Youngster Inc. Entrepreneur

Cara Andre Surya Berbisnis Sekolah Animasi dan Desain 3D

Cara Andre Surya Berbisnis Sekolah Animasi dan Desain 3D

Andre Surya tampaknya tak bisa dipisahkan dari dunia game. Sejak kecil ia sudah memainkannya. Bahkan, ketika duduk di bangku SMP, Andre sudah kecanduan permainan video game tiga dimensi (3D).

Berkat game pula karier profesional Andre melambung hingga menembus industri film Hollywood. Namun, ia merasa belum puas. Maka, melalui game pula Andre ingin memberikan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Caranya, dengan mendirikan sekolah kursus animasi dan desain 3D berstandar internasional, yang diberi nama Enspire School of Digital Art (ESDA).

Andre Surya

Karier profesional Andre di bidang animasi 3D dimulai ketika ia bekerja di sebuah perusahaan periklanan dan architectural visualization di Jakarta Polaris 3D. Kuliahnya di dalam negeri yang cuma satu tahun di Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Tarumanegara, dilanjutkan di Kanada dengan mengambil pendidikan diploma di bidang film & special effect di Vanart, sekolah film di Vancouver, Kanada.

Setelah menyelesaikan kuliah, Andre diterima sebagai satu-satunya digital artist asal Indonesia yang bekerja di Divisi Industrial Light and Magic (ILM) Lucas Film Singapura. Perlu diketahui, Lucas Film adalah salah satu studio film terbesar di Amerika Serikat. Di Lucas Film, Andre banyak terlibat dalam pembuatan beberapa film Hollywood terkenal yang banyak menggunakan special effect, seperti Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Avatar.

Setelah sempat bekerja selama empat tahun di Lucas Film, Andre pun memutuskan pulang kampung, sekitar lima tahun lalu. Ia lalu mendirikan perusahaan animasi 3D bernama Espire Studio. Dan, seperti sudah disinggung di atas, kemudian pada Februari 2013 Andre mendirikan sekolah animasi ESDA.

Melalui ESDA, Andre ingin mendedikasikan ilmunya untuk menyediakan pelatihan yang efektif bagi pengembangan kreativitas dan kemampuan teknik digital artist. Strateginya, dengan menyediakan instruktur dan mentor yang piawai, didukung kombinasi kurikulum e-learning yang dirancang secara khusus. “Di sini, sistem pembelajarannya menggunakan video, yang dibimbing seorang guru,” ia menjelaskan.

Awalnya, siswa ESDA dibagi dengan sistem kelas. Namun, dalam beberapa bulan terakhir diganti menjadi sistem level, dengan jam belajar dari Senin sampai Jumat mulai, pukul 12.00-19.00, dan Sabtu pukul 09.00-16.00. Untuk satu level, dibutuhkan waktu tiga bulan atau 12 kali pertemuan, 3 jam per pertemuan. Andre mematok biaya Rp 2,7 juta per level. Saat ini, ESDA menyediakan paket belajar hingga Level 8. Buat siswa yang sudah mencapai level 6, Andre akan menawarii mereka magang kerja di Espire Studio.

Ada keunikan ESDA yang jarang dijumpai pada kursus keterampilan lainnya. “Pada tiap level kami minta murid menyelesaikan satu portofolio. Kalau mereka berhasil, bisa naik level,” ujar Andre. Menurutnya, sekolahnya tidak menggunakan sistem ujian. Alasannya, ia tidak mau murid merasa ada kewajiban datang. “Kami ingin murid datang ke sini karena merasa ingin menciptakan atau membuat sesuatu. Berkarya kreatif itu tidak bisa dipaksa, harus dari kemauan sendiri,” papar Andre.

Selain sebagai tempat menambah keterampilan animasi dan desain 3D, ESDA rupanya juga bisa berperan sebagai pusat rehabilitasi bagi anak-anak yang kecanduan main game. Misalnya, seorang siswa ESDA bernama Reynold. Tadinya, anak itu menjalankan pola home schooling karena ibunya sudah tidak bisa mengontrolnya dan sering bolos sekolah. Anak ini sudah kecanduan main game. Setiap hari rata-rata menghabiskan waktu hingga 12 jam untuk main game, dari pagi sampai malam. “Ketika ibunya bertemu saya, lalu saya tawarkan sekolah di ESDA. Sekarang Reynold sudah kerja full time di sini. Walaupun usianya baru 14 tahun, gajinya sudah seperti anak lulusan kuliah,” ungkap Andre bangga. “Selain itu, sekarang ia sudah bisa bantu ibunya yang arsitek untuk bikin 3D modeling. Mungkin karena sibuk berkreasi, dia juga sudah jarang main game,” tambahnya.

Andre menyebutkan, saat ini total siswanya sudah mencapai sekitar 1.000 orang. Selain itu, ESDA juga sudah membuka cabang yang diwaralabakan, yaitu di Alam Sutra dan Pluit. Dalam waktu dekat ia akan membuka cabang di Kelapa Gading. Untuk membuka waralaba ESDA, cukup membayar franchise fee sebesar Rp 190 juta selama lima tahun, tetapi mesti membayar royalty fee 30% per bulan — untuk tiga bulan pertama bebas royalti.

Andre optimistis sekolah animasi 3D ini akan semakin diminati orang. Sebab, ke depan, peluang bekerjanya lebih terbuka luas dengan memiliki kemampuan di bidang desain dan animasi 3D. “Animasi 3D sangat menjanjikan. Sekarang saja film Disney Pixar sudah 3D semua. Karena zamannya sudah berubah,” ujarnya. Menurutnya, belajar 3D ini ilmunya sangat komersial dan bisa dipakai seumur hidup untuk bekerja. “Jadi, sekolah di sini lebih murah dari kuliah, tetapi gaji yang dihasilkan nantinya bisa setara dengan lulusan kuliah,” katanya.

Hal ini diakui salah satu muridnya, Renoir Marc. Selain masih menjadi murid di sekolah animasi 3D ESDA, lelaki yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA ini juga sudah dipercaya menjadi anggota tim kurikulum ESDA. Tugasnya? menyusun kurikulum bagi murid-murid untuk level di bawahnya.

“Saya sudah belajar di ESDA selama 1,5 tahun,” ucap Renoir. Ia menceritakan, awal masuk ESDA karena suka main game. Dan, ternyata dari game bisa menghasilkan sesuatu yang berguna, nggak cuma main-main. “Karena itu, saya jadi tertarik belajar 3D, dan bercita-cita bekerja di industri game,” katanya.

Menurut Renoir, proses belajar di ESDA sangat menyenangkan. Para siswa dibimbing mentor yang profesional di bidangnya. Kelasnya pun santai, tidak kaku seperti di sekolah. “Saya harap ESDA lebih aktif mengenalkan dan mempromosikan industri 3D ke masyarakat supaya semakin banyak yang tertarik menekuni industri 3D,” ujarnya. (*)

Raden Dibi Irnawan & A. Mohammad BS


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved