Youngster Inc. Entrepreneur zkumparan

Nappa Milano, Sepatu Klasik Dennis Senjaya yang Booming

Dennis Senjaya, produsen sepatu sneakers lokal Nappa Milano.
Dennis Senjaya, produsen sepatu sneakers lokal Nappa Milano.

Usianya masih relatif muda, 26 tahun, tetapi intuisi bisnis Dennis Senjaya bisa dibilang istimewa. Di saat anak-anak muda kreatif ramai mengembangkan sepatu sneakers lokal, Dennis justru bersikukuh menggarap sepatu bergaya klasik/formal. Ia yakin, sepatu klasik akan tetap klasik selamanya. Sepatu klasik punya daya tarik sendiri. “Dia unik, dari dulu sampai sekarang tidak berubah, tetap relate dari sisi nilai dan sejarah,” ujarnya meyakinkan.

Kiprah Dennis dalam produksi sepatu formal sebenarnya tidak direncanakan. Pria yang mengenyam pendidikan tinggi di Singapura ini mengaku, pada awalnya menjalankan bisnis sepatu ini tanpa disengaja. Bahkan, bisa dikatakan karena desakan keadaan.

Kejadiannya berawal di tahun 2015. Saat itu, bisnis keluarganya yang bergerak di bidang manufaktur sepatu menghadapi masalah. Banyak sepatu yang sudah diproduksi gagal kirim akibat terjadi perlambatan ekonomi secara global.

Hal itu membuat bisnis keluarga terganggu. Dennis, putra tercinta yang sedang menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, diminta pulang untuk membantu membenahi bisnis keluarga.

“Sejujurnya, saya tidak ingin meneruskan bisnis ini, karena background pendidikan saya berbeda dan saya juga sudah mencoba untuk apply ke perusahaan lain,” katanya mengenang saat itu.

Namun, takdir mengatakan hal lain. Sembari menanti mendapatkan pekerjaan tetap, Dennis mencoba menjual sepatu gagal kirim tersebut melalui media sosial dan bazar di mal-mal. Sepatu-sepatu itu diberi nama Nappa Milano.

Kata “Nappa” diambil dari nappa leather, salah satu jenis material kulit untuk barang premium. Sementara “Milano” diambil dari perjalanan ayahnya, pendiri bisnis manufaktur sepatu, ke Italia untuk belajar craftmanship. “Jadi, kami ambil filosofi bahwa Nappa Milano itu kombinasi dari material premium dan skill craftmanship yang bagus,” Dennis menjelaskan.

Ternyata, cara penjualan lewat medsos dan bazar berhasil menarik perhatian konsumen. Dalam waktu tak lama, Nappa Milano ludes terjual dan mendatangkan keuntungan. Hal itu membuat Dennis sempat bingung, apakah akan melanjutkan bisnis sepatu atau kembali ke rencana awal: bekerja di perusahaan lain.

Titik balik terjadi saat Dennis sedang berjalan-jalan, lalu melihat ada orang yang menggunakan sepatu Nappa Milano. “Wow…, rasanya senang dan bangga. Sepatu kami adalah sepatu formal, sementara orang tidak selalu menggunakan sepatu formal,” ujarnya gembira.

“Sepatu kami digunakan untuk event penting, meeting, atau resepsi pernikahan. Saya senang sekali orang bisa menggunakan produk kami padahal brand-nya baru dan belum apa-apa, tapi orang sudah percaya dengan brand kami,” Dennis bercerita dengan penuh sukacita. “Ada rasa senang dan tanggung jawab untuk membuat sepatu lagi sesuai dengan kualitas yang mereka harapkan,” ungkapnya.

Dari kejadian itu, ia memutuskan fokus mengembangkan Nappa Milano yang terus memegang filosofi, kualitas, serta segmen sepatu formal. Pilihan itu, menurutnya, memang berbeda dengan pemain lain, tetapi justru peluangnya lebih besar.

Nappa Milano menggunakan material nappa pada sebagian koleksinya. Kendati demikian, merek ini tak melulu pakai kulit tersebut. Foster Sneakers, misalnya, menggunakan brushed off leather. Kulit ini memiliki cirikhas mengkilap dan mudah dibersihkan. Untuk kulit tersebut, Dennis mengambil dari beberapa tempat penyamakan kulit (tannery) di Jawa.

“(Kulit) sapi Jawa itu salah satu bahan baku yang bagus di seluruh dunia. Mereka pun tannery di sini, ekspor ke Eropa, dan lain-lain. Kami juga berkeyakinan, Indonesia juara kalau soal material,” kata Dennis yang berusaha menggunakan bahan-bahan lokal pilihan terbaik.

Filosofi yang dikembangkan Dennis membawa Nappa Milano menjadi merek sepatu dengan DNA klasik lokal yang bisa eksis dan bahkan populer di kalangan anak muda. Untuk itu, ia memperkenalkan sepatu klasik dengan sentuhan kekinian.

Dennis memang tidak main-main dengan proyek barunya ini. Ia berusaha fokus pada sepatu formal, tetapi selalu berinovasi sesuai dengan tren agar tetap relevan. Untuk itu, ia senantiasa melibatkan konsumen dalam inovasi produk. Antara lain, memberikan sentuhan inovasi dengan siluet keren, brogue yang khas dari lubang, juga aksen, entah wingtip, longtip, atau u-tip.

“Kami sengaja membawa siluet klasik zaman dulu, namun bentuknya diubah, seperti ditambahkan desain-desain kecil, biar cepat diterima masyarakat zaman sekarang,” ungkapnya menggambarkan. Dalam hal ini, ia meyakinkan bahwa inovasi yang dihadirkan Nappa Milano mengombinasikan antara sneakers dan upper classic, seperti pada sneakers terbaru Nappa Milano, Foster Sneakers.

Kebetulan, dari segi produk, Dennis memiliki akses ke pemasok yang bagus dan craftmanship yang juga bagus. Selain itu, karena berasal dari keluarga manufaktur sepatu, ia pun lebih paham dalam menciptakan produk yang bagus.

Satu tahun pertama, ia mengembangkan Nappa Milano seorang diri. Bersamaan dengan itu, Instagram mulai popuper dan ia mencoba menjualnya di medsos tersebut. Namun, karena tidak memiliki latar belakang di bidang kreatif, ia pun menggaet Fariz Noor Pramandha, co-founder Nappa Milano yang berlatarbelakang fotografer. “Semua konten kreatif di Nappa Milano adalah hasil kreasinya. Pembagiannya, saya di operasional dan produksi, sementara Fariz di marketing dan branding,” katanya.

Modal awalnya, selain dari produk sepatu yang dijual, juga dari tabungan sebesar Rp 10 juta: Rp 5 juta untuk sewa tempat dan Rp 5 juta untuk membuat booth, seperti rak, meja, dan kursi. “Keuntungannya kami putar untuk mengikuti pameran berikutnya dan diputar hingga kini,” kata Dennis yang mengikuti bazar seminggu sekali.

Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan di masa pandemi ini, Nappa Milano menciptakan leisure collection yang lebih santai, tetapi tetap formal. Ada dua inovasi produk yang dikeluarkan, yakni produk sepatu yang lebih kasual dan sendal.

Dennis mengakui, imbas dari pandemi adalah menurunnya penjualan pada Maret dan April 2020, sebanyak 50%. Sehingga, pihaknya harus melakukan encounter dengan produk yang relevan dengan kondisi sekarang dan memberikan benefit tambahan, seperti diskon dan kampanye.

Bersyukur, penurunan hanya terjadi selama Maret dan April. Mulai naik lagi saat momen Lebaran dan ketika aturan pembatasan sosial berskala besar dilonggarkan. “Bisnis kami sudah mulai kembali stabil hingga sekarang,” ujarnya.

Saat ini Nappa Milano fokus mengembangkan penjualan online karena acara pameran dan bazar jauh berkurang. Walaupun masih bekerjasama dengan toko yang sudah existing, seperti Goods Dept di Pacific Place, Lotte Shopping Avenue, dan Pondok Indah Mall, Nappa Milano gencar berpromosi di medsos. Selain di Instragram, juga di TikTok, sesuai dengan tren yang berkembang di masyarakat. “Rencananya, tahun 2021 ini kami akan membuka toko sendiri di daerah Jabodetabek,” kata Dennis.

Kini, hasil dari program kampanye di medsos dan edukasi konsumen melalui konten yang dibuat di medsos –seperti membuat kampanye Nappa Milano Real Leather untuk mengedukasi mengenai perbedaan kulit asli dan kulit sintetis– menggembirakan. Tahun 2020, Nappa Milano terjual 7 ribuan pasang, naik dari penjualan 2019 sebesar 4.000-5000-an pasang.

Dengan 15 karyawan, di tahun 2021 ini Dennis menargetkan bisa menjual 10 ribu sepatu. Untuk bisa menggenjot penjualan, ia meluncurkan produk baru, memperbanyak titik distribusi, dan membuat konten yang lebih relevan dengan masyarakat, seperti masuk ke TikTok yang sudah disebutkan di atas.

Ke depan, Dennis berencana membuat aksesori dari kulit, seperti belt, clutch, dan shoe care. Selain itu, ia juga akan membuat kemeja. “Intinya, kami berusaha tetap mengeluarkan produk berbahan kulit. Namun, kami juga sedang mengeksplor bahan-bahan lain,” katanya.

Dyah Hasto Palupi/Anastasia A.S.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved