Youngster Inc. Entrepreneur

Santi Alaysius Memilih Hujan Emas di Negeri Sendiri

Santi Alaysius Memilih Hujan Emas di Negeri Sendiri

Ketika kebanyakan orang berusaha mencari kenyamanan dan kemapanan karier di negeri orang, Santi Alaysius justru memilih meninggalkan kariernya yang tengah berpendar di Amerika Serikat (AS). Lulusan The Art Institute of Seattle dan Illinois Institute of Art-Chicago ini sempat bekerja magang di Thom Filicia, New York, dan di Simeone Deary Design Group, Chicago. Sebagai desainer interior, selama empat tahun bergabung ia menangani pekerjaan yang berkaitan dengan hunian kelas atas. Bersama timnya, ia menangani proyek rumah salah satu diva AS, Jennifer Lopez, di Long Island.

Santi Alaysius

Santi Alaysius

Saat bergabung dengan firma butik di Chicago, ia sempat mengerjakan proyek besar dan dipercaya menjadi desainer proyek The Elysian Hotel dengan lingkup pekerjaan mendesain interior seluruh gedung (restoran, bar, spa, dan lainnya). Hotel dengan nilai investasi US$ 250 miliar itu kemudian bertengger di peringkat satu hotel terbaik di AS dan peringkat 7 hotel terbaik di dunia versi Majalah Conde Nast Traveller dan Elle Décor. Sentuhan artistis Santi pernah pula mewarnai beberapa majalah desain dan interior internasional, seperti Elle Décor, Interior Design Magazine dan Home and Décor.

Setelah hampir satu dekade berkarier sebagai desainer interior di AS dengan gaji sekitar US$ 50 ribu, Santi mengaku ingin melakukan banyak hal dan mencari pelabuhan ekspresi yang lebih besar. Tak jauh-jauh, tanah kelahirannyalah yang kemudian ia pilih sebagai tempat mencari tantangan yang lebih besar itu. Pada 2009, ia pulang ke Indonesia. “Awalnya saya tidak kepikiran lagi untuk menjadi desainer interior, apalagi mendirikan perusahaan konsultan desainer interior,” kata perempuan bertubuh mungil ini.

Saat itu, Santi malah ingin mengembangkan bisnis jewellery. Sewaktu di AS, ia memang sempat mengembangkan lini jewellery di sela-sela kesibukannya sebagai desainer interior. Ia menitipkan berbagai aksesori buatannya di toko milik temannya. “Saya sangat suka membuat sesuatu dengan tangan sendiri dari barang sisa, tapi dengan hasil yang keren pastinya,” ujarnya. Ketika tengah melakukan persiapan membuat merek perhiasan itu, ia dihubungi teman satu kuliahnya saat di AS, Hamphrey Tedja. “Ia mengajak saya untuk membantu mengerjakan proyek desain interior restoran kecil bernama Emperor Q di Senayan City.”

Itulah cikal bakal perkongsian keduanya. Proyek perdana itu membuahkan inisiatif membangun usaha bersama. Lewat Domisilium Studio, Santi dan Hamphrey mengembangkan perusahaan desain interior. “Kami merasa ada kesamaan visi dan bisa bekerja sama dengan baik. Setelah mengerjakan proyek perdana di Senayan City itu, satu per satu proyek berdatangan. Domisilium Studio sebagai langkah awal kami menggeluti dunia desain interior ini,” paparnya.

Bermodal laptop, Santi memulai episode baru kehidupannya sebagai orang yang mandiri. “Kami memulai bisnis ini dari nol. Tidak ada investasi dari pihak lain, hanya bermodal laptop bekas saya kuliah dulu yang sudah berusia empat tahun. Kemudian nongkrong di kafe yang punya akses Wi-Fi cepat. Dari situlah kami memulai bisnis,” ucapnya. Kantor Domisilium saat itu memang masih nomad. “Kadang nebeng di rumah orang tua saya, atau rumah orang tuanya Hamphrey. Baru pada tahun ketiga, kami punya kantor sendiri,” imbuhnya. Selama setahun pertama, mereka sepakat tidak gajian. “Semua fee yang kami dapatkan untuk modal usaha. Fee pertama proyek kami belikan printer,” ungkapnya. Mereka sepakat tidak meminta bantuan modal ke orang tua masing-masing. “Sebagai anak, saya harus bisa mandiri di atas kaki sendiri,” katanya. Menurut Santi, dukungan moral dan motivasi dari orang tua sudah lebih dari cukup baginya.

Setelah proyek perdana di Senayan City, proyek residensial kemudian berdatangan. Juga proyek hospitalitas, antara lain Urban Icon, Martha Tilaar, hotel di jaringan Grup Accor, dan Hotel Kosenda di bilangan Jakarta Pusat. Kliennya adalah yang menjual gaya hidup untuk kelas menengah-atas, sehingga sangat berkembang dan selalu dinamis. “Semua kami terima berdasarkan word of mouth,” katanya.

Ia mengaku tak punya jurus khusus untuk mengiklankan Domisilium Studio. Apalagi, memasang iklan di media. “Bisnis kami adalah jasa desain, maka reputasi sebagai desainer harus baik dalam berhubungan dengan banyak pihak, terutama klien. Dan itu sangat kami jaga,” ungkapnya. Selama ini, ia hanya memanfaatkan media sosial sebagai sarana mengampanyekan Domisilium Studio. “Kami tetap akan mempertahankan cara pemasaran yang paling efektif lewat Internet. Nama kami terdengar sampai ke luar negeri juga karena Internet. Juga dari liputan media,” tambahnya.

Domisilium Studio pun kini menjadi pemain yang diperhitungkan di jagat desain interior. Berapa omsetnya? “Aduh, terus terang saja, kami tidak pernah menghitung berapa besar omset yang kami hasilkan,” katanya mengelak. Menurut dia, selama ini, jika ada kelebihan maka dialokasikan untuk modal bisnis, bisa berupa peralatan atau renovasi kantor. Targetnya, tahun depan, desain kantor Domisilium Studio harus sesuai dengan yang diinginkan. “Jadi, pas tamu datang ke kantor, nggakmalu-maluinbangetlah, hahaha…,” katanya sembari tertawa.

Mereka juga mengalokasikan keuntungan untuk membeli software desain yang mahal, bisa mencapai US$ 3 ribu. “Bagi kami, tidak fair kalau kami memakai barang bajakan untuk mencari uang, bahkan bisa jadi uang yang kami dapatkan jadi nggak halal,” imbuhnya. Untuk pertumbuhan bisnisnya, ia mengaku, sejak tiga tahun lalu tiap tahun meningkat sampai 50%. Domisilium mematok fee minimum Rp100 juta untuk segala proyek. “Kami termasuk yang masih murah dibanding yang lainnya.”

Untuk menjaga reputasi, selain menjaga layanan kepada klien dan menjaga citra merek, Santi juga menjaga desain agar selalu inovatif dan dinamis. “Proyek kami selalu berbeda dan tidak ada yang sama dengan proyek sebelumnya. Bagi kami, jika orang sudah dapat menebak suatu proyek itu hasil dari Domisilium, berarti kami sudah mati gaya, kami sudah stuck,” kata penikmat kopi dan sayuran ini. Karena itu, di setiap proyek ia selalu mengerjakan hal yang berbeda dan menjadi daya tarik tersendiri. Santi mengaku perfeksionis sehingga sangat detail memperhatikan setiap hal yang menyangkut konsep desainnya.

Diakui Ruben, pengelola Hotel Kosenda, pihaknya merasa puas atas layanan desain interior yang dikerjakan Santi dan tim Domisilium Studio. “Ekspektasi kami dalam memilih Domisilium sebagai desain interior tidak sia-sia. Mereka berhasil mewujudkan apa yang menjadi harapan kami dalam mendesain interior Hotel Kosenda. Sehingga kesan hotel sebagai new life style dan tidak hanya sebagai tempat menginap, tapi juga sebagai tempat berkumpul selain mal, sangat melekat di Hotel Kosenda,” katanya memuji.

Santi sendiri mengaku selalu berusaha menampilkan sesuatu yang baru di setiap proyeknya. Tak heran ia sering meluangkan waktu untuk mengamati sekeliling, bergaul dan jalan-jalan. Menurutnya, inspirasi bisa datang dari mana saja. Bisa saat menonton televisi, plesiran, baca majalah, bahkan sedang kongko dengan teman-temannya. “Everywhere. Yang paling penting, harus peka saat melihat kondisi sekitar. Banyak melihat dan belajar secara visual dengan lingkungan sekitar,” ucapnya.

Diakuinya, kendalanya selama ini justru soal sumber daya manusia, dan klien yang banyak permintaan tetapi bujetnya tak sesuai dengan permintaannya. Toh, Santi optimistis bisnisnya akan terus berderak seiring pertumbuhan industri desain interior dan properti. Harapannya ke depan justru terkait dengan profesi desain interior yang menurut dia sejatinya tak sekadar talenta yang dipupuk. “Attitude juga diperhatikan. Kami yakin bakal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” katanya. Ia bahkan berharap pemerintah menjamin dan memberikan perlindungan hak cipta atas kekayaan intelektual dan memberikan regulasi tentang fee minimum.

Ia punya pengalaman yang membuatnya cukup syok, yakni soal tender desain. Menurutnya, di luar negeri tender desain itu ilegal, kecuali proyek sosial dan proyek pemerintah yang menjadi kepemilikan umum. “Jika proyek bisnis pribadi sangat tidak etis untuk tender. Kalau kami ikut tender, kami bekerja tanpa dibayar dulu,” ujarnya. Di luar negeri, lanjutnya, peserta tender diberi fee. “Jadi, meski tidak kepilih tetap dapat bayaran karena kami menjual ide, bukan menjual barang.”

Henni T. Soelaeman dan Syukron Ali


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved