GCG Companies

Bank Syariah Indonesia: Berbekal Penguatan GCG dan Inisiatif Strategis Menuju Top 10 Bank Syariah Global

Hery Gunardi, Dirut Bank Syariah Indonesia

PT Bank Syariah Indonesia Tbk. memang nama baru di belantika industri perbankan nasional. Namun, dari sisi operasional, sejatinya bank ini bukanlah pemain baru, karena merupakan hasil merger sejumlah bank syariah yang merupakan anak usaha bank BUMN, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), BRI Syariah, dan BNI Syariah.

Hasil merger tiga bank tersebut secara resmi menyandang nama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BSI) pada Januari 2021. Dengan total aset yang tercatat (data per Desember 2020) sebesar Rp 240 triliun, bank syariah ini menempati urutan ke-7 secara nasional dari sisi nilai aset.

Meski secara resmi merupakan nama baru, praktik Good Corporate Governance (GCG) bukanlah barang baru bagi pimpinan/manajemen dan karyawan BSI. Karena itu, bank ini cukup percaya diri mengikuti ajang asesmen Corporate Governance Performance Index (CGPI) sejak 2021.

Sebagaimana entitas bisnis lainnya, bagi BSI ada sejumlah tantangan eksternal. Untuk menggambarkan tantangan pascapandemi di saat ini dan ke depan, Hery Gunardi, Direktur Utama BSI, membaginya dalam dua risiko ekonomi, yakni risiko global dan risiko domestik.

Dari sisi risiko global, ada kekhawatiran terhadap situasi inflasi tinggi dan ancaman resesi di sejumlah negara maju, kontraksi kebijakan moneter yang terlihat dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, tingginya harga komoditas, dan diperburuk oleh ketidakstabilan kondisi geopolitik, termasuk adanya Perang Rusia-Ukraina yang berdampak global.

Adapun dari sisi risiko domestik, tantangannya berupa masih berjalannya proses pemulihan di seluruh sektor, relaksasi mobilitas masyarakat, kenaikan suku bunga Bank Indonesia; kenaikan harga BBM; dan, yang juga harus diperhatikan, tahun 2023 merupakan tahun politik, menjelang pemilihan umum nasional.

Meskipun tahun mendatang diprediksi tidak cukup indah, Hery tampaknya masih cukup optimistis. “Menurut pengamat, ketika dunia mengalami resesi, Indonesia hanya akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, karena ada domestic demand yang besar,” katanya.

Dari sisi praktik GCG, boleh dibilang BSI juga sudah cukup maju dalam penerapannya. Menurut Tribuana Tunggadewi, Direktur Human Capital & Compliance BSI, dalam konteks Governance Structure, BSI menggunakan three lines model, yakni pada first line ada tanggung jawab dari sisi risk owner, kemudian pada second line ada praktik independent risk management, dan pada third line ada mekanisme independent assurance.

Tribuana menjelaskan, dari sisi pengawasan (oversight), bukan hanya ada Dewan Komisaris, tapi juga Dewan Pengawas Syariah (badan yang hanya dijumpai di bank-bank syariah). Dewan Komisaris dibantu oleh Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi & Nominasi, dan Komite Audit.

Adapun aspek kebijakan dan strategi GCG merupakan tanggung jawab Dewan Direksi, yang dibantu komite-komite, mencakup: Business Committee, Asset Liabilities Committee (ALCo), IT Steering Committee, Risk Management Committee, Policy & Procedure Committee, dan Human Capital Committee. Di tingkat unit/fungsi, ada mekanisme first line, second line, dan third line, untuk menjalankan pekerjaan identifikasi, pengukuran, mitigasi dan kontrol, serta audit internal.

“Kami menyebut layanan BSI Mobile sebagai Sahabat Finansial, Sosial, dan Spiritual.”

Hery Gunardi, Dirut Bank Syariah Indonesia

Menurut Tribuana, sesuai dengan hasil asesmen CGPI tahun lalu, BSI melakukan sejumlah perbaikan. Pada Governance Structure, BSI sudah mengubah struktur pemegang saham: sebelumnya tanpa seri, sedangkan sekarang ada saham Seri A Dwiwarna, yang punya hak istimewa. Kemudian, juga ada pembagian tugas pengawasan anggota Dewan Komisaris, yang disesuaikan dengan keahlian masing-masing.

Dari segi Governance Process, BSI sedang dalam proses sertifikasi ISO 22301 terkait dengan Business Continuity Management dan ISO 37301 terkait Sistem Manajemen Kepatuhan.

Khusus dari aspek teknologi informasi, menurut Achmad Syafii, Direktur TI BSI, pihaknya melakukan self-assessment untuk mengukur IT Maturity Level, dengan mengadopsi parameter COBIT 5. Hasil pengukuran menunjukkan nilai kematangan TI 3,3; dengan skor di tiap-tiap area tidak ada yang di bawah 3,0.

Dalam hal keamanan jaringan digital, BSI juga memiliki Security Operating Center, yang dioperasikan selama 24 jam. Sistem ini sudah dilengkapi dengan ISO 27001 (Sistem Manajemen Keamanan Informasi) dan sudah ada posisi Head yang mengawalnya.

Bicara kinerja, hingga kuartal III/2022 (per September 2022), sejumlah indikator penting menunjukkan pencapaian positif. Sebagaimana diungkapkan Hery, aset meningkat 11,53% year on year (YoY), dari Rp 251,05 triliun menjadi Rp 280 triliun; dana pihak ketiga naik 11,86% YoY menjadi Rp 245,18 triliun; pembiayaan naik 22,35% YoY menjadi Rp 199,82 triliun; dan yang terpenting laba bersih naik 42,00% YoY menjadi Rp 3,21 triliun.

Untuk periode yang sama, profitabilitas juga meningkat, ditandai angka ROE tumbuh 3,62% YoY menjadi 17,44% dari sebelumnya 13,82%. Yang juga menarik, cost of fund yang tahun lalu sebesar 2,10% turun menjadi 1,56%.

Dari sisi pembiayaan, secara keseluruhan pertumbuhannya sebesar 22,35% YoY. Yang mengalami pertumbuhan signifikan adalah pembiayaan Korporasi yang tumbuh 29,82% YoY, dan pembiayaan Mikro yang tumbuh 37,32% YoY. Adapun sektor Commercial dan SME (UMKM), menurut Hery, masih rebalancing.

Jika dibandingkan secara keseluruhan dengan industri perbankan nasional, kinerja BSI secara umum lebih baik. Sebagai contoh, dari segi pertumbuhan aset (asset growth), capaian BSI 12,46%, jauh dibandingkan industri yang sebesar 9,53%.

Dari segi pertumbuhan pembiayaan (loan growth), BSI tumbuh 18,55%, sedangkan industri 10,63%. Pertumbuhan dana pihak ketiga (TPF growth) BSI yang sebesar 13,07% juga jauh dibandingkan industri yang hanya 7,49%.

Indikator penting lainnya, ROE BSI yang sebesar 17,66% melampaui industri yang sebesar 13,60%. Dan, angka NPL BSI yang sebesar 2,78% lebih rendah dibandingkan NPL industri 2,86%.

Kalaupun ada yang masih kurang adalah rasio kecukupan modal (CAR) BSI yang relatif masih rendah, yakni 17,31% berbanding industri yang sebesar 24,66%. “Memang masih ada satu PR kami, yaitu CAR, yang masih di bawah industri,” Hery mengakui. “Kami akan melakukan right issue di akhir kuartal IV/2022, sehingga setelah itu mungkin CAR BSI akan berada di posisi 20-21%,” tambahnya.

Satu hal yang menarik, BSI sudah memiliki layanan mobile bernama BSI Mobile. “Kami menyebut layanan BSI Mobile sebagai Sahabat Finansial, Sosial, dan Spiritual,” ujar Hery. Jumlah user terdaftarnya hingga September 2022 mencapai 4,44 juta, dengan peningkatan sebesar 43% YoY. Adapun transaksi BSI melalui e-channel sudah sebesar 97%, dan telah melayani 392,49 juta transaksi.

Mengenai rencana bisnis ke depan, sebagaimana dituturkan Ade Cahyo Nugroho, Direktur Keuangan dan Strategi BSI, visi yang hendak dicapai di tahun 2025: bisa masuk dalam Top 10 bank syariah global dari sisi nilai kapitalisasi pasar. Menurut Ade, ada beragam parameternya. Di antaranya, dapat melayani lebih dari 40 juta nasabah.

Lalu, dari sisi aset, ingin masuk dalam Top 5 bank di Indonesia dengan nilai aset Rp 500 triliun. Dan, dari segi profitabilitas, ingin mencapai Top 5 bank paling profitabel, dengan ROE 18%-20%.

Ade mengungkapkan, hingga tahun 2025, ada tujuh inisiatif bisnis strategis BSI, yakni penataan jaringan distribusi, pengembangan digital banking, pengembangan Islamic ecosystem, pengembangan retail & consumer financing, pengembangan wholesale & transaction banking, pengembangan banking inorganic, dan pengembangan beyond banking. Inisiatif bisnis tersebut didukung oleh langkah-langkah pengembangan teknologi dan infrastruktur modern, SDM dan budaya, risk & sharia compliance, dan program sustainabiilty melalui agenda ESG.

Menurut Ade, keunggulan kompetitif BSI adalah memiliki Islamic ecosystem. Mulai dari ekosistem zakat, infak, sedekah dan wakaf, Halal value chain, haji dan umroh, hingga ekosistem sekolah Islam, pesantren, dan masjid. Dari data yang disodorkan BSI, tercatat potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun, potensi wakaf Rp 180 triliun, potensi volume bisnis umroh dan haji Rp 43 triliun per tahun, dan yang paling menarik: potensi Halal value chain diperkirakan Rp 4.375 triliun. (*)

Joko Sugiarsono & Yosa Maulana

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved