Youngster Inc. StartUp zkumparan

Enam Sekawan dan Hotel Kapsulnya

hotel kapsul Bobobox

Ide bisnis Bobobox tak lepas dari kreasi enam pendirinya yang memang hobi traveling. “Kami berenam ini datang dari tempat berbeda dan bertemu di Bandung. Masing-masing punya kebiasaan unik ketika traveling. Tapi bagi kami, yang terpenting dalam traveling adalah experience. Nah, kami kembangkan experience itu di Bobobox. Salah satu dari kami memang pernah tidur di hotel kapsul sebelumnya,” kata Qois.

Timnya yakin bahwa hotel jenis ini akan laku setelah melakukan berbagai riset. Terlebih di kota-kota besar Jepang seperti Osaka, jenis hotel ini sudah lama populer, yaitu hotel yang menyediakan ruang-ruang kamar kecil dengan jumlah yang banyak dan dinamai hotel kapsul. Fakta pasar itulah yang melecut keberanian enam founder Bobobox: Frans Risky, Hafidz Syahrial, Ahmad Qois, Agung Mahesa, Brian Andrianto, dan Zulfikar Rifan.

Qois dkk. memilih lokasi hotel kapsul pertamanya di Jalan Pasir Kaliki, Bandung, karena dinilainya kota itu sudah punya ekosistem yang tepat. “Bobobox tidak banyak memfasilitasi terkait restoran, sarapan, dsb. Sedangkan Kota Bandung sudah memiliki banyak aspek tersebut, mulai kuliner hingga tempat budaya. Kami hanya perlu menghubungkan antara para traveler dengan local business di sana,” katanya.

Bobobox mencoba hadir dengan mengatasi beberapa masalah hotel kapsul seperti aspek keamanan, privasi, dan fobia ruangan sempit. Karena itu, pod di Bobobox dibuat berbentuk L, dan dari bentuk box itu bisa ada dua kamar, atas dan bawah. “Kebanyakan hotel kapsul maksimal untuk diisi satu orang. Dengan L shape ini, kami fasilitasi ruang tidur untuk maksimal dua orang dan satu anak kecil. Dari sisi keamanan dan privasi juga kami atur. Juga ada fasilitas mini desk untuk kerja,” Qois yang lulusan Jurusan Manajemen Komunikasi Universitas Islam Bandung ini menjelaskan.

Salah satu inovasi Bobobox: mengintegrasikannya dengan teknologi. Misalnya, untuk buka pintu, dipakai teknologi QR Code. “Kami kembangkan aplikasi yang memudahkan dalam hal pencarian pod, pembayaran, dan saat pelanggan sudah stay di Bobobox. Kami juga terapkan teknologi smart check in dan smart check out,” kata Qois. Misalnya, tamu sedang dalam perjalanan sampai lebih dari pukul dua siang. Ketika tamu sedang dalam perjalanan di kereta dan khawatir tidak boleh masuk atau takut kena charge, umumnya mereka mesti melakukan konfirmasi ke hotel. Dari aplikasi Bobobox yang sudah diunduh, pelanggan bisa melakukan semua itu online. Sehingga ketika tiba di hotel, hanya perlu melakukan validasi data dan langsung bisa masuk dan menggunakan pod. “Kami juga sedang mengembangkan teknologi layanan lain, misalnya ketika orang membuka pintu, nanti ada ada yang menyapa, dll.,” Qois menambahkan.

Bobobox menyasar pelanggan milenial. “Kami fokuskan pada smart traveler dan millenial,” katanya. Untuk pemasaran dan promosi, pihaknya mengandalkan keunikan konsep hotel yang akhirnya jadi viral. Pihaknya lebih mengandalkan promosi melalui digital marketing. Saat ini untuk weekdays tarif sewa Bobobox Rp 178 ribu untuk one amenities dan weekend Rp 223 ribu untuk one amenities. Setiap penambahan amenities dikenai charge Rp 25 ribu. Hotel dengan 35 karyawan ini pendapatan bulanannya rata-rata sekitar Rp 300 juta.

“Menginap di Bobobox itu seru. Waktu itu saya menyewa tipe Earth Room, pod yang kasurnya di bawah. Suasananya tenang dan cocok untuk backpacker. Sejauh ini fasilitas umumnya lengkap, yang kurang itu dispenser air yang bagi backpacker berguna untuk menghemat,” kata Dina Astria yang pernah menginap di Bobobox.

Melihat sambutan pasar yang bagus, Qois dkk. berencana membuka cabang di kota lain. “Ada sekitar 10 potentialplace yang sudah kami temukan. Kami juga sedang mengarah ke kerjasama franchise. Rencananya tahun ini kami akan membuka 10 cabang itu,” kata Qois. Untuk franchise, dana yang diperlukan Rp 1,1 miliar-3,4 miliar dengan return on investment (ROI) 3,5 tahun.

Meski berjalan lancar, bukan berarti bisnis Bobobox tak ada tantangan. Tantangannya, pihaknya kedatangan banyak tamu yang tidak biasa beristirahat di hotel kapsul sehingga mesti bisa sharing knowledge soal menginap di hotel kapsul, misalnya tidak boleh terlalu berisik, menghargai sesama traveler, mengenal satu sama lain, dan lebih membuat lebih banyak experience lewat komunikasi. Juga, bagaimana bisa mengarahkan mereka yang belum melek teknologi agar bisa melek teknologi. Sebab itu, kami target smart traveler dan milenial yang biasanya lebih melek teknologi,” kata Qois tandas. (*)

Sudarmadi & Nisrina Salma

Riset : Elsi Anismar


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved