Profile Leaders

Arief Yahya, Pemimpin itu Lead by Heart, Manage by Head

Arief Yahya, Pemimpin itu Lead by Heart, Manage by Head

Dua institusi besar pernah dipimpin oleh Arief Yahya, yakni PT Telkom Indonesia Tbk. dan Kementerian Pariwisata. Tantangan yang dihadapi, tentu saja, berbeda.

Ketika di Telkom, dia dihadapkan pada perubahan lanskap bisnis di industri telekomunikasi akibat perkembangan teknologi digital, sehingga BUMN ini harus melakukan transformasi organisasi. Di samping itu, kinerja saham Telkom di bursa juga kurang bagus, sehingga valuasi perusahaan ini lebih rendah dibandingkan perusahaan besar lainnya di Indonesia, seperti PT Astra International dan BCA.

Sementara, ketika di Kemenpar, Arief dihadapkan pada masalah masih rendahnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan perolehan devisa dari industri pariwisata. Kepemimpinan Arief di Telkom dan Kemenpar tersebut berujung happy ending karena prestasi Telkom dan Kemenpar layak diacungi jempol. Kini, Arief dipercaya menjadi Dirut PT Intermedia Capital Tbk.(induk usaha ANTV).

Memperkenalkan Leadership Architecture di Telkom

Saat menjadi Dirut PT Telkom Indonesia (2012-2014), tantangan yang dihadapi Arief adalah BUMN ini memasuki tahap transformasi organisasi new territory dengan tujuh Divisi Regional pada 1 Juli 2014. New territory (Divisi Regional 1-7) dibentuk sebagai lanjutan proses transformasi organisasi sebelumnya, serta melengkapi organisasi yang ada saat ini agar dapat berjalan lebih sempurna.

“Pembentukan new territory dilakukan berdasarkan strategi bisnis ‘speed’ dan ’cost leadership’, sehingga diharapkan dapat mempercepat operasi bisnis dan pelayanan kepada pelanggan dalam rangka mencapai target pertumbuhan yang optimal,” Arief menjelaskan.

Dalam rangka transformasi tersebut, dia memopulerkan gaya kepemimpinan yang disebut Leadership Architecture. Istilah ini digunakan karena kepemimpinan (leadership) memiliki dua sisi, yakni memimpin menggunakan hati (rasa) dan mengelola (manage) menggunakan rasio, sehingga seimbang antara rasa dan rasio.

Leader lebih ke mengelola people, sedangkan manajer lebih kepada mengelola bisnis atau organisasi. Jadi, satu orang terdiri dari dua, yakni sebagai leader dan manajer. Sebagai leader, dia mengelola orang, sedangkan sebagai manajer, dia mengelola pekerjaan.

Arief menjelaskan, kunci Leadership Architecture Telkom adalah “Lead by Heart, Manage by Head”. Leadership Architecture, menurutnya, merupakan leadership style pertama di Telkom, yang mengandung tiga unsur inti yang disebut sebagai 3P, yaitu philosophy to be the best, principle to be the star, dan practices to be the winner.

Dia menempatkan Leadership Philosophy di posisi pertama dalam konsep Leadership Architecture Telkom. Karena, sukses paripurna seorang pemimpin ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan harmoni antara heart dan head (2H), sekaligus membangun sinergi antara spirit dan strategy (2S).

Maka, “Saya menempatkan hal ini sebagai keyakinan dasar (basic belief) yang harus dimiliki setiap pemimpin. Untuk selanjutnya, pemimpin yang demikian saya sebut ‘pemimpin paripurna’,” kata Arief.

Leadership Philosophy to be the Best adalah komitmen yang harus selalu tertanam dalam diri seorang pemimpin. Sehingga, dalam melakukan tindakan apa pun, pemimpin akan terpacu untuk senantiasa menjadi yang terbaik. Karena menjadi landasan, philosophy bisa diibaratkan layaknya fondasi sebuah bangunan.

Pada level selanjutnya dalam Leadership Architecture Telkom adalah Leadership Principle. Arief menjadikan prinsip “Lead by the Heart, Manage by Head” sebagai nilai-­nilai inti (core values) yang berisi prinsip-prinsip dasar untuk menjadi pemimpin paripurna. Nilai-nilai inti ini merupakan panduan dasar yang membentuk pola pikir dan pola perilaku pemimpin di semua level organiasi.

Dia menjelaskan karakteristik kepemimpinan dan manajemen secara lebih detail. Kepemimpinan fokus pada menginspirasi orang-­orang yang dipimpinnya, sementara manajemen fokus pada mengalokasikan sumber daya. Kemudian, kepemimpinan fokus pada bagaimana berkomunikasi dan membangun hubungan dengan karyawan, sementara manajemen fokus pada mengembangkan sistem dan prosedur.

Karakteristik lainnya, kepemimpinan fokus pada bagaimana memotivasi karyawan, sementara manajemen lebih fokus pada bagaimana memecahkan ­masalah. “Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan kepemimpinan dan manajemen secara berimbang. Ia juga harus piawai menempatkan fungsi kepemimpinan dan fungsi manajemen secara pas sesuai kondisi kontekstual yang ia hadapi,” tutur Arief.

Ketika seorang pemimpin harus berhadapan dengan persoalan-persoalan yang terkait dengan orang, ia harus menggunakan pendekatan empati, kepercayaan, atau hubungan personal (pendekatan hati/emosional). Namun, ketika menghadapi persoalan pekerjaan, ia harus menggunakan pendekatan kesisteman, profesionalitas, objektivitas, atau efisiensi-­efektivitas (pendekatan pikiran/rasio).

Selanjutnya, kepemimpinan lebih berdimensi jangka panjang, sedangkan manajemen berdimensi kekinian dan jangka pendek. Mengapa? “Karena, tujuan kepemimpian adalah untuk menciptakan masa depan (future) organisasi yang lebih unggul dan lebih kompetitif. Sementara tujuan manajemen lebih pada merencanakan, mempertahankan, dan memperbaiki apa-­apa yang sudah ada (present),” ungkap lelaki kelahiran Banyuwangi, 2 Maret 1961, ini.

Karena itu, lanjut Arief, kepemimpinan membutuhkan imajinasi yang luar biasa, sementara manajemen membutuhkan rasionalitas, persistensi, dan ketaatan (compliance). Kepemimpinan lebih tepat dijalankan dengan pendekatan seni karena melibatkan emosi dan perasaan, sementara manajemen lebih tepat dijalankan dengan pendekatan sains karena melibatkan rasio dan objektivitas yang sangat disiplin.

Apakah kepemimpinan lebih penting dan lebih dibutuhkan dibandingkan manajemen? “Jawaban saya, tidak,” katanya tandas. Keduanya dibutuhkan oleh organisasi secara bersama-sama dan saling melengkapi.

Jika seseorang memiliki kepemimpinan yang hebat tapi kemampuan manajemennya kedodoran, aktivitas yang dijalankan akan kacau balau karena tidak terkelola dengan baik. Sebaliknya jika kepemimpinan seseorang lemah, tapi kemampuan manajemen yang dimiliki luar biasa, organisasi yang dipimpin akan terjebak dalam status quo, dan jalan di tempat karena tidak punya mimpi dan capaian besar.

Sementara itu, dalam Leadership Principles to be the Star, “Lead by Heart, Manage by Head” diterjemahkan menjadi perilaku (behavior) dalam bentuk praktik-praktik kepemimpinan untuk menjadi pemenang (leadership practices to be the winner). Leadership Practices to be the Winner secara umum dibagi menjadi dua kelompok besar.

Pertama, tiga praktik kepemimpinan: Mega Thinking, Leader as a Father, dan Energize People, yang merupakan terjemahan prinsip Lead by Heart. Kedua, tiga praktik kepemimpinan: Corporate-Level Strategy, Business-­Level Strategy, dan Functional-Level Strategy, yang merupakan terjemahan prinsip Manage by Head. Enam hal ini, menurut Arief, merupakan sebuah standar perilaku yang harus dipraktikkan oleh setiap pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinan sehari‐hari.

Dalam mempraktikkan Manage by Head, Arief mengacu pada kerangka proses manajemen dari John P. Kotter dalam bukunya Leading Change, yang menyebutkan bahwa proses manajemen terdiri dari tiga tahap, yaitu planning & budgeting, organizing & staffing, dan controlling & problem solving. Kemudian, proses manajemen disederhanakan kembali menjadi planning, organizing, dan controlling.

“Seperti dirumuskan oleh Kotter, hasil (outcome) dari proses manajemen adalah terciptanya keteraturan (order) dari proses yang telah ada,” katanya.

Di tahap planning, menurutnya, pemimpin tak cukup hanya merumuskan visi yang inspiratif, tapi juga harus bisa menerjemahkannya ke dalam perencanaan yang lebih konkret, sehingga bisa ditindak-­lanjuti oleh anak buahnya. Di tahap ini, pemimpin dituntut harus mampu merumuskan perencanaan yang akan menjadi panduan umum mengenai langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh anak buahnya.

“Perencanaan sekaligus menjadi panduan bagi mereka dalam mengalokasikan sumber daya yang tersedia. Dalam proses penyusunan perencanaan, sedini mungkin pemimpin harus melibatkan anak buahnya. Dengan demikian, mereka akan menjadi bagian dari perencanaan tersebut dan dengan demikian akan muncul rasa memiliki (ownership) yang tinggi. Dengan bermodal ownership yang tinggi, implementasi perencanaan tersebut akan berjalan lebih mulus dan efektif,” papar Arief, yang pernah menjabat sebagai Direktur Enterprise dan Wholesale Telkom ini.

Sementara itu, di tahap organizing, pemimpin harus memilih orang-­orang yang tepat, memberikan delegasi, menyiapkan sistem dan struktur organisasi, atau menyusun kebijakan-kebijakan pendukung untuk mengorganisasi dan mengoordinasikan seluruh aktivitas/pekerjaan yang diperlukan untuk mengimplementasi visi. Di tahap ini, pemimpin juga dituntut mampu menyelesaikan persoalan yang muncul di lapangan.

“Inilah tahapan di dalam proses manajemen yang berisi aktivitas­‐aktivitas konkret eksekusi yang paling menentukan keberhasilan pencapaian visi. Di tahapan inilah, si pemimpin benar-benar diuji untuk membuktikan apakah visi yang dirumuskannya memang realistis dan workable,” kata Arief.

Dari pengalamannya memimpin, ada dua faktor yang harus dilakukan untuk bisa sukses memimpin. Pertama, memilih orang-orang terbaik yang tepat menduduki posisi yang tersedia untuk mengelola aktivitas/pekerjaan yang dijalankan.

Kedua, memberdayakan (empower). Setelah memilih orang yang tepat, pemimpin harus memberikan cukup pemberdayaan sehingga tercipta partisipasi, inisiatif, dan kreativitas dari orang yang telah diberi mandat. Seorang pemimpin hanya memiliki dua tangan dan dua kaki, untuk bisa mengorganisasi dan mengoordinasi scope pekerjaan yang begitu besar, ia harus “meminjam” tangan dan kaki anak buahnya.

Dan, di tahap controlling, pemimpin melakukan kontrol dan evaluasi untuk memastikan bahwa apa yang direncanakan benar-­benar telah direalisasikan. Setelah merumuskan visi, pemimpin harus mampu menurunkannya ke dalam tujuan-­tujuan (strategic objectives) yang lebih kecil. Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, seorang pemimpin harus menetapkan key performance indicators (KPI) yang dipakai sebagai dasar untuk mengevaluasi keberhasilan implementasi visi.

Menurut Arief, satu hal yang diingat, pemimpin haruslah menjadi “penjaga” pencapaian visi dengan keras (tough), disiplin, dan tak kenal kompromi. Pertama-tama, pemimpin harus menetapkan standar pencapaian yang tinggi dan ambisius (highest standard of achievement), selanjutnya mendorong anak buahnya untuk me-leverage kapasitas mereka dengan dengan cara mengobarkan semangatnya, dan akhirnya pemimpin harus menjaga dan mengontrolnya agar memenuhi KPI yang sudah disepakati.

Arief menekankan sekali lagi bahwa pemimpin haruslah mengutamakan proses kepemimpinan ketimbang manajemen. Lead more, manage less. Sebagai pemimpin, kita tidak boleh terjebak dan terobsesi pada hal-­hal detail yang justru menyita waktu dan energi. Seperti kata Jack Welch, “Don’t micromanage… Don’t manage every detail.”

Tugas pemimpin, menurutnya, adalah melihat gambaran besar (big picture) yang merupakan isu strategis dan penting yang dihadapi organisasi. Jangan sampai banyak mengurusi hal tak penting, yang impact-nya kecil, dan justru mengesampingkan hal­‐hal yang penting dan strategis. “Jadi, elang harus lebih banyak terbang tinggi, ketimbang bermanuver ke bawah,” dia mengibaratkan.

Berdasarkan apa yang dia amati, rasakan, dan jalankan selama di Telkom, bagi Arief, kepemimpinan adalah harmony & synergy (H&S). Untuk menjadi yang terbaik, pemimpin harus bisa menciptakan harmoni dan sinergi dalam proses dan praktik kepemimpinannya. Pemimpin harus memiliki keseimbangan dalam melakukan olah rasa dan olah rasio. Di sisi lain, seorang pemimpin juga harus mampu menyinergikan spirit untuk memberikan yang terbaik dan strategi dalam mewujudkan visi organisasi.

Sukses seorang pemimpin paripurna ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan pendekatan emosional sebagai hasil dari olah rasa (bahkan olah roh) dan pendekatan rasional sebagai hasil dari oleh pikir (dan olah raga). Heart adalah soft aspect dari kepemimpinan, sementara head adalah hard aspect. “Karena itu, saya sering mengatakan bahwa seorang pemimpin harus membangun keseimbangan antara pendekatan seni (art) dan pendekatan keilmuan (science),” Arief menegaskan.

Menerapkan Shadow Management di Kemenpar

Ketika melakukan transformasi bisnis, industri, ataupun organisasi, Arief punya tiga opsi terkait SDM yang harus disiapkan untuk menjadi pelaku transformasi, yaitu: to build, to buy, dan to borrow. To build adalah membangun SDM yang kita miliki dari nol, dengan memberikan pelatihan kepada mereka untuk membentuk core character dan core competence yang dibutuhkan untuk menggulirkan transformasi.

“Namun, untuk membentuk competence, apalagi character, kita butuh waktu lama, bisa bertahun-tahun, sementara hasilnya dituntut cepat, deliverables-nya itu sekarang, bahkan kemarin. Jadi, to build bukanlah opsi yang baik, tapi tetap kami lakukan untuk tujuan jangka panjang,” Arief menjelaskan.

Kemudian, yang kedua, to buy, adalah mengganti seluruh manajemen dengan orang-orang mumpuni dari luar. Opsi ini bisa cepat menuai hasil, tapi memiliki kelemahan mendasar, karena jauh dari membina bawahan.

“Sebagai pemimpin, tugas paripurna saya adalah mengembangkan character dan competence setiap insan Kemenpar agar mereka bisa meneruskan organisasi ini mencapai sukses. Ingat, the ultimate task of a leader is creating other leaders. Karena itu, opsi ini pasti tidak saya ambil,” ungkap Arief.

Nah, opsi yang paling optimum, menurutnya, adalah to borrow. Maka, ketika dipercaya oleh Presiden Joko Widodo untuk menempati posisi sebagai Menteri Pariwisata (2014-2019) dan akan melakukan transformasi organisasi di Kementerian Pariwisata (Kemenpar), dia memanggil para ahli dari luar untuk membantunya mentransformasi organisasi. Mereka menjadi “shadow” orang-orang di Kemenpar.

“Kenapa opsi ini saya sebut optimum? Karena dengan opsi ini, to build-nya dapat, dan to buy-nya juga dapat. Di satu sisi, kami mendapat expertise dari orang-orang profesional terbaik dari luar. Di sisi lain, kami bisa bisa menggunakan mereka untuk membina orang-orang di dalam Kemenpar. Saya menyebut approach ini dengan istilah shadow management,” tutur Arief.

Sementara itu, untuk branding dan public relations, lanjutnya, Kemenpar meminjam para ahli dari konsultan terbaik dunia, yaitu Ogilvy. Mereka memiliki model dan framework yang sudah teruji puluhan tahun.

Namun, dia pun menyadari, pendekatan shadow management bukannya tidak memiliki kelemahan. Kelemahan yang umum terjadi adalah adanya resistensi yang datang dari dalam organisasi. Resistensi ini biasanya muncul dari orang-orang dalam yang merasa tersaingi, merasa ketidakmampuannya terlihat orang lain, merasa domain kepentingannya terusik, atau terbentuknya silo-silo dan politik kantor.

Maka, biasanya mereka berupaya keras menciptakan konflik dan mempersulit ruang gerak anggota shadow management agar program-program yang digulirkannya terhambat. Karena dijegal sana-sini, anggota shadow management merasa tidak comfortable, program mandek, dan ujung-ujungnya mereka mental ke luar. Ketika mereka mental keluar, amanlah posisi dan eksistensi si orang dalam tersebut.

“Saya tak mau resistensi ini terjadi di Kemenpar. Ironis sekali, mereka itu kita undang untuk membantu kita, lha kok justru kita hambat dan kita persulit. Saya tegaskan, rekan-rekan tak perlu takut tergantikan posisinya oleh orang-orang shadow management. Dalam bahasa yang jelas saya katakan, saya tak akan mengganti rekan-rekan di posisinya. Kalau saya punya niat untuk mengganti, pasti sudah saya ganti dari dulu-dulu,” Arief bercerita.

Ia menegaskan lagi, tujuannya mencangkokkan shadow management adalah to build, yaitu mengembangkan kemampuan orang-orang di Kemenpar. Jadi, kalau mereka open mind, tidak takut, dan fully support terhadap shadow management, pasti tidak diganti. “Tapi kalau mereka takut, sehingga tidak menerima shadow management, justru akan saya ganti,” ujarnya tandas.

Arief mengakui, resistensi di Kemenpar itu pun terjadi, tapi cepat berlalu. Hasilnya, pariwisata, yang sebelumnya bukan industri yang menguntungkan, bisa menjadi penghasil devisa terbesar di Indonesia. Dulu, penghasil devisa terbesar adalah migas.

Kemudian, country brand “Wonderful Indonesia” mengalahkan “Truly Asia” Malaysia dan “Amazing Thailand”. Di samping itu, Kemenpar merupakan kementerian terbaik di Asia Pasifik; setiap tahun menerima lebih dari 20 penghargaan dari berbagai lembaga terhormat di dunia.

Menurut Arief, hal pertama yang harus dipikirkan oleh seorang pemimpin adalah hal terakhir yang kelak diwariskan. “Saat dilantik menjadi Dirut Telkom, saya sudah berpikir bahwa saya akan diganti. Namun saya berpikir, apa yang akan saya wariskan ketika selesai menjadi Dirut Telkom. Kenyataannya, valuasi Telkom bisa mengalahkan BCA dan Astra International pada saat itu. Saya berhasil membawa Telkom mencapai valuasi Rp 300 triliun dari Rp 150 triliun dalam waktu dua tahun,” tuturnya. Sementara, ketika menjadi Menteri Pariwisata, dia berhasil membawa Kemenpar meraih devisa yang terbesar dan terbaik. (*)

Anastasia AS dan Kusnan M. Djawahir

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved