Best CEO

Leona A. Karnali, Memimpin Primaya Hospital dengan Cinta dan Kesungguhan

Leona A. Karnali, CEO Primaya Hospital.
Leona A. Karnali, CEO Primaya Hospital.

Meskipun berlatar belakang pendidikan Master of ScienceMechanical Engineering dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Amerika Serikat, Leona A. Karnali tak gentar ketika dipercaya menjadi CEO Primaya Hospital tahun 2016. Bahkan, ia langsung mendapat tugas menantang: mengantarkan Primaya Hospital bertransformasi mempersiapkan sistem yang mengikuti perkembangan zaman dan pertambahan rumah sakit.

Leona berpengalaman lama di bidang risk management yang sangat lekat dengan mengelola risiko, menghitung cash flow, dan memitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan atau pengelolaan sumber daya di perusahaan induknya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Tak mengherankan, ia cukup percaya diri untuk terus mengembangkan rumah sakit, tapi tetap memiliki financial reserve untuk menghadapi krisis.

Seperti diketahui, saat ini industri kesehatan dianggap yang paling resisten terhadap krisis. Industri kesehatan dinilai tahan banting terhadap resesi karena manusia akan selalu memerlukan industri ini meskipun krisis ekonomi dunia melanda.

Namun, bagi Leona, hal itu jangan sampai membuat jumawa. “Kami harus tetap siaga di 2023,” ujarnya tandas. Karena, saat krisis, besar kemungkinan orang akan mengurangi biaya pengobatan atau kesehatan. “Ini yang harus disadari,” lanjutnya.

Ia menganggap strategi efisiensi tetap menjadi pilihan terbaik. “Meskipun saat ini kinerja kami masih ada ruang untuk improvement dan baru saja melakukan IPO, kami tetap memberlakukan skala prioritas untuk pengeluaran kami,” ungkapnya.

Menurut Leona, tantangan yang paling krusial dalam proses transformasi ialah yang terkait dengan kesiapan SDM, yakni bagaimana leader mengelola SDM. Bagaimana leader tetap bisa dekat dengan karyawan, dokter, perawat, dan tim di lapangan. Ia punya cara khusus menghadapinya, yakni dengan menggunakan senjata cinta (love).

Pertama, Love Yourself. Seseorang harus mencintai dirinya sendiri sehingga menyadari kekuatan dan kelemahan masing-masing. Sebagai seorang leader, untuk dapat memimpin orang lain, harus bisa memimpin dirinya sendiri. “Bagaimana kita bisa berekspektasi orang lain mau mendengarkan kita, kalau kita sendiri tidak mendengarkan diri kita terlebih dahulu,” kata Leona. Menurutnya, masalah pribadi harus dibereskan terlebih dahulu, sebelum beranjak ke masalah-masalah lain di pekerjaan.

Kedua, Love What You Do. ”Kalau kita mencintai apa yang kita lakukan, kita akan happy,” begitu Leona memaknai. Meskipun tantangan yang dihadapi berat, jika dijalankan dengan senang dan tidak merasa tertekan, siapa pun akan bisa melakukannya all out. Mau gagal atau berhasil, kita bisa merasa puas.

Ketiga, Love Your People. Kebanyakan pemimpin mengharapkan bawahannya menghormati dirinya. Namun yang terpenting, seorang pemimpin harus bisa menghargai bawahannya. “If you don’t love your people, don’t expect people will love you,” ujarnya. Ia mengartikan love sebagai peduli. Seorang pemimpin, menurutnya, harus peduli dengan masalah yang dihadapi anak buah dan turun untuk ikut membantu.

Menurut perempuan cekatan ini, selain berlandaskan cinta, kepemimpinan juga harus dibangun dengan kesungguhan dan bekerjasama dengan tim. “Buat saya, pemimpin tidak harus selalu tampil di depan. Kesuksesan Primaya Hospital bukan hanya karena saya pribadi, namun atas kerjasama tim Primaya Hospital,” ia menegaskan.

Leona menunjukkan ketika masa pandemi, ia bersama seluruh tim Primaya Hospital berjibaku untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan yang terus berubah.

Pada saat itu, belum banyak rumah sakit yang mau menangani pasien Covid-19, karena belum tahu virus ini seperti apa, bagaimana cara mengobati pasien, dan seperti apa cara mengisolasinya. Mereka juga khawatir itu akan berdampak kepada pasien lain, karena belum ada studinya.

“Sepanjang pandemi, kami bekerja sambil belajar dengan cepat. Salah satunya, mendengarkan pengalaman rumah sakit di China. Kami cepat belajar dan bertindak, dan sebelum diminta, kami sudah siapkan diri,” katanya mengenang.

Dengan persiapan kurang dari sebulan, pihaknya berhasil membangun Laboratorium PCR di Primaya Hospital Bekasi Timur, yang berkapasitas 1.000 tes per hari. Juga membangun fever clinic dan perawatan isolasi untuk memastikan pemisahan pasien Covid dan non-Covid.

Fever clinik ini bentuknya seperti Instalasi Gawat Darurat (IGD). “Jadi, kami memiliki dua IGD dalam satu rumah sakit. Saat puncak pandemi Juli 2022, kami siapkan ruang perawatan untuk Covid lebih dari 50%. Sementara untuk vaksinasi, kami juga ditunjuk oleh pemerintah membantu, tidak hanya di kota-kota besar, melainkan juga di daerah seperti Kalimantan dan wilayah-wilayah pelosok,” Leona menerangkan. Ia bangga Indonesia menjadi salah satu negara terbaik dalam penangangan Covid-19 dibandingkan negara Asia Tenggara lain.

Selain tantangan pandemi, Primaya Hospital juga menghadapi perilaku konsumen yang berubah. “Mereka takut ke rumah sakit hingga akhirnya kami buat kampanye ‘Cepat ke Rumah Sakit Jangan Terlambat’, untuk mengingatkan masyarakat bahwa selain Covid, ada banyak penyakit lain yang mengancam,” kata Leona. Ia menunjuk penyakit seperti jantung, stroke, dan sakit tulang.

“Pandemi mendorong kami berinovasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” katanya. Salah satunya, telemedicine. Kebetulan, sebelum pandemi, Primaya Hospital sudah mulai membangun apps. “Sehingga, pada saat pandemi pengerjaannya kami percepat dan segera kami luncurkan. Apps tersebut diberi nama Linksehat,” katanya. Apps ini, lanjutnya, ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan untuk melakukan screening dan telemedicine selama pandemi Covid-19.

Selain itu, Primaya Hospital pun merevitalisasi lab yang disebut Westerindo, yang berdiri sejak 1996. Juga mengembangkan layanan homecare, yaitu Kavacare.

Dengan beragam aktivitas dan layanan yang terus dikembangkan, kini Primaya Hospital terus tumbuh menjadi 15 jaringan rumah sakit. Tujuan Primaya berorientasi pada visi, yakni menjadi jaringan pelayanan kesehatan/rumah sakit terkemuka yang berstandar internasional. “Kami ingin memberikan pelayanan profesional dengan penuh kepedulian,” Leona menandaskan.

Ke depan, ia bertekad akan terus membangun 2-3 rumah sakit per tahun. Indonesia masih membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Rasio tempat tidur dibandingkan 1.000 penduduk di negeri ini sebesar 1,4. Adapun di negara lain sudah mencapai lebih dari 2.

Yang membedakan Primaya Hospital dengan grup rumah sakit yang lain ialah pengembangan rumah sakitnya lebih banyak dilakukan sendiri. “Dari 15 rumah sakit, 11 kami bangun dari tanah. Kami juga terus meningkatkan mutu pelayanan, mulai dari kesiapan dan pengembangan SDM sampai sistem monitoring dan evaluasi,” katanya.

Tantangan lain yang mendesak, belum semua masyarakat Indonesia mengenal Primaya Hospital. “Brand Primaya masih perlu diperkuat,” ujarnya. Ia menyadari hal ini terjadi karena belum ada Primaya Hospital yang besar di Jakarta.

Lalu, bagaimana strategi meningkatkan brand awareness kepada masyarakat? “Cara yang kami tempuh, dengan membangun rumah sakit di Jakarta dan melakukan IPO,” katanya.

Dengan itu, ia optimistis, semakin banyak masyarakat yang mengenal Primaya Hospital. Selain itu, dengan memperkuat relasi dan kolaborasi dengan komunitas, asuransi, para dokter, dll. juga diharapkan dapat meningkatkan awareness Primaya.

“Kami akan bangun rumah sakit di Jakarta dalam 1-2 tahun lagi. Selain itu, Primaya juga akan membangun rumah sakit baru di Sumatera dan Makassar,” ungkap Leona. Targetnya, akan ada 17-18 rumah sakit sampai akhir 2023.

Bagaimana dengan prospek lab dan telemedicine? Walau pandemi sudah berlalu, bisnis lab, telemedicine, dan homecare diyakini tetap menjadi kebutuhan. Orang semakin sadar kesehatan dan semakin mencari kenyamanan. Pelayanan di rumah sakit semakin canggih dan berkembang, sementara pelayanan kesehatan di luar rumah sakit juga berkembang. Ke depan, keduanya akan terus bersinergi.

Digitalisasi bukan hal yang baru di Primaya Hospital. Hospital Information System yang di dalamnya terdapat rekam medis elektronik, sistem PACS untuk radiologi, Laboratorium Information System, dan e-prescription sudah berjalan selama 8-10 tahun.

Selain operasional rumah sakit, aktivitas HRD di Primaya Hospital, dari presensi hingga penilaian, telah dilakukan melalui sistem informasi yang paperless. Jadi, SDM-nya sudah terbiasa dengan digitalisasi. “Namun, kami tetap harus memperkuat mindset digitalisasi seluruh karyawan untuk memastikan proses berjalan cepat dan akurat,” katanya.

Digitalisasi yang benar, menurutnya, adalah digitalisasi yang memiliki purpose (tujuan), bukan hanya sekadar keren-kerenan. Harus ada alasan mengapa melakukan digitalisasi agar SDM mengerti mengapa mereka harus berubah. Pengenalan alasan tersebut juga menjadi salah satu strategi agar SDM mau berubah.

“Untungnya, 75% karyawan kami masih muda (di bawah 45 tahun). Pun mereka yang sudah di atas 45 tahun sudah agile karena budaya kami sudah begitu. Hampir tidak ada resistence to change karena sudah terbiasa dan mereka mau maju,” ungkap Leona. Budaya positive thinking yang ia tularkan, kolaborasi, kerjasama, keterbukaan untuk berkembang, dan keterbukaan terhadap perbedaan sangat membantu karyawan untuk berkembang dan menerima perubahan.

“Saya percaya digital tidak bisa berdiri sendiri, harus ada online dan offline. Apalagi, di dunia kesehatan, physical meeting tidak bisa tergantikan. Kebanyakan pasien masih lebih nyaman untuk bertemu langsung dengan dokter dan menjadi lebih yakin dengan pengobatannya,” Leona menegaskan.

“Tentu, digitalisasi membantu meningkatkan kenyamanan dan memecahkan berbagai masalah. Salah satunya, berkurangnya waktu tunggu melalui implementasi online appointment,” katanya. (*)

Dyah Hasto Palupi/Anastasia AS

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved