GCG Companies

Bank Rakyat Indonesia, Esensi Utama GCG adalah Sustainable Growth

Sunarso, Direktur Utama BRI.

Pencapaian kinerja PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI) memang impresif. Pada kuartal III/2022, bank ini mencatat pertumbuhan laba 103,34% menjadi Rp 39,16 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/YoY) yang tercatat Rp 19,26 triliun.

Kenaikan laba bersih tersebut salah satunya ditopang oleh pendapatan bunga bank yang meningkat 9,20% (YoY), dari Rp 105,54 triliun menjadi Rp 115,25 triliun. Pendapatan bunga bersih BRI dalam kurun waktu tersebut mencapai Rp 96,51 triliun, naik 16,33% dari Rp 82,96 triliun.

Di tengah situasi ekonomi yang kurang menguntungkan akibat pandemi Covid-19, ditambah lagi krisis global sebagai dampak perang Rusia-Ukrania, BRI juga masih mencatat pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 3,71% (YoY) dari Rp 1.017,01 triliun menjadi Rp 1.054,72 triliun. Adapun pembiayaan syariah naik 22,93% (YoY) menjadi Rp 9,75 triliun (dari Rp 7,93 triliun).

Begitu juga dengan dana pihak ketiga (DPK), mengalami pertumbuhan 0,4% menjadi Rp 1.140,16 trililiun. Hal itu yang mendorong pertumbuhan aset BRI sebesar 4% menjadi Rp 1.684,6 triliun pada kuartal III/2022.

Direktur Kepatuhan BRI Achmad Solichin Lutfiyanto meyakini, BRI bisa tumbuh secara sustain karena menjadi perusahaan yang tangguh. Dan, ini berkat Good Corporate Governance (GCG) yang diterapkan bank BUMN ini secara konsisten.

“Jika berbicara tentang GCG, esensi yang pertama adalah soal sustainability. Sehingga, BRI membuat spirit tumbuh dan tangguh untuk mewujudkan GCG. Karena, kalau tumbuh tapi tidak tangguh, itu tidak akan sustain. Jika tidak sustain, pasti tidak governance. Jadi, sebenarnya kalau bicara GCG, menurut kami di BRI adalah sustain apa tidak,” kata Achmad.

Dari survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) 2022 yang dilakukan oleh The Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG) bekerja sama dengan SWA Media Group, BRI meraih skor 95,18. Pada aspek Struktur Tata Kelola, skor yang diraih 26,58; pada proses Tata Kelola 36,38 dan Hasil Tata Kelola 32,22. Berdasarkan angka tersebut, BRI mendapat predikat Most Trusted Company (Sangat Terpercaya).

Aspek keberlanjutan (sustainability) menjadi perhatian BRI. Karena itu, dalam menjalankan bisnis, menurut Sunarso, Direktur Utama BRI, bank ini menerapkan pendekatan ESG (environment, social, governance). Jadi, aspek governance memang sudah terkandung di dalam ESG.

Journey-nya, tahun 2015-2017, BRI menerbitkan strategi implementasi keberlanjutan, kebijakan kredit berkelanjutan untuk nasabah CPO (crude palm oil), yaitu harus memenuhi syarat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kemudian, bergabung dengan first movers pada perbankan berkelanjutan.

Tahun 2018-2019, BRI menerbitkan sustainability bond (US$ 500 juta), dilanjutkan dengan membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan pada periode 2019-2023. “Kami juga ditunjuk sebagai Ketua Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (KBI),” ungkap Sunarso.

Terkait dengan aspek environment, di tahun 2020 BRI melakukan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK). Kemudian, di tahun 2021, bank pelat merah ini mendirikan ekosistem ultra mikro, membentuk ESG Desk dan komite ESG, serta menjadi konstituen Indonesia ESG Leader Index (ESGL Index). Dan, di tahun 2022, kata Sunarso, BRI mendirikan divisi khusus ESG, mengembangkan strategi keberlanjutan BRI, bergabung dengan PCAF (Partnership for Carbon Accounting Financials).

Ke depan, Sunarso menegaskan, BRI akan memperkuat tata kelola ESG dalam Grup BRI dan melakukan perubahan iklim. Sebagai langkah awal perhitungan emisi, bank ini menerbitkan green bond senilai Rp 5 triliun. Selain itu, juga memiliki portofolio aset kredit hijau sebesar Rp 74,6 triliun. Penggunaan energi fosil di perusahaan juga turun 1,4% dan emisi karbon turun 97,4% yang disebabkan oleh perjalanan dinas karyawan.

Dari aspek sosial, ia menerangkan, portofolio kredit BRI bidang sosial (ultra mikro) mencapai Rp 582,4 triliun (per Juni 2022), 69% dari sustainability bond yang diterbitkan pada 2019 (US$ 500 juta) dan 30% dari green bond yang diterbitkan tahun 2022 (Rp 5 triliun) untuk proyek sosial.

Di bidang SDM, BRI juga memperhatikan komposisi gender; 42% dari total karyawannya adalah kaum perempuan, dan di level senior management 16%.

Di sisi governance, BRI mengikuti sustainability strategy dari ESG Committee. “Penilaian governance BRI dari ACGS (Asian Corporate Governance Score) angkanya 110,2 dan CGPI 95,1,” ungkap Sunarso. Selain itu, data privacy dan cyber security mengikuti Enterprise Data Management Division, Information Security & Governance Divion, Certified DA-SS dan ISO 27001:2013.

Dan, kini tantangan besar ada di depan mata, tak terkecuali bagi BRI. Untungnya, kondisi ekonomi tetap solid karena masih mampu tumbuh positif.

“Tantangan lebih berasal dari global atau eksternal. Global inflation yang tinggi kemudian direspons oleh bank-bank sentral dengan menaikkan suku bunga acuan, seperti FED (The Federal Reserve) rate yang terus naik,” kata Sunarso. Tantangan eksternal lain adalah krisis akibat perang Rusia dan Ukraina yang menganggu pasokan energi dan pangan dunia.

Menghadapi situasi tersebut, Sunarso menerangkan, BRI meresponsnya dengan tujuh strategi. Pertama, funding sustainability, yakni mengelola liquidity tidak berlebihan tapi juga tidak kekurangan. “Fokus kami ke CASA (current account saving account)–based transaction,” katanya.

Strategi kedua, fokus menjaga kualitas. Ketiga, membangun sufficient provision; keempat, melakukan selective growth; kelima, mengoptimalkan new source growth from Umi (Utra Micro) ecosystem; keenam, ESG (environment, social dan governance), dan ketujuh; excellence enablers.

“Fokus kami adalah membangun ketangguhan dalam kerangka governance. Kami bisa disebut tangguh karena dalam situasi apa pun bisa terus tumbuh atau sustainable growth” Sunarso mengungkapkan.

Untuk bisa seperti itu, ia menambahkan, syaratnya ada tiga. Pertama, memastikan bahwa BRI memiliki sumber pertumbuhan baru melalui pembentukan holding ultra mikro. Kedua, robust capital position; BRI memiliki permodalan yang kuat untuk mendukung pertumbuhan bisnis dan memberikan imbal hasil yang optimal bagi pemegang saham.

Dan, ketiga, melakukan manageable liquidity, artinya BRI secara konsisten menerapkan strategi “just right liquidity” untuk menjaga likuiditas pada level yang optimal dengan fokus pada efisiensi CASA dan COF (cost of fund), serta CASA based transcations.

Sunarso meyakini, bisnis ultra mikro akan menjadi sumber pertumbuhan baru BRI yang kuat dan berkelanjutan. Sebab, ada 45 juta nasabah ultra mikro yang membutuhkan tambahan pendanaan, tapi ternyata baru 15 jutaan yang baru disentuh oleh bank, pawn lending, group lending, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), dan fintech (financial technology). Sementara, yang dilayani oleh rentenir itu sekitar 5 juta. Jadi, ada 18 juta pelaku usaha mikro yang belum tertangani baik oleh lembaga keuangan formal maupun informal.

“Ini akan kami tampung di dalam satu holding ultra mikro dan sasar melalui tahapan; empower yang akan dilakukan oleh PNM (PT Permodalan Nasional Madani). Kemudian jika sudah layak secara ekonomi, mereka bisa punya pilihan ke Pegadaian atau BRI. Dan, tahap selanjutnya adalah upgrade, di mana mereka kami ikutkan berbagai inaugurasi agar bisa naik kelas,” Sunarso menjelaskan.

Menurutnya, dengan fokus pada segmen ultra mikro, benefit-nya, secara ekonomi, akan benar-benar memacu perekonomian. Kemudian, secara sosial, akan memperbaiki kehidupan mereka, dan secara bisnis orientasinya sustainable. (*)

Sri Niken Handayani dan M. Ubaidillah

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved