Management Trends zkumparan

Upaya Tantowi Yahya Genjot Ekspor ke Selandia Baru

Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya mengungkapkan, volume perdagangan Indonesia dengan Selandia Baru masih berkisar US$ 1,7 miliar atau NZD1,4 miliar. Dari konfigurasi tersebut, komposisi ekspor masih lebih besar dibandingkan import yakni 60% untuk ekspor dan 30%-40% impor. Untuk itu, ia ingin mendorong produk Indonesia umengeskpor dalam bentuk produk jadi, sehingga mempunyai value added yang tinggi.

Tantowi juga mengatakan, arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat kerja perwakilan RI di Kementerian Luar Negeri, (12/02/2018) untuk mengenjot investasi dan ekspor. Pasalnya dua hal tersebut menurut Presiden sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Lalu, bagaimana langkah Tantowi meningkatkan ekspor ke Selandia Baru dan mendatangkan investor ke Indonesia? Berikut hasil wawancara SWA Online dengan Tantowi saat ditemui di acara CEO Business Forum Indonesia yang diselenggarakan di kawasan Jakarta Selatan, (19/2/2018) :

Sebagai Duta Besar Indonesia di Selandia Baru (plus Samoa dan Tonga), apa saja yang sudah dijajaki dalam rangka mengingkatkan ekspor ke Selandia Baru?

Dengan adanya acara hari ini, para pengusaha tepatnya CEO dari berbagai perusahaan, bidang dan produk berkumpul dalam rangka sharing, tukar menukar infomasi. Saya menyampaikan potensi-potensi bisnis yang bisa digarap di sana maupun produk yang bisa diimpor ke sini.

Saya ingin menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam rapat kerja para perwakilan Republik Indonesia di seluruh dunia. Beliau mengatakan keberhasilan diplomasi itu indikasinya apabila investasi asing mengalir ke Indonesia dan ekspor Indonesia meningkat ke mancanegara. Menurut Pak Jokowi dua hal tersebut merupakan mesin penggerak ekonomi ke depan di Indonesia.

Bagaimana potensi pasar di Selandia Baru?

Jumlah penduduk di Selandia Baru 5 juta jiwa. Ini bukan pasar yang kecil, tapi tidak besar juga. Walaupun hanya 5 juta jiwa, namun masyarakatnya memiliki daya beli yang tinggi karena Selandia Baru merupakan salah satu negara yang makmur. Sehingga kalau kita menghadirkan produk- produk dengan value added yang tinggi mereka tidak keberatan untuk membeli. Jadi kita harus melakukan ekspor ke sana karena negara China, Thailand terus menggali potensi-potensi yang ada di Selandia Baru, artinya pasar ini cukup menjanjikan.

Lalu, apa saja yang selama ini sudah dieskpor ke sana?

Produk Indonesia yang paling dikenal, diterima dan dibutuhkan itu adalah mie instan. Penjualan mie instan Indonesia di sana bagus sekali, bahkan tidak ada produk yang mendekai karena brand awareness dan brand image dari mie instan itu tinggi sekali. Selain itu, masih kecil produk bumbu-bumbu dapur asal Indonesia dan itu bersaing dengan beberapa negara ASEAN lainnya yang memiliki brand tidak sekuat mie instan kita.

Ke depan, apa saja yang akan dieskpor ke sana?

Kami mendapatkan informasi dari Kementerian Perdagangan ke depannya akan di \dorong untuk produk jadi yang sudah mempunyai value added. Pasalnya saat ini kita masih bamyak mengeskspor seperti ampas kelapa sawit untuk makanan ternak, pupuk. Ke depan kalau kita sudah bisa ekspor seperti otomotif ,komputer maka akan membuat neraca perdagangan kita melonjak. Sementara untuk impor dari Selandia Baru, Indonesia masih banyak tergantung pada produk yang berbasis susu.

Saat ini, kami sedang mencoba memasarkan buah tropisl yang selama ini di dominasi beberapa negara seperti Thailand. Di Selandia Baru, sekarang sudah masuk buah manggis dan salak. Ke depan kami juga akan mengekspor pisang, pasalnya di Indonesia banyak sekali pisang sementara kebutuhan per kapita masyarakat Selandia Baru terhadap pisang tinggi sekali. Juga, akan kami dorong ekspor buah lainnya, seperti nanas dan mangga.

Bagaimana dengan produk fesyen? Apakah potensinya juga besar?

Potensi pasar Selandia Baru hanya 5 juta jiwa, sehingga fesyen belum menjadi kebutuhan primer bagi mereka, akan tetapi kita harus masuk ke sana. Contohnya kami akan memperkenalkan batik karena batik sangat mungkin untuk masuk ke pasar lokal, khususnya masyarakat asli sana, yaitu suku Maori.

Langkahnya, kami sudah berbicara dengan Batik Alleira untuk mencoba dan menciptakan desain yang menggabungkan motif Maori dengan motif Indonesia. Rencanannya batik ini akan diluncurkan tahun ini dalam perayaaan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Selandia Baru.

Untuk bidang pariwisata, apa saja yang dilakukan?

Kami sudah melalukan berbagai macam upaya, agar ada peningkatan dari jumlah turis Selandia Baru yang berkunjung ke Indonesia. Sebab, selama ini jumlahnya sangat minim kurang dari 100 ribu turis atau kisarannya di 70 ribu/tahun. Ke depan kami akan tingkatkan menjadi 100 ribu hingga 200 ribu turis. Begitu juga orang Indonesia yang berkunjung ke sana kurang dari 50 ribu orang. Setelah kami melakukan studi, ternyata masalahnya adalah tidak ada konektivitas langsung. Jadi konektivitas langsung ini memang key issue.

Bagaimana dengan upaya mendatangkan investor ke Indonesia?

Tetap ada peluang investor asing untuk masuk ke sini meski kita sadari bahwa di Selandia Baru tidak ada konglomerasi atau tidak ada perusahaan besar. Di sana merupakan perusahaan kecil-kecil menjadi besar karena tergabung di koperasi. Dan salah satu koperasi terbesar di Selandia Baru terbesar itu sudah ada di Indonesia yakni Fonterra. Di Selandia Baru nature-nya adalah berkoperasi. Namun kami sedang berupaya agar ada investor masuk, misalnya untuk perrhotelan atau yang lain.

Sebenarnya apa yang menjadi hambatan besar dalam ekspor dan import ke Selandia Baru?

Hambatannya cuma satu belum ada direct connectivity. Jadi konektivitas yang belum ada ini membuat arus barang dan orang itu masih terhambat, sehingga dianggap jarak Indonesia-Selandia Baru sangat jauh. Saat ini kami sedang mengupayakan kepada pihak penerbangan untuk membuka penerbangan langsung.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved