Youngster Inc. StartUp

Drama, Debut Bisnis Mantan Artis Cilik

Drama, Debut Bisnis Mantan Artis Cilik

Lewat acara press presentation pada 10 Juni lalu, kiprah Dena Rachman sebagai seorang wirausaha (entrepreneur) pun dimulai. Inilah babak baru seorang mantan artis cilik yang memilih jalur bisnis sebagai karier masa depannya. Mengusung merek Drama, akronim dari nama Dena Rachman, ia mengentak panggung fashion Tanah Air dengan koleksi sepatu unik yang memiliki struktur pyramid heels berwarna krom emas setinggi 11 cm. “Ini menjadi signature heels dari brand tersebut,” kata kelahiran 30 Agustus 1987 ini.

Dena Rachman

Dengan tajuk “3.0”, Drama meluncurkan koleksi perdana Spring/Summer 2015 dengan garis desain klasik tetapi ada sentuhan modern. Koleksi ini terdiri dari tiga bentuk pointy dan tiga bentuk round-toe dalam ragam pumps, mary jane, t-strap-ankle boots dan strappy sandals. Dengan bahan kulit asli, Drama mempersembahkan tampilan warna klasik seperti hitam, krem, cokelat, putih, merah marsala, dan emas. Dibanderol pada kisaran US$ 165-185, Dena ingin Drama memiliki branding yang kuat sebelum membuka toko. Rencananya, Drama akan dipamerkan juga dalam ajang Jakarta Fashion Week (JFW).

“Saya melihat ada peluang di bisnis sepatu,” kata Dena perihal ketertarikannya terjun di bisnis sepatu. Menggandeng rekannya, Anggie Kinanti Akbar, ia pun memberanikan diri ikut meramaikan pasar sepatu lokal. “Saya dan Anggie sepakat membuat bisnis sepatu ini. Sejauh ini saya menjadi creative director, sedangkan rekan saya lebih ke sales, marketing dan finance. Untuk bagian produksi, kami merekrut secara outsource,” paparnya.

Dalam pandangannya, masih sedikit wirausaha di Indonesia yang membuat sepatu, khususnya yang memiliki hak tinggi (high heels). Pasar masih didominasi fashion di kategori pakaian dan aksesori. Karena itu, usai menyelesaikan pendidikan S-2 Administrasi Bisnis di University of Bologna, Italia, dengan konsentrasi pada fashion & luxury goods, ia mantap melangkahkan kaki sebagai wirausaha. Terlebih, ia mengaku penggila sepatu dan sempat bekerja untuk salah satu merek sepatu desainer Italia.

Sejak awal, Dena memang memiliki impian menjadi wirausaha. Saat mengambil kuliah S-1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, ia memilih Jurusan Komunikasi. “Saya sudah banyak belajar mengenai marketing communication,” ujar Dena yang sempat bekerja di sebuah agensi komunikasi pemasaran. Karena ingin fokus di bisnis, ia pun terbang ke Italia untuk mengambil program S-2. “Selesai kuliah bisnis, keinginan saya untuk membuka usaha semakin besar, apalagi saya sudah mendapat ilmu, pengalaman dan cukup modal. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk langsung membuka bisnis produk sepatu,” katanya.

Ide untuk produk sepatu high heels dengan struktur piramida yang menjadi keunikan Drama sejatinya sudah muncul pada 2013. Menurutnya, dari ide itu tercetus hingga produk siap diluncurkan butuh waktu 1,5 tahun. “Selama itu saya trial and error, mencari dan melakukan tes seperti bentuk kaki, bentuk sepatu, branding, logo, dan pengaturan manajemen lainnya sampai Juni lalu Drama diluncurkan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, Drama menggambarkan karakter perempuan yang cantik, seksi, elegan, tetapi berani. Selain itu, ia ingin setiap sepatu menggambarkan personal story pemakainya dan sesuai dengan karakter mereka. Karena itu, tidak cuma klasik dan feminin, tetapi juga punya karakter yang menarik. Sepatu ini memiliki keunikan pada bagian heels, yakni ada struktur piramida berwarna krom emas setinggi 11 cm. “Drama itu saya anggap bayi sehingga saya ingin benar-benar fokus mengurusnya,” katanya. Saat ini Drama ada di kategori produk sepatu wanita, khususnya heels, dengan menyasar target usia 15-40 tahun. Untuk jenis core, Drama menyasar usia 20-30 tahun.

Saat ini, Dena memilih memasarkan Drama melalui online di Zalora dan department store Galeries Lafayette untuk yang offline. Klien pertamanya adalah awak media. Setelah konferensi pers untuk session Spring/Summer ini, langsung ada beberapa dept. store yang ingin menjadi stockist. “Tetapi, saya masih belum menerima. Karena masih ada perbaikan di awal, selain karena memang Drama masih dibuat untuk eksklusivitas. Ada juga yang memberi masukan untuk membuat heels yang tidak terlalu tinggi untuk mereka, sehingga itu menjadi masukan untuk saya, agar session berikutnya bisa membuat heels yang ditujukan untuk perempuan yang sulit memakai heels 11 cm,” katanya menjelaskan.

Upaya penetrasi dan perluasan wilayah pemasaran masih sebatas memanfaatkan media sosial dan strategi getok tular. Dena tak ingin terlalu menggenjot penjualan sehingga produknya banyak tersebar di pasaran. Strategi yang dipilihnya adalah membuat produk limited edition. Sebut saja, Drama session Spring/Summer dikeluarkan dalam jumlah terbatas hanya 220 pasang. Adapun untuk session Fall/Winter pada Oktober mendatang akan diluncurkan kurang-lebih 400 pasang berbarengan dengan JFW. “Limited edition ini membuat pembeli penasaran seperti apa sepatu Drama yang akan dikeluarkan session kedua nanti,“ katanya. Ia menambahkan, untuk Drama session 1 Spring/Summer ia menggunakan kulit sapi asli. “Untuk session kedua saya ingin Drama menggunakan satin, leather printing, dll. Selain itu, dengan heels yang bisa customized,” imbuhnya.

Selama ini, tantangan yang menghadangnya lebih pada keterbatasan bahan-bahan yang dipakai. Di Indonesia, bahan sepatu yang baik tidak terlalu banyak. Tak pelak, ia harus order secara khusus ke luar, salah satunya ke China. Dengan modal puluhan juta rupiah, ia optimistis bisnisnya bisa bergulir. Targetnya, ingin membukukan penjualan mencapai 100% pada setiap session. “Karena itu, saya tidak membuat stok banyak. Saya juga terus melakukan brand awareness dan membangun image di konsumen bahwa sepatu yang comfort itu Drama,” imbuhnya. Sayang, Dena enggan membagi soal omset yang berhasil dihimpunnya sampai saat ini. “Session perdana penjualan belum ditutup, sehingga belum terekap benar datanya,” demikian dalihnya.

Dalam pandangan Dr. Wasiaturrahma Gafmi, pengamat bisnis dari Universitas Airlangga, Surabaya, bisnis sepatu saat ini justru persaingannya sangat ketat. Berbagai merek dan model sesuai dengan tren makin banyak. “Peluang yang harus dilihat adalah sesuai dengan pangsa pasarnya. Buatlah sesuai dengan kelasnya. Kalau memang mau menangkap pasar menengah- atas, tentunya produk yang dihasilkan harus berkualitas, nyaman dipakai dan harga disesuaikan dengan bahan bakunya,” ungkapnya.

Wasiaturrahma melihat strategi bisnis yang dijalankan Dena dengan membuat limited edition cukup bagus meski mengandung risiko. “Kemungkinan bisa cepat laku, dan juga bisa sebaliknya tidak ada peminat,” katanya. Menurutnya, yang paling bagus adalah membuat strategi yang berbeda dari produk dan merek lain. “Harus melihat peluang pasar yang ada. Buatlah sepatu yang nyaman dipakai dari semua model sepanjang waktu. Misalnya untuk ke kantor, pesta dan kasual yang tidak menyiksa kaki,” demikian sarannya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Tiffany Diahnisa


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved