Trends

Upaya Mengurangi Defisit BPJS Kesehatan

Upaya Mengurangi Defisit BPJS Kesehatan
Dorodjatun Sanusi, Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia (kedua dari kiri).

Dari diskusi bertajuk “Evaluasi Kinerja BPJS Kesehatan dalaam Aspek Pelayanan Pasien”, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) berharap pihaknya dapat berkolaborasi dengan PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia), asosiasi profesi, dan asosiasi rumah sakit untuk secara bersama-sama mendorong penerapan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan agar tidak terjadi defisit BPJS Kesehatan.

Peluang untuk meningkatkan pelayanan yang komprehensif dan lebih bermutu dengan tanpa meningkatkan beban bagi BPJS Kesehatan dan Pemerintah dapat diwujudkan melalui penerapan Perpres 82/2018 pada skema “Free & Fee”.

“Pada skema ‘Free’, peserta kategori Penerima Bantuan Iuran secara gratis dirancang untuk menerima perawatan dasar (basic treatment) pada kelas rumah sakit tertentu serta pemberian obat basic yang sesuai ketentuan.

Menurut Dorodjatun Sanusi, Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia, pada skema Fee peserta yang secara mandiri membayarkan tambahan obat akan mendorong baik pada Rumah Sakit maupun Pedagang Besar Farmasi (PBF).

Melalui rancangan seperti ini peserta diberikan jumlah obat yang sesuai dengan penyakitnya, sehingga mereka tidak perlu direpotkan dengan pembatasan yang selama ini diterapkan. “Proses perawatan menjadi lebih optimal dan kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.”, kata Dorodjatun.

Untuk mendukung skema yang diusulkan tersebut, pelibatan asosiasi profesi (dokter dan spesialis) berperan penting agar dapat menyusun petunjuk pelaksanaan yang detil atas kewajiban rincian komponen obat per jenis penyakit yang sesuai dengan International Therapeutic Management.

“Supaya menciptakan tekanan (pressure) yang cukup kepada pembuat kebijakan. Masyarakat yang memang mampu dan bersedia untuk membayar lebih semestinya diberikan peluang, dan jangan terlalu dibatas,” tambah Dorojatun.

Untuk menyempurnakan pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), IDI menyepakati atas mendesaknya upaya tersebut yang didorong oleh berbagai pihak pemangku kepentingan. Wakil Ketua Umum 3 Pengurus Besar IDI, Prasetyo Widhi Buwono, menambahkan program JKN yang berupaya untuk menanggung semua aspek layanan kesehatan dihadapkan pada tantangan atas ketersediaan obat yang terbatas.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) menekankan pentingnya penyempurnaan pengelolaan BPJS Kesehatan, meskipun secara regulasi Rumah Sakit Swasta tidak diwajibkan berpartisipasi. Namun demikian peran mereka tetap menjadi kunci dalam mendorong keberhasilan program JKN di Indonesia.

Menurut Noor Arida Sofiana, Wakil Ketua Umum ARSSI, beberapa masalah yang dihadapi Rumah Sakit Swasta terkait kecepatan dan ketepatan pembayaran tagihan oleh BPJS Kesehatan yang dinilai cukup lambat. Tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan mendorong kekosongan obat di Rumah Sakit. Belum lagi tak jarang obat yang diperlukan terlambat datang. Sedangan layanan kesehatan berkaitan pada kepentingan masyarakat luas.

“Masih terdapat cukup banyak tunggakan pembayaran obat sehingga Rumah Sakit harus bertahan dengan pembayaran tagihan tertunda yang pada gilirannya mengganggu arus kas kami”, ujar Noor Arida.

Daeng M. Faqih, Ketua Umum Pengurus Besar IDI menambahkan, akar permasalahan yang dihadapi saat ini bisa cepat diatasi mengingat seluruh pemangku kepentingan telah bertemu untuk mendapatkan solusi yang paling tepat.

Menurut Daeng, dengan sumber daya pendanaan yang memadai, maka hal ini dapat ditangani secara saksama dan diselesaikan melalui cara yang baik. “Bila pendanaan dapat ditangani dengan baik, secara berangsur kita dapat memperbaiki sistem pelayanan yang ada. Perbaikan cukup mendesak karena penyedia layanan kesehatan dan dukungan obat turut dirugikan,” katanya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved