News

Menjadikan Pariwisata sebagai Core Business Indonesia

Menjadikan Pariwisata sebagai Core Business Indonesia

Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI

Industri pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa terbesar di Indonesia pada 2019, melampaui sektor migas, batubara, dan minyak kelapa sawit. Ini sejalan dengan gagasan menjadikan pariwisata sebagai core business negeri ini. Apa saja yang diupayakan?

Dalam sambutan di acara Konferensi Forum Rektor Indonesia 2017 beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung bahwa sektor pariwisata merupakan sektor yang amat penting bagi perekonomian Indonesia. Presiden memulai pidatonya dengan menanyakan kembali apa sebenarnya yang menjadi DNA bangsa Indonesia. DNA yang ia maksud tentunya sebuah metafora dari karakter bangsa yang membuat Indonesia berbeda dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Agak mengejutkan bahwa Presiden tidak menyebut profesi di bidang pertanian sebagai DNA bangsa, walaupun selama bertahun-tahun Indonesia disebut sebagai negara agraris. Namun, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu menilai bahwa menjadi negara industrialis berbasis manufaktur bukanlah DNA yang cocok bagi Indonesia. Ia justru mendorong agar Indonesia menemukan core economy atau core business baru untuk bisa bersaing di tengah sengitnya persaingan antarnegara. Ia malah meyakini bahwa DNA bangsa Indonesia ada di bidang industri seni budaya atau cultural industry – yang dalam praktiknya tercakup dalam sektor pariwisata.

Indonesia, menurut Jokowi, memiliki belasan ribu jenis tarian yang bisa menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi apabila digabungkan dengan potensi alam yang dimiliki negeri ini. “Saya berpikir apakah tidak sebaiknya kita mengembangkan core business kita di bidang seni budaya yang nanti dikaitkan dengan ekonomi pariwisata?” kata Jokowi secara retoris, ketika itu.

Bila kita renungkan lebih dalam, gagasan Presiden untuk menjadikan kegiatan pariwisata (termasuk pemanfaatan kekayaan budaya di dalamnya) sebagai bisnis inti negeri ini rasanya tidaklah berlebihan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, sektor pariwisata merupakan industri yang paling mudah dan murah, yang bisa membantu meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), menghasilkan devisa, dan membuka lapangan kerja secara luas.

info grafis pariwisata

Lebih lanjut, Menteri Arief mengungkapkan jika merujuk pada data World Travel and Tourism Council, World Bank, setiap US$ 1 juta yang dibelanjakan untuk sektor travel dan pariwisata bisa mendukung terciptanya 200 lapangan kerja dan US$ 1,7 juta PDB bagi Indonesia. Yang sudah pasti, sektor ini juga terbukti mampu menciptakan lapangan kerja dengan pertumbuhan 30% dalam waktu lima tahun belakangan ini. “Devisa dari sektor pariwisata itu bisa langsung dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan multipliereffect-nya juga amat luas,” ungkap lulusan program doktor di bidang manajemen dari Universitas Padjadjaran ini.

Arief juga menyebutkan, PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8% dengan tren meningkat hingga 6,9%. Angka pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan industri agrikultur, manufaktur otomotif, dan pertambangan. Pariwisata, kata Arief, kini menyumbangkan 10% PDB nasional, dengan angka nominal tertinggi di ASEAN.

Sejauh ini, pertumbuhan penerimaan devisa pariwisata nasional dibandingkan sektor lain juga tercatat merupakan yang tertinggi, yaitu 13%, dibandingkan industri minyak dan gas bumi, batubara, dan minyak kelapa sawit yang pertumbuhannya justru negatif. Pada 2019 industri pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa terbesar di Indonesia dengan nilai US$ 24 miliar. “Dulu sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa negara terbesar ke-4 setelah sektor migas, batubara, dan minyak kelapa sawit. Nantinya, pariwisata bisa menjadi nomor satu,” ungkap Arief.

Secara gamblang Arief pun mengatakan, pada 2019 pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan regional (ASEAN). Ia menyebutkan, pesaing utama Indonesia dalam hal ini adalah Thailand yang memiliki devisa pariwisata lebih dari US$ 40 miliar. “Sedangkan negara lainnya (di ASEAN) relatif lebih mudah dikalahkan,” ungkap mantan Dirut PT Telkom ini optimistis.

Kementerian Pariwisata sendiri sudah menargetkan untuk mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) di tahun 2019. Untuk itu, berbagai hal telah dilakukan Kemenpar. Di

antaranya, memprioritaskan pengembangan 10 destinasi wisata baru, yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara).

Arief Yahya

Untungnya, ada dukungan dari sisi lain. Di antaranya, saat ini pemerintah telah melakukan terobosan deregulasi dengan penerapan Bebas Visa Kunjungan (BVK), penghapusan ketentuan Clearance Approval for Indonesia Teritory (CAIT), dan asas cabotage untuk kapal pesiar asing. Semua langkah ini dilakukan dengan harapan terjadi percepatan kunjungan wisman. Untuk memenangi persaingan, menurut Arief, tak ada cara lain, selain berlari kencang. “Ingat, the fast eat the slow. Kalau kita tidak naikkan speed, kita akan terus dimakan oleh Malaysia, Thailand, dan Singapura,” Arief menegaskan.

Pada 2017 ini, Kemenpar fokus pada tiga agenda utama pengembangan, yaitu digital tourism, homestay, dan aksesibilitas udara. Menurut Arief, visi mendatangkan 20 juta wisman hanya sekadar mimpi jika Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah aksesibilitas udara. Saat ini, katanya, seat capacity yang ada masih defisit untuk memenuhi target 20 juta wisman pada 2019. “Ingat, sekitar 75% wisman datang ke Indonesia melalui udara. Sisanya 24% lewat laut, terutama menggunakan kapal feri dan sebagian kecil menggunakan cruise dan yacht. Dan, hanya 1% wisman yang masuk lewat darat,” ia memaparkan.

Kini, sebagai sektor dan industri unggulan, Menteri Arief menyadari bahwa pariwisata harus memiliki keunikan atau diferensiasi yang tidak dimiliki oleh negara lain. Itu sebabnya, ia punya konsep agar Indonesia bisa menjadi negara dengan homestay desa wisata terbanyak di dunia. “Agar pariwisata kita berbeda,” katanya menegaskan. Ia meyakini, hanya dengan diferensiasi tersebut Indonesia bisa memenangi persaingan di pasar global.

Arief menilai perekonomian kita selama ini rawan karena ditopang oleh sektor komoditas yang tak memiliki diferensiasi, sehingga harga produknya terus merosot dan mudah diombang-ambingkan pasar. “Ketika kita memiliki diferensiasi, kita menjadi pricemaker,” katanya.

Arief pun meyakini Indonesia punya potensi dan peluang menjadi Tourism Hub Country (THC). Dengan menjadi THC, secara tidak langsung juga akan meningkatkan perdagangan dan investasi untuk tumbuh cepat. “Kalau visinya ingin menjadi Trade & Investment Hub, akan terlalu sulit bagi Indonesia untuk mengalahkan Singapura,” ujarnya mengingatkan.

Namun, menurut Arief, upaya mempercantik industri pariwisata Indonesia, tentunya juga harus didukung oleh langkah brand management yang baik. Karena itulah, hingga kini Kemenpar terus melakukan branding bertajuk “Wonderful Indonesia” dan “Pesona Indonesia”. Langkah ini dijalankan cukup agresif dan masif, serta melibatkan seluruh stakeholder, baik dari kalangan lembaga pemerintahan maupun sektor swasta. (*)

Reportase: Sri Niken Handayani


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved