Youngster Inc. StartUp zkumparan

Kegigihan Nick Yudha Membangun Antikode

Nick Yudha

Uniknya, latar belakang bisnis pria 30 tahun itu sendiri tak berhubungan dengan dunia teknologi informasi (TI). Sebelumnya, Nick mengembangkan bisnis clothing dan apparel dengan merek Monstore sejak 2008. Sekitar tujuh tahun lalu ia mencari seorang webdeveloper untuk situs web Monstore. “Ketika itu kami baru lulus kuliah dan belum banyak modal. Singkat cerita, web developer tersebut kabur. Itu menjadi pengalaman pahit bagi kami,” tutur Nick kepada SWA di kantornya di Jl. Jurang Mangu Barat, Bintaro Jaya Sektor VII, Tangerang Selatan, Banten.

Itu kedua kalinya ia tertipu di bidang serupa. Dua kali terjebloNick Yudha Membangun Antikodes pada lubang yang sama membuat Nick “nekat”. Ia memutuskan membuat sendiri bisnis pengembangan situs web yang dinamakan Antikode pada 2012. Saat itu ia belum menyentuh lini jasa UI/UX. Setelah berjalan, ia mengamati ada peluang cukup besar di ranah UI/UX. “Saya memang punya ketertarikan pada bidang desain sehingga akhirnya fokus di sana. Jadi, bad experience makes a good user experience designer,” Nick mengenang masa lalunya seraya tersenyum.

Jasa yang ditawarkan Antikode mencakup riset UI/UX, desain UI/UX, serta pengembangan produk akhir seperti situs web atau aplikasi mobile.

Riset UI/UX, menurut Nick, sangat penting karena berupaya memetakan kebutuhan konsumen. Langkah awal meriset UI/UX sangat krusial; banyak aplikasi atau situs web gagal memenuhi target lantaran tak mampu menangkap kebutuhan calon penggunanya dengan tepat. “Kami mencari tahu mengenai UX personal, melakukan review terhadap problems dan needs yang dihadapi user, dan memerlukan testing kepada user terhadap produknya karena kami perlu memvalidasi kebutuhan user,” papar Nick.

Setelah tervalidasi, Antikode mengembangkan desain UI/UX. Salah satu proses desain UI/UX adalah dengan membuat wireframe, yakni struktur dasar desain situs web atau aplikasi yang dilanjutkan dengan desain visual. Terakhir adalah proses pengembangan situs web dan aplikasi mobile sebagai produk akhir dari seluruh proses pengembangan UI/UX.

Nick memaparkan, salah satu tantangan saat merintis bisnisnya adalah ketiadaan jurusan di kampus Indonesia yang fokus pada bidang UI/UX. Alhasil, sulit mencari orang yang menguasai bidang itu. Terlebih, UI/UX merupakan bidang yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu. “Ada empat kompetensi dasar yang harus dimiliki pengembang UI/UX, yakni psikologi, bisnis, desain, dan TI. Jadi, untuk masuk bidang UI/UX, harus paham empat aspek itu.”

Psikologi dibutuhkan karena perancang UI/UX harus memiliki empati terhadap pengguna agar dapat memahami kebutuhannya. Pemahaman aspek bisnis pun mutlak dikuasai agar produk akhirnya –situs web, aplikasi, dan sebagainya– dapat mendulang laba. Lalu, bidang desain, yang merangkum sisi psikologi dan bisnis menjadi desain dalam bentuk visual, flow, dan interaksinya. “Semua pada akhirnya berurusan dengan hal teknis di bidang TI yang menciptakan produk jadi dalam bentuk website, mobile apps atau platform lain,” Nick menerangkan.

Belakangan, agar dapat memenuhi spesifikasi kemampuan tersebut, Antikode menerapkan knowledge management dalam sistem pengembangan SDM perusahaan yang disebut Antipedia untuk menentukan skill set apa saja yang dibutuhkan. “Lalu, kami tunjuk siapa yang menjadi penanggung jawab terhadap suatu skill yang kemudian kami bentuk kurikulum untuk dipelajari oleh karyawan Antikode,” kata Nick yang kini didukung 17 karyawan.

Tantangan yang tak kalah peliknya adalah memasarkan jasa Antikode. Menurut Nick, fokus utamanya adalah membangun kredibilitas. Karena itu, meski klien yang diraih awalnya dari perusahaan kecil dan menengah, tim Antikode tetap mengerjakan dengan sepenuh hati. Dengan strategi ini, perlahan Antikode mulai dikenal. Bahkan, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf memberikan referensi kepada teman-temannya untuk menggunakan jasa Antikode. “Awalnya, kami banyak word of mouth marketing. Namun sekarang, kami sudah mulai melakukan marketing dengan menjemput bola dengan menawarkan problem solving terhadap needs yang dibutuhkan user. Kesempatan tersebut akan lebih tinggi terhadap goals di suatu korporasi,” paparnya.

Adapun jasa Antikode yang paling laris adalah riset dan desain UI/UX. Ini lantaran penyedia jasa riset dan desain UI/UX masih langka, berbanding terbalik dengan jasa pengembangan situs web dan aplikasi. Karena itu, banyak klien Antikode setelah menggunakan layanan riset dan desain UI/UX memilih menggunakan developer situs web dan aplikasi langganannya. “Itu tidak masalah. Yang terpenting, Antikode sebagai konsultan UI/UX,” ujar Nick.

Fokus strategi itu berbuah manis. Antikode berhasil meraih klien dari perusahaan rintisan sampai korporasi. Sejumlah proyek riset dan desain UI/UX yang pernah dikerjakan antara lain Mandiri Online dan e-cash Bank Mandiri, BIIMA Mobile App milik Bekraf, situs web TCash Telkomsel, Go Mobile App milik CIMB Niaga, situs web Cork & Screw dari Union Group, situs web dan aplikasi Grup Ismaya, e-commerce Monstore, FIRA OS Polytron, e-Toll Mobile App, serta Indosat BRI.

Sebagian besar proyek Antikode berada di angka Rp 100 juta. “Kalau pengembangannya simpel, bisa di bawah angka tersebut. Tetapi jika rumit dan kompleks seperti proyek untuk perbankan, bisa mencapai miliaran rupiah,” kata Nick.

Ia melihat, peluang bisnis di sektor UI/UX masih sangat besar, terlebih dengan perubahan teknologi yang mengharuskan perusahaan go digital agar survive. “Kami akan memperkuat tim terlebih dahulu karena UI/UX akan terus berkembang. Ketika tim sudah berkembang lebih besar, kami bisa ekspansi ke luar kota atau luar negeri karena prospeknya sangat besar,” ungkapnya.

Reportase: Jeihan Kahfi Barlian


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved