Companies

Dekoruma, Prioritaskan Program yang Paling Impactful

Dimas Harry Priawan, CEO & Co-Founder Dekoruma (kiri) & Aruna Harsa, Co-Founder & CTO Dekoruma (kanan).
Dimas Harry Priawan, CEO & Co-Founder Dekoruma (kiri) & Aruna Harsa, Co-Founder & CTO Dekoruma (kanan).

Dekoruma sudah beroperasi selama sekitar tujuh tahun. Di kala banyak perusahaan mengalami kesulitan ketika pandemi Covid-19 merebak sejak 2020, Dekoruma justru mengalami perkembangan bisnis yang signifikan. “Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan bisnis kami sangat cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Dimas Harry Priawan, CEO & Co-Founder Dekoruma. Menurut Dimas, pihaknya bisa survive di masa sulit, juga karena berinovasi.

Hingga saat ini, Dekoruma (www.dekoruma.com) punya tiga lini bisnis, yakni bisnis ritel (melalui e-commerce), desain interior, dan properti. Dari tiga ini, menurut Dimas, yang mengubah industri adalah jasa interiornya.

Dekoruma meluncurkan layanan desain interior pada 2018, ketika pemainnya relatif tidak banyak. “Kami adalah salah satu pemain yang bisa penetrasi ke mass market,” ujarnya. “Jadi, kami membuat jasa desain interior yang dulunya terkesan luks, menjadi kebutuhan masyarakat.”

Tentu, ada inovasi yang diterapkan Dekoruma pada layanan desain interior ini. Perusahaan ini mengembangkan platform teknologi yang disebut Thudio. Menurut rilis resmi Dekoruma, Thudio dihadirkan untuk menjadi semacam platform kolaborasi bagi semua pihak di industri desain interior dan arsitektur.

Dengan adanya Thudio, seorang desainer interior bisa mendesain rumah menggunakan barang-barang dari e-commerce atau marketplace, sehingga harganya jelas, ukurannya jelas, warna dan inventorinya juga jelas. Dengan demikian, kalau sudah ada desainnya, akan terlihat juga berapa harganya. Untuk penggantian barang juga bisa lebih cepat dilakukan. “Ini benar-benar game changing,” kata Dimas.

Seiring dengan itu, Dekoruma juga menyiapkan aneka sistem, seperti proses bisnis, cara kerja/standard operating procedures (SOP), dan tingkat layanan (service level agreement/SLA)-nya. Sistem seperti ini dikembangkan ketika masih banyak desainer atau kontraktor yang memberikan waktu pengerjaan dan tata cara kerja yang berbeda-beda.

Saat ini, menurut Dimas, makin banyak kompetitor yang menjadikan cara kerja Dekoruma sebagai acuan. “Ini hal yang membanggakan bagi Dekoruma,” ujarnya.

Setelah Thudio dirilis ke publik akhir tahun lalu, penggunanya sudah lebih dari 10 ribu, terdiri dari para desainer interior, arsitek, dan mahasiswa di bidang ini. Ia mengungkapkan, ketika dirilis, pihaknya tak punya anggaran promosi sama sekali, tapi jumlah user-nya tumbuh secara eksponensial.

Sebagai perusahaan yang masih muda, Dimas mengakui selama ini ide inovasi masih banyak dari dirinya atau Aruna Harsa, Co-Founder & CTO Dekoruma. Namun, menurutnya, inovasi itu bukan hanya berupa teknologi, seperti kehadiran aplikasi baru, tapi juga bisa berupa perubahan proses bisnis. Dalam hal industri yang ditekuni Dekoruma, inovasinya diarahkan agar bisa membantu mencari solusi dari masalah rantai pasok (supply chain) yang dialami pelanggan.

Seiring dengan waktu, sekarang sekitar 60% ide inovasi datang dari tim. Meskipun tidak ada tim R&D khusus, setiap departemen dan setiap karyawan harus berupaya untuk punya ide inovatif. “Inovasi di perusahaan kami itu lebih sebagai kultur, bukan tugas satu tim saja,” Dimas menekankan.

Sebagai contoh, suatu ketika tim Dekoruma melihat temperatur di Dekoruma Experience Center (DEC) lebih dingin dibandingkan tempat-tempat lain. Akhirnya, setelah menghitung jumlah unit AC per meter pesergi per orang, juga kondisi lantainya, ternyata jumlah AC di DEC bisa dikurangi hingga 30%, tapi temperaturnya tetap bisa membuat nyaman. Dari hasil perbaikan ini, biaya listrik bisa turun hingga 20%. “Terlihat simpel, tapi cost saving-nya banyak,” ujarnya.

Proses inovasi di lingkungan Dekoruma dimulai dari apa masalah dan tantangan yang dihadapi. Hal ini dibicarakan di forum open discussion, di mana antardepartemen berbagi ide. Lalu, 70%-80% dari hasil diskusi dirumuskan menjadi aksi (thingsto do). “Kami prioritaskan mana program yang mau dikerjakan dulu,” ujar Dimas.

“Inovasi di perusahaan kami itu lebih sebagai kultur, bukan tugas satu tim saja.”

Dimas Harry Priawan, Co-Founder & CEO Dekoruma

Untuk isu yang sulit, pihaknya tidak memaksakan untuk memperoleh solusinya segera. Pihaknya mencari dulu bagaimana detail permasalahannya. Ia mencontohkan, untuk menghadirkan Thudio hingga siap digunakan, pihaknya butuh waktu dua tahun.

Dimas mengakui, hal tersulit adalah mengetahui seberapa riil masalah yang datang itu. Apalagi, semakin besar perusahaan, noise-nya makin banyak. Karenanya, ia mengajak semua orang di Dekoruma untuk mampu berpikir kritis dalam melihat suatu masalah. Biasanya, dalam memutuskan suatu program pihaknya akan melihat pada angka-angka (numbers-driven), untuk melihat mana yang paling berdampak.

“Jadi, kami meminta tim untuk menilai secara kritis, mana yang paling impactful dan mana yang tidak,” katanya. “Ini hal yang paling sulit, dan sampai sekarang kami masih belajar.”

Hingga saat ini Dekoruma telah melayani lebih dari 1 juta pelanggan. Perusahaan startup ini bekerjasama dengan 500-600 mitra. Penjualan dari kanal online sejauh ini masih memberikan kontribusi terbesar. Kontribusi layanan desain interior juga sudah mulai mengimbangi kontribusi bisnis ritel.

Dekoruma tengah gencar berekspansi untuk menjangkau lebih banyak masyarakat, dengan mengembangkan jaringan gerai showroom Dekoruma Experience Center (DEC). Terakhir, perusahaan ini resmi membuka gerai ke-20 di Bali dan menjadi gerai DEC pertama di luar Pulau Jawa. Denpasar (Bali) merupakan kota ke-10 hadirnya gerai DEC setelah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Solo. Hingga akhir 2022, pihak Dekoruma menargetkan bisa memiliki 24 gerai DEC.

Gerai DEC rata-rata menawarkan lebih dari 600 pilihan produk furnitur, 1.000 aksesori, serta lebih dari 25 inspirasi ruang dengan ciri khas gaya Japandi (perpaduan gaya Japanese dan Scandinavian). Menurut Dimas, ciri khas gaya Japandi yang diusung Dekoruma menjadi keunggulan yang ditawarkan, karena digemari kalangan milenial.

Ia meyakini, teknologi rantai pasok yang dikembangkan Dekoruma bisa menjadi tulang punggung pengembangan di industri desain interior dan arsitektur ini. Ia berharap bisa bekerjasama dengan pemasok lokal, workshop lokal, bahkan tukang lokal, agar mereka bisa menggunakan platform Dekoruma tersebut. “Bisnis kami itu memang menggerakkan orang dan barang,” ujarnya.

Rencananya, menurut Dimas, Dekoruma akan agresif mengembangkan gerai toko ke banyak kota dan banyak pulau (multicity, multiisland). Sebagai contoh, untuk tahun depan (2023), Dekoruma sedang mempersiapkan ekspansi ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Ia melihat pasar yang digarap Dekoruma masih luas, seiring dengan investasi besar-besaran pemerintah ke bidang infrastruktur di berbagai daerah, sehingga bukan hanya Jakarta yang berkembang. “Kami ingin ada di sana, ketika kita benar-benar recovery,” ujarnya. (*)

Joko Sugiarsono & Vina Anggita

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved