Trends

Upaya Mengatasi Kendala Sektor Perumahan

Upaya Mengatasi Kendala Sektor Perumahan

2022, bisnis properti akan menggeliat. (Foto: dok. Jawa Pos)

Tahun 2022, sebagaian besar pelaku bisnis properti optimis, sektor properti akan menggeliat. Hal ini tidak terlepas dari berbagai stimulus yang dikeluarkan pemerintah tahun lalu untuk menggerakan bisnis properti sejak tahun lalu.

Misalnya, suku bunga acuan di level 3,5% (terendah sepanjang sejarah), relaksasi Loan to Value (LTV) yang memungkinkan konsumen mendapatkan KPR dengan uang muka 0%, serta Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas properti siap huni yang diperpanjang hingga akhir Desember 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 103/PMK.010/2021.

Selain itu, perpanjangan insentif ini disambut hangat pihak pengembang dan terbukti meningkatkan penjualan rumah siap huni. Melihat hal ini, para pengembang pun mengusulkan agar insentif ini diperpanjang hingga 2022. Di lain pihak, untuk pasar rumah subsidi, terjadi perubahan besar. Dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang semula dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), akhir tahun 2021 ini akan beralih ke BP TAPERA (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat).

Penyaluran dana FLPP tahun 2021, ditutup dengan angka tertinggi sejak dimulainya penyaluran pada 2010, yakni sebanyak 178.728 unit dengan nilai Rp19,57 triliun. Di 2022, Kementerian PUPR menargetkan KPR FLPP dapat membiayai sebanyak 200.000 rumah. Menunjang mencapai target tersebut, pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp23 triliun. Di luar anggaran tersebut, Pemerintah juga menganggarkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp812 miliar, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp1,6 miliar. Sedangkan, program Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2022 sudah tidak ada lagi.

Dalam diskusi bertajuk ‘Peluang dan Tantang Sektor Perumahaan Tahun 2022’ yang dihadiri beberapa asosiasi seperti REI, Apersi, Himperra, Appernas Jaya, Asprumnas, SMF dan Bank BTN, mencari solusi untuk mengatasi kendala-kendala dibalik peluang bisnis properti yang kian menggeliat di tahun ini.

Kepala Divisi Subsidized Mortgage Lending Division PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Mochamad Yut Penta mengungkapkan terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada penyaluran KPR Subsidi di Tahun 2021.

Penta menambahkan, sektor informal belum tergarap secara maksimal. Sesuai realisasi 2021, sektor informal hanya mampu tergarap 12% dari total keseluruhan. Sehingga, diperlukan strategi dalam mendorong penyerapan realisasi dari sektor informal. Selain itu, belum ada lembaga yang berfokus dalam mengontrol ketepatan sasaran, kualitas, dan keterhunian rumah. Apalagi, pemerintah telah mengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PGB) di Tahun 2021. Namun, hal ini tidak diikuti dengan penerbitan Perda dan Sistem PBG secara nasional.

Dia juga menyoroti program stimulus PPN yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) yang ditengarai memicu tumbuhnya KPR secara nasional sepanjang pandemi. Perpanjangan program ini diyakini akan mampu mendorong tumbuhnya industri perumahan di 2022.

Disisi lain, Heliantopo, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) menuturkan, prosentase KPR di Indonesia masih kecil di bawah 10%, padahal pertumbuhan perumahan tidak ada matinya. Karena itu SMF tetap aktif melakukan pembiayaan jangka panjang kepada Lembaga penyalur baik konvensional maupun syariah. “Ke depan SMF akan melakukan kerjasama pembiayaan perumahan untuk pekerja di sektor informal (Kredit Mikro) dan inisiasi program baru untuk mendukung keterjangkauan pemilikan rumah bagi MBR,” katanya. SMF lanjutnya juga terus bersinergi dengan Kementerian/Lembaga untuk mendukung program pemerintah di bidang perumahan, di antaranya melalui Program Perluasan Penyaluran Subsidi Perumahan (KPR Program FLPP) dan memberikan akses pendanaan kepada masyarakat yang tinggal di daerah kumuh untuk meningkatkan kualitas rumah yang dimiliki.

Wakil Ketua Umum DPP REI, Danny Wahid menambahkan, REI meminta adanya fokus pada fasilitas pembiayaan untuk non fixed income (sektor informal) dengan memperbanyak kuota BP2BT dan dikhususkan untuk non fixed income. Sektor informal perlu mendapat perhatian lebih karena jumlahnya semakin banyak terutama selama masa pandemi.

Junaidi Abdillah, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan, backlog akan semakin tinggi jika PBG tidak segera selesai. Perizinan yang belum bisa terlaksana akibat proses PBG yang sampai sekarang belum jelas. Menurutnya, perlu ada koordinasi lintas kementerian. Saat ini ada lima kementerian yang terkait dengan PBG. Jika tidak ada sinergi lintas kementerian, backlog di tahun depan akan semakin besar. Dampak PBG ini baru terlihat di tahun depan.

Endang Kawidjaja, Ketua Umum Himperra (Himpunan Pengembang Pemukiman Dan Perumahan Rakyat) mengatakan, rumah FLPP makin lama makin sulit. Di satu sisi, rumah dituntut harus berkualitas, tetapi harga tidak naik dalam dua tahun terakhir. “Saya khawatir jika ini berlanjut, tak ada lagi pengembang yang mau membangun rumah subsidi,” katanya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved