Youngster Inc. Entrepreneur zkumparan

Obsesi Edwin Berbuah Prestasi

Edwin Yanne, Chief Executive Officer TFG Traveling
Edwin Yanne, Chief Executive Officer TFG Traveling

Pengusaha sukses identik dengan kehidupan makmur dan nyaman. Gambaran itu melekat di benak Edwin Yani Widjaja, kelahiran Jember, 4 Desember 1987. Ia pun terobsesi menjadi seorang entrepreneur yang sukses dan makmur.

Dalam pandangan pria yang sering disapa Edwin Yanne ini, dengan menjadi pengusaha akan memiliki banyak kesempatan istimewa. “Antara lain, kesempatan menciptakan produk baru, menyusun strategi pemasaran dan penjualan, membangun jaringan, dan membuat sistem di dalam perusahaan. Saya suka tantangan seperti itu,” katanya terus terang.

Karena itu, kendati lebih dari enam tahun menjalani profesi sebagai fotografer, bayangan menjadi pengusaha tidak pernah pupus dalam benak Edwin. Dan, kesempatan itu datang ketika pada 2012 dalam menjalankan profesinya sebagai fotografi, ia mulai merasa jenuh. Di satu sisi, ia merasakan persaingan di bisnis fotografi semakin ketat karena pemain terus bertambah; sementara di sisi lain, pekerjaan sebagai fotografer membuatnya tidak punya banyak waktu luang untuk menikmati hidup. “Dari situ saya memutuskan banting setir mewujudkan cita-cita lama,” ujarnya.

Bisnis pertama yang dijalaninya membuat tali kamera dan tas kamera. “Saya membuatnya sendiri, mulai dari mencari bahan, mendesain, hingga mencari tukang jahitnya,” kata Edwin yang mendirikan CV sebagai cikal bakal perusahaan miliknya.

“Awal usaha tidak berjalan mulus,” ungkapnya. Tak sedikit pembeli yang mengeluh soal kualitas tas kamera buatannya. “Namanya juga belum pengalaman di dunia tas, jadi ada produk saya yang jebol,” ujarnya seraya tertawa kecut.

Namun, perlahan-lahan perjuangannya mulai membuahkan hasil. “Mula-mula saya masukkan ke toko-toko kamera namun tidak laku, akhirnya saya masukkan ke distro dan di sini ternyata laku,” kata Edwin yang mengusung merek dagang Taylor Fine Goods (TFG).

Setelah itu, ia mendapatkan banyak masukan untuk menambah produk. “Akhirnya, berangkat dari sana saya memutuskan mengarah ke traveling dengan menyediakan produk berupa tas, tempat sabun, tempat kamera. Kebetulan saat itu pariwisata juga sedang tumbuh, jadi semuanya sedang naik, foto-foto traveling, dan momennya saat itu pas,” tutur Edwin berbunga-bunga.

Baginya, meski cuma bermodalkan uang Rp 5 juta, harus percaya diri dan tidak mudah menyerah. Itu yang penting. Dua bulan pertama, ia membuat 100 piece tali kamera. Lalu, ia menawarkannya ke teman-teman lewat BlackBerry Messenger. Setelah itu, ia memberanikan diri membuat tas kamera. Melalui trial and error, ia terus memproduksi tali dan tas kamera; belajar secara otodidak. “Saya baru benar-benar paham bahan yang cocok untuk tas dan tali kamera setelah kurang-lebih setahun,” ungkapnya.

Tahun kedua Edwin merekrut dua karyawan. Dan, sekarang timnya sudah beranggotakan 50 orang. Menurutnya, kendati bendera TGF telah berkibar hingga mancanegara, tak berarti segala sesuatunya berjalan mulus. Ia pun pernah kecewa, menghadapi pasang-surut, dan mengalami suka-duka menjalankan usaha. Misalnya, setelah bersusah-payah menyelesaikan tas kamera, ternyata tas kamera yang ia titipkan ke toko kamera langganannya tidak dipajang oleh toko. Kemudian, berurusan dengan penjahit yang susah-susah gampang.

“Pendeknya, dibutuhkan kesabaran dan semangat pantang menyerah,” ujar Edwin tandas. Meski merasa sakit hati, kecewa, dan perasaan negatif lainnya, ia berusaha jalan terus dengan usaha tali dan tas kamera.

Kebetulan, pada 2013 sedang booming distributor outlet alias distro. Ia pun memasukkan produknya ke sejumlah distro dengan sistem komisi. Harga jualnya berkisar Rp 100.000-500.000 per piece. Ternyata, tali dan tas kameranya laku keras. “Saya pun dapat pelajaran baru, bahwa tidak ada jalan buntu, adanya salah jalan atau belum ketemu saja jalannya,” Edwin menegaskan.

Setahun kemudian, 2014, ia fokus pada perlengkapan pelesiran. “Saya ketemu orang yang bilang, brand lokal harus ada identitasnya. Contoh, Eiger dengan tas gunung. Saya pikir sepertinya perlu tas traveling; karena kalau jalan-jalan butuh tas dan tali kamera, juga lain-lain,” katanya.

Setelah delapan tahun berjalan, produk TFG tidak cuma tas kamera. TFG juga memproduksi tas laptop, backpack atau ransel, dsb. “Ada teman yang bilang, suka dengan desain saya, dia minta saya buat backpack dan tas laptop,” ujar Edwin. Saat ini ia memiliki sekitar 150 jenis aksesori perjalanan yang ia produksi, mulai dari dompet, tempat paspor, tempat kartu nama pouch, tote bag, sling bag, waist bag, hingga jogger bag.

Untuk pemasaran, sejak 2013 TFG fokus pada penjualan online. Namun, ia juga bermitra dengan beberapa toko offline. Sebut saja, Gramedia, Living Room, Widely Project, Ramayana, dan Legacy Store. Selain itu, TFG juga bergabung dalam pameran buku Big Bad Wolf (BBW). “Mudah-mudahan bisa ikut bulan depan di BBW Malaysia,” ujar Edwin. Ia menambahkan, TGF merupakan satu-satunya merek aksesori mode yang ada di BBW.

Seiring dengan kian membesarnya bisnis, ia pun mengerek status usahanya dari semula commanditaire vennootschap (CV) menjadi perseroan terbatas (PT) pada 2017. Namanya pun dia ganti, dari CV Samudera Kanvas Indo jadi PT TFG Traveling Asia.

Sejatinya, seiring dengan status yang naik menjadi PT, Edwin membuka pintu lebar-lebar untuk investor masuk ke perusahaannya. Sebab, ia ingin TFG berkembang pesat dan menguasai pasar dalam negeri untuk aksesori traveling. “Tapi, saya berubah pikiran setelah dua hari pendanaan masuk. Saya kembalikan lagi semua dana tersebut ke para investor,” ungkap Chief Executive Officer TFG Traveling ini.

Guna meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi, kini ia bekerjasama dengan pabrik yang juga mengerjakan produk-produk milik Hush Puppies. Kongsi ini mulai berlangsung tahun lalu.

“Pencapaian yang luar biasa buat saya, karena kalau orang bikin tas, pasti tahu pabrik itu salah satu yang terbesar di Indonesia Timur,” katanya. Ia pun mulai merambah pasar Singapura dan Thailand. “Untuk Malaysia dan Rusia sedang kami develop,” ungkapnya.

Sejauh ini bahan baku yang dibutuhkan, 30% dari dalam negeri dan 70% dari luar, karena di Indonesia belum ada yang bisa membuat materialnya. Jikapun ada, harganya mahal dan kualitasnya kurang bagus. Produksinya saat ini mencapai 20 ribu produk/bulan. Dan bila semua berjalan sesuai dengan rencana, Edwin memperkirakan tiga tahun lagi akan melakukan penawaran saham perdana (IPO). “Saat ini sedang proses menuju ke sana. Bulan depan kami sudah roadshow, “ ujarnya optimistis. (*)

Dyah Hasto Palupi/ Sri Niken Handayani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved