuah benda fungsional untuk menghiasi penampilan, tetapi ada ideologi kita sebagai bangsa yang bisa ditanam didalam perhiasan. Jadi kami yakin ini tidak akan ada matinya karena karya sastra Indonesia sangat banyak dan kaya.

Bagaimana menerjemahkan dari konsep yang berupa karya sastra atau nilai perilaku dalam masyrakat ke dalam sebuah perhiasan?

Sri Luce : Iya jadi ini memang sebuah tanggung jawab yang sebenarnya sangat membuat saya bangga. Sebab, tidak mudah menerjemahkan dari sebuah konsep yang intangible menjadi wujud sebuah perhiasan, atau tangible. Saya selalu mencoba untuk menyelami pesan apa dari setiap konsep yang paling ingin disampaikan kepada khalayak, lalu mencoba mentransformasi itu, bentuk atau komposisi seperti apa yang bisa merepresentasikan pesan itu. Kalau sudah ketemu wujudnya saya lalu bicarakan dengan pengrajin kami. Tulola punya 10 orang pengrajin profesional yang sudah tersertifikasi mereka bekerja di studio workshop kami. Kenapa hanya 10 orang ini? Karena jujur saya sangat terobsesi dengan kualitas, jadi mereka inilah yang sejauh ini mampu memenuhi standar kualitas kami.

Bagaimana mengatur dan mengelola karya seni ke dalam konsep bisnis ?

Franka : iya jadi memang tugas saya adalah bagaimana mengatur dan mengelola konsep strategisnya bisnis Tulola. Di tahun 2018 dan 2019 banyak hal yang dilakukan Tulola, seperti buka tokomoffline, yang tadinya hanya ada satu di Bali dan satu di Jakarta, kini total semuanya sudah ada 8 toko offline.

Selain itu, kami juga adakan event. Tujuannya untuk merawat hubungan dengan pelanggan lama dan menarik pelanggan baru. Lalu kami lakukan banyak kolaborasi dengan banyak pihak mulai dari desainer-desainer hebat hingga dengan keraton di Yogjakarta, itu semua sebenarnya bagian dari penjelmaan DNA brand Tulola sendiri.

Kami juga ingin Tulola tidak ada jarak dengan semua orang yang mengenalnya. Semua yang memakai dan mencintai karya-karya Tulola. Apa sih yang dimaksud dengan tidak ada jarak? Sebenarnya ini bisa diterapkan di berbagai hal yang kami sudah lakukan. Pertama, dengan buka toko offline ini kami jadi benar-benar semakin dekat semua, dulu kalau mau ke toko hanya ada di Bali, sekarang yang di Jakarta pun sudah bisa kapan saja mau melihat koleksi kami. Sementara mereka yang ada di daeraha, kami sengaja adakan event keliling supaya menyapa mereka yang di sana.

Selain itu, kami da website dan tim sales yang siap sedia membantu di line telepon, ini customer kami yang dari luar negeri dan luar kota pun bisa memilih dan mengoleksi Tulola. Kedua, yang kami maksud dengan “tidak ada jarak” adalah Tulola bisa dipakai siapa saja dan untuk occasion apapun, semua ada pilihannya,untuk dipakai sehari-hari buat ke kantor atau mau buat penampilan di acara khusus pun kami ada pilihannya.

Apakah ada rencana untuk membawa brand ini ke pasar internasional ?

Franka : Saat ini kami fokus utamanya masih untuk customer di Indonesia karena di Indonesia pun potensinya masih sangat besar, makanya karya-karya yang di Tulola ini tidak hanya untuk wanita yang ada di Bali atau Jakarta tapi untuk semua yang ada di Indonesia. Namun, saat yang bersamaan, kami juga sudah punya banyak customer dari luar negeri yang selalu beli dan pesan melalui website. Pada saat itu terjadi dan akhirnya ketika mereka lagi ke Indonesia, biasanya menyempatkan mampir ke toko kami. Itulah bentuk persentuhan mereka dengan brand kami. Lalu, apakah ada strategi tersendiri kami yang akan melangkah ke pasar luar, tentu dalam rencana jangka panjang itu ada, tapi saat ini kami mau fokuskan dulu di pasar Indonesia.

Apakah ada perbedaan antar toko atau gerai Tulola, baik yang di Bali maupun di Jakarta ?

Franka : Perbedaannya, gerai yang ada di sini (Plaza Indonesia, Jakarta) dari lainnya adalah one-of-a-kind pieces, yang selama ini exclusive hanya ada di Bali,kini hadir di Jakarta juga—sebagai bagian dari koleksi artwear yang jumlahnya sangat terbatas, meski di Jakata sudah ada beberapa toko, tetapi yang di Plaza Indonesia inilah yang memiliki seluruh koleksi terlengkapnya Tulola Jewellery. Secara desainnya juga kami sesuaika untuk jangka panjang, ada bagian yang memag dari kayu solid, kemudian juga hasil karya yang merupakan hasil kolaborasi dengan keraton Yogyakarta itu juga pertama kalinya kami display itu di toko Tulola yang di Plaza Senayan.

Ada jadwal khususkah untuk meluncurkan desain dan model terbaru dari Tulola ?

Sri Luce : Kami tidak ada jadwal khusus untuk launching, semua bisa mengeluarkan ide kapan dan dimana saja.

Total seluruh koleksi yang premium itu berapa banyak ?

Franka : Total yang sudah resmi di masukkan dalam toko ada sekitar 15 koleksi signature yang masing-masing berbeda secara konsep, fungsi, dan estetika. Jadi di setiap koleksi kami ada story-nya dan itu sengaja kami display baik di toko offline maupun di websitenya.

Antara toko offline dan online mana yang berkontribusi lebih besar dalam hal penjualan ?

Franka : Dua-duanya sama banyaknya, meski yang online masih harus kami campaign lagi karena belum banyak juga yang tahu. Tetapi kecenderungannya setekah mereka belanja online dan suka, mereka selanjutnya akan lebih memilih datang langsung ke toko, pemebli dari luar pun begitu.

Tren atau kecenderuang selera dari pembeli lebih suka desain yang seperti apa?

Sri Luce : Tidak bisa kami simpulkan ya, karena setiap orang berbeda-beda dan ini kan desainya spesiifik dan terbatas, tidak masif, jadi tidak bisa kami simpulkan secara general begitu, yang jelas mereka tidak hanya suka desainnya tetapi juga cerita dibalik konsep desain itu, nah setiap cerita itu menarik personaliti orang yang berbeda-beda.

Berapa lama untuk medesain dan mengerjakan satu konsep atau tema perhiasan ?

Sri Luce : Tergantung tingkat kerumitannya ada yang hanya sekitar tiga minggu tetapi ada juga yang bisa sampai bebulan-bulan. Misalnya kalung yang berupa rangkaian kata-kata yang dikutip dari percakapan Minke dan Jean Maries di bukunya Pram, ini kan setiap hurufnya kami gergaji dengan tangan, kemudian dirangka, lalu juga harus diukur agar bisa lentur mengikuti lekuk leher sehingga yang pakai tetap merasa nyaman.

Ke depan akan ada rencana apa lagi yang akan dikerjakan Tulola ?

Happy : Awal 2020 mendatang, kami akan coba mulai membuat perhiasan dari emas murni sebagai bahan baku, selama ini sudah banyak yang menanyakan, sehingga awal tahun depan kami akan coba menggarapnya. Selama ini perhiasan Tulola adalah campuran perak murni alloy, sterling silver 92,5%, kemudian disepuh dengan emas 18K untuk perhiasan warna gold, sedangkan untuk perhiasan warna perak sepuhan yang digunakan adalah white platinum.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved