Corporate Transformation

Bluebird, Bertransformasi dengan Menerapkan 3M

Bluebird, Bertransformasi dengan Menerapkan 3M
Sigit Djokosoetono, Presiden Direktur Bluebird.
Sigit Djokosoetono, Presiden Direktur Bluebird.

Tahun 2020 merupakan tahun yang kelam bagi bisnis transportasi. Diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar alias lockdown di Indonesia akibat pandemi Covid-19 membuat mobilitas masyarakat terhambat. Akibatnya, pengguna jasa transportasi pun menurun drastis, yang berimbas pada merosotnya pendapatan.

Hal itu juga yang dialami PT Blue Bird Tbk., yang sepanjang tahun 2020 pendapatannya turun 49,43% dibandingkan tahun sebelumnya, dari Rp 4,04 triliun menjadi Rp 2,04 triliun. Dampak lanjutannya, perusahaan berkode BIRD di Bursa Efek Indonesia ini merugi Rp 161,35 miliar di tahun 2020, sedangkan pada 2019 masih menangguk untung Rp 314,56 miliar.

Sebenarnya, sejak 2018 Bluebird juga mengalami disrupsi di bisnisnya. Hadirnya jasa layanan taksi berbasis aplikasi/platform, seperti Uber, GoCar, dan GrabCar, ternyata mampu merebut hati konsumen, meski belakangan Uber tidak terdengar lagi kiprahnya. Disrupsi tersebut, menurut Sigit Djokosoetono, Presiden Direktur Bluebird, mendorong manajemen perusahaan ini melakukan tranformasi. Namun, “Disrupsi itu tidak ada artinya dibandingkan saat pandemi Covid-19, di mana banyak sekali perubahan yang terjadi,” ujarnya.

Transformasi yang dilakukan Bluebird kini mulai menunjukkan hasilnya. Pada semester I/2022, perusahaan yang didirikan pada 1970-an ini membukukan pendapatan Rp 1,54 triliun, naik 48,05% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021 (Rp 1,04 triliun). Sementara, laba bersihnya tercatat Rp 147,97 miliar, sedangkan di semester I/2021 masih merugi Rp 30,06 miliar.

Saat ini Bluebird memiliki 24.000 kendaraan, 20 ribu sopir, 540 outlet (pangkalan Bluebird yang ada di kantor, mal, dsb.), 48 pool, dan beroperasi di 16 kota. Tak hanya menjediakan jasa transportasi, perusahaan ini juga telah merambah bisnis lain. Layanannya kini meliputi Bluebird, Silverbird, Goldenbird, Bigbird, Bluebird Kirim (kurir), Bluebird Warehousing, Cititrans, dan Bluebird Careready (untuk melayani pelanggan yang sakit dan harus pergi ke rumah sakit).

“Bluebird Kirim adalah produk yang kami luncurkan akibat pandemi. Jadi, pandemi sebagai katalis untuk mempercepat proses Bluebird Kirim. Cititrans kami akuisisi tahun 2019 untuk layanan shuttle Jakarta-Bandung,” kata Sigit.

Lalu, seperti apa transformasi yang dijalankan Bluebird? Sigit bercerita, ada empat langkah yang menjadi pola kerja perusahaan ini dalam melakukan proses transformasi. Pertama, memperkuat fondasi (strengthen the foundation), yakni dengan mengedepankan safety, customer focus, dan honesty yang merupakan nilai-nilai dasar Bluebird.

Kedua, engage everybody, yang fokusnya adalah human connection. Sebagai wujud dari human connection, kata Sigit, manajemen Bluebird terus berupaya memperkuat layanan, reliabilitas, keselamatan, dan kesehatan dalam mengelola jasa transportasi.

Untuk itu, “Kami berkomitmen sebagai perusahaan taksi pertama yang memberlakukan vaksinasi booster, mendapatkan sertifikasi CHSE (cleanliness, healthy, safety, environment sustainability), dan menerapkan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19,” Sigit mengungkapkan.

Selain itu, saat pandemi Covid-19, Bluebird juga meluncurkan Goldenbird Special Care: jika ada pelanggannya yang positif dan tidak bisa mendapatkan kendaraan, perusahaan ini maju untuk melakukan pelayanan. Ada pula Bluebird Peduli-Sholarship, berupa beasiswa pendidikan bagi anak-anak drivers Bluebird yang berprestasi.

Juga ada Bluebird Peduli-Kartini Bluebird, dengan menyelenggarakan pelatihan menjahit, bedding, tata boga, dan make up bagi istri pengemudi Bluebird. Tujuannya, mendorong mereka untuk bisa berusaha sendiri, sehingga berkontribusi terhadap (pendapatan) keluarga.

Ketiga, deliver’s today promise dengan slogan citra “Setiap Kilometer Berarti”. Sigit menjelaskan, Bluebird telah mengembangkan sistem Mobility-as-a-Service (MaaS), dengan tiga pilar inti layanan, yaitu Multi-Channel, Multi-Payment, dan Multi-Product, yang disebut 3M.

“Sistem ini sebagai saluran digital bersama bagi pengguna. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan ekosistem layanan transportasi terintegrasi dan memperkuat posisi perseroan di industri transportasi di era digital saat ini,” kata Sigit.

“Apa pun channel-nya, apa pun cara bayarnya, Bluebird bisa menerimanya, sehingga kami bisa diakses dari banyak platform. Kalau dari sisi pembayaran, kompetitor mungkin hanya bisa melakukan pembayaran dengan mitra yang berafisiliasi. Sementara kami berafiliasi dengan semuanya. Karena, kami omnichannel dan menentukan posisi di tengah-tengah, dan kami bisa berintegrasi dengan banyak partner.”

Sigit Djokosoetono, Presiden Direktur PT Blue Bird Tbk.

Ia menambahkan, dengan pilar Multi-Channel, Bluebird dapat dipesan melalui call center, taxi stops, street hailing, dan melalui banyak aplikasi yang berbeda. “Aplikasi seluler kami juga tampil dengan nuansa baru,” ungkapnya.

Kemudian, Multi-Payment dihadirkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang saat ini cenderung lebih touchless, cashless, karena alasan kesehatan. Untuk itu, perusahaan ini menyediakan multipayment, baik cash maupun cashless, seperti LinkAja, ShopeePay, Dana, GoPay, kartu kredit, kartu debit, dan QRIS.

Sementara itu, pilar Multi-Product, lanjut Sigit, untuk merespons situasi pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat beralih ke belanja online dan mengirim barang melalui layanan logistik yang mengubah tren mobilitas di Indonesia. Bluebird pun meluncurkan Bluebird Kirim dan Bluebird Warehousing. Sementara, untuk pelanggan yang menginginkan transportasi yang aman dan pribadi saat dalam kondisi tidak fit atau melakukan keperluan medis, Bluebird menghadirkan Goldenbird Special Care.

“Ke depan kami akan tetap kembangkan 3M (3 Multi) ini sehingga bisa kami konektivitaskan dengan hal-hal lain. Misalnya, saat ini kami sudah terkoneksi dengan Traveloka, Shopee, BCA mobile, Gojek, KAI (Kereta Api Indonesia), MRT (Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu), LRT (Light Rail Transit atau Lintas Raya Terpadu) dll.,” Sigit menegaskan.

Keempat, build the future, together: “Transformation and Innovation”. Menurut Sigit, membangun masa depan tentunya tidak hanya dilakukan sendiri.

“Kami juga fokus terhadap digitalisasi dengan adanya engineer kami yang jumlahnya cukup banyak. Baik itu untuk corporate solution, sales & marketing support, logistik, partner integration, maupun bidang lainnya. Kemudian, sustainability vision kami yang terbagi dalam tiga pilar, yaitu BlueSky, BlueLife, dan BlueCorps di mana kami mengedepankan 50-30, yakni 50% carbon emission saving di tahun 2030,” papar Sigit.

Menurutnya, selama berdiri, Bluebird tidak pernah lepas dari fokus pelayanan. “Pelayanan itu turunannya banyak, dari sisi pengemudi, bagaimana cara order, dan pelayanan Bluebird secara keseluruhan,” ujarnya. Jadi, positioning Bluebird harus memberikan layanan yang lebih baik dibandingkan dengan kompetitor, baik dari pengemudi maupun produknya.

Itulah salah satu alasan mengapa Bluebird mengimplementasikan multichannel. Saat ini, ketika kompetitor tidak bisa diakses di platform lain, Bluebird fokus berada di tengahnya.

“Apa pun channel-nya, apa pun cara bayarnya, Bluebird bisa menerimanya, sehingga kami bisa diakses dari banyak platform. Kalau dari sisi pembayaran, kompetitor mungkin hanya bisa melakukan pembayaran dengan mitra yang berafisiliasi. Sementara kami berafiliasi dengan semuanya. Karena, kami omnichannel dan menentukan posisi di tengah-tengah, dan kami bisa berintegrasi dengan banyak partner,” Sigit menerangkan.

Sigit pun tetap optimistis menghadapi perusahaan taksi berbasis platform. Ia menilai, perusahaan transportasi ini salah satu strateginya adalah economies of scale. “Kami yakin bisa mendapatkan harga yang terbaik dibandingkan dengan yang lain,” ujar Sigit. Itu keunggulan yang pertama.

Yang kedua, network effect, yakni fokus terhadap aset. Layanan itu akan menjadi lebih baik karena Bluebird punya integrasi yang cukup banyak, dari layanan Bluebird, Silverbird, Goldenbird, hingga Cititrans. Sehingga, dengan satu aset kepemilikan yang sama, kontrol lebih mudah dan efisien daripada mereka harus bekerjasama dengan pihak-pihak lain.

Ketiga, dengan adanya 20 ribu kendaraan di jalanan, biaya program marketing Bluebird tidak perlu sampai ratusan miliar rupiah karena merek Bluebird dengan sendirinya terlihat. “Itu cost saving yang sangat besar yang bisa kami leverage,” ungkapnya.

Dan, Bluebird adalah perusahaan transportasi yang bisa distop di jalanan tanpa perlu aplikasi. Artinya, zero cost, hanya berdiri di jalanan dan bisa diakses. “Ini salah satu strategi omnichannel kami, baik dari sisi digital maupun nondigital. Ujungnya, pada saat pelayanan sudah menjadi top of mind, customer sendiri akan terdorong untuk meminta layanan Bluebird,” tutur Sigit. (*)

Kusnan M. Djawahir dan Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved