Youngster Inc. Entrepreneur

Dua Sekawan dan French Cuff-nya

Dua Sekawan dan French Cuff-nya

Bisnis fashion yang semakin dinamis rupanya memikat dua sekawan, Vincent Phandinata dan Andreas, untuk terjun ke dalamnya. Mereka pun memilih bisnis pakaian khusus pria. Alasan mereka: pakaian kaum Adam sederhana dan tak sevariatif busana kaum Hawa.

Vincent Phandinata

Siapa nyana, bisnis dengan modal Rp 10 juta itu sukses. Kini, dengan delapan karyawan, dalam sebulan House of Cuff rata-rata bisa menjual 1.000 item produk dengan omset tak kurang dari Rp 100 juta/bulan. Bagaimana bisa?

Tentu saja, ada lika-likunya. Untuk memproduksi french cuff, awalnya mereka meminta orang lain untuk mengerjakannya. “Kami terima jadi. Kami hanya serahkan desain baju. Mereka yang mengerjakan, lalu jual secara online,” ujar Vincent mengenang.

Tak diduga, setelah enam bulan berjalan, komplain pun berdatangan, di antaranya karena bahan kurang bagus atau jahitan kurang rapi. Menghadapi hal tersebut, dua sekawan ini pun memutuskan memutar haluan: mereka yang mencari bahan kain. Kualitas produk pun segera membaik. Bahkan, sejak itu pula produk yang dibuat tak hanya kemeja, tetapi juga aksesori seperti cuffllink, dasi, belt, label, penjepit/penahan dasi dan pin.

Vincent menjelaskan, harga kemeja french cuff yang mereka buat cukup bersaing, di kisaran Rp 150-200 ribu. Selain itu, mereka juga menjual model cufflink seharga Rp 79-200 ribu. Mereka bisa menjual murah karena bahan kainnya 100% lokal. “Biasanya bahan kain kami beli dari Bandung karena di sana banyak pabrik tekstil yang bagus. Kami tak hanya membeli ke satu supplier,” kata kelahiran 31 Agustus 1989 yang pernah bekerja sebagai real estate valuer di Cushman & Wakefields ini.

Sementara untuk strategi pemasaran, House of Cuff lebih banyak menggunakan media online. Mereka menggunakan Instagram, Facebook, iklan online, dan kerja sama dengan marketplace seperti Mataharimall.com, Sogo, Blanja.com serta Lazada. Vincent bahkan mengungkap bahwa awalnya order datang via WhatsApp, Instagram dan website (houseofcuff.com). “Umumnya mereka chatting tanya-tanya dulu, baru kemudian beli. Kami juga ada toko offline sehingga pelanggan lebih yakin. Kalau apa-apa, bisa komplain,” ujarnya.

Jalur online memang penting demi berkembangnya House of Cuff. Namun, menyadari pentingnya pasar, dua sahabat ini pun sering berpromosi. Mereka mengikuti pameran keliling dengan membuat pop up store dari mal ke mal, rutin tiap bulan. Memang biayanya cukup mahal: sewa space selama satu minggu bisa menelan Rp 7-8 juta. Namun dengan adanya pop up store, konsumen lebih mengenal produk House of Cuff.

Menarget pria usia 20-50 tahun, produk yang banyak digemari, menurut Vincent, biasanya yang desainnya simpel dan berwarna polos. Namun, belakangan juga mulai banyak yang pesan motif bunga-bunga dengan desain yang agak necis. Saat ini total jenis produk yang dibuat untuk jenis kemeja french cuff sekitar 40 model. Adapun jenis cufflink bisa ratusan model.

Tanpa terasa, berangkat dari nol, omset per bulan kini Rp 100 juta. “Harapannya, tahun ini bisa Rp 300 juta,” kata Vincent. Salah satu cara untuk menggenjot penjualan adalah membuka toko di selatan Jakarta.

Jadi, sepertinya semuanya berjalan mulus bagi kedua sahabat ini. Lalu, apa dong kendala dalam bisnis? “Tentu saja, ada. Biasa, kami salah dalam belanja kain. Kami trial and error,” ungkap Vincent. Namun, dia menambahkan, “Yang penting, tidak kapok dan selalu belajar dari kesalahan,” ujarnya seraya menegaskan bahwa ia dan sahabatnya yakin bisnis mereka akan terus berkembang.(*)

Sudarmadi dan Nerissa Arviana


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved