Leaders Profil Profesional

Jahja Setiaatmadja, Menekankan pada Collaboration, Trust, dan Empathy

Jahja Setiaatmadja, Menekankan pada Collaboration, Trust, dan Empathy
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA).

Memegang jabatan sebagai Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) selama lebih dari 10 tahun, tentulah banyak pengalaman menarik dari seorang Jahja Setiaatmadja. Terlebih, sebelum diangkat menjadi orang nomor satu di BCA pada pertengaan 2011, mantan Direktur Keuangan Kalbe Farma ini sudah menjadi direktur dan wakil presdir di bank ini.

Artinya, selama menjadi anggota Dewan Direksi BCA, ia telah memiliki banyak pengalaman bagaimana membawa bank ini melewati masa-masa sulit dan keluar dari berbagai krisis. Termasuk, krisis terbaru akibat pandemi Covid-19.

Jahja mengungkapkan, dalam menjalankan amanat menjadi seorang pemimpin, momen-momen krusial pasti terjadi. Namun, baginya, momen tersebut bukan menjadi penghalang untuk tetap berkarya.

Ia bercerita, salah satu momen krusial yang tidak bisa dilupakan adalah krisis keuangan pada 1997-1998. Saat itu suku bunga meroket 45%-60%. Tahun 1998 kurs dolar AS dari Rp 2.000 melesat menjadi Rp 14.000-16.000. “Krisis pada 1998 telah membawa pelajaran bagi seluruh pelaku pasar, baik masyarakat, perbankan, maupun eksportir,” ujarnya.

Jahja menjelaskan, pelajaran bagi masyarakat adalah ketika mereka panik dan banyak yang menarik dana hingga Dana Pihak Ketiga (DPK) bank terkuras. Dari fenomena itu, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 10 Tahun 1998 yang mengamanatkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Adapun pelajaran untuk perbankan adalah agar lebih berhati-hati setiap mengambil keputusan, agar manajemen risiko bisa terjaga saat krisis tiba-tiba datang.

Saat ini, momen menantang yang dihadapi adalah pandemi Covid-19. Mungkin tidak terbayang di benak kita sebelumnya, pandemi seperti ini bisa terjadi dan memengaruhi seluruh aktivitas global, sektoral, dan kultur. Ekonomi global dan nasional serentak melambat dan semua kinerja terkoreksi, dari target sebelumnya yang optimistis.

Bagi industri perbankan, Jahja menambahkan, pandemi adalah sebuah situasi dilematis. Di satu sisi, perbankan adalah sektor vital yang harus terus berjalan untuk memastikan roda perekonomian nasional tetap berjalan. Di sisi lain, ruang gerak untuk memberikan layanan yang optimal dibatasi protokol kesehatan yang juga harus ditaati.

Dalam situasi orang belum bersiap untuk menghadapi kebiasaan baru, kata Jahja, perbankan harus berada di garda depan untuk tetap melayani kebutuhan keuangan masyarakat. “Kami harus memastikan kedua hal krusial tersebut harus dilakukan sesuai prosedur, ketentuan, dan dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,” kata kelahiran 14 September 1955 ini. Hal ini tentu saja menjadi fokus dirinya untuk memutuskan kebijakan yang tepat, yang dapat diambil dan dijalankan dengan risiko seminimal mungkin untuk memberikan layanan seoptimal mungkin.

Pandemi Covid-19, menurut Jahja, sebaiknya juga dilihat dari sisi positif. Kesulitan dan kesusahan boleh ada, tetapi kita harus survive dan revive. Pandemi ini menjadi peluang bagi perbankan untuk percepatan adopsi transaksi berbasis digital karena kini semakin banyak nasabah yang membutuhkan platform digital. Juga, mendorong dan mengubah banyak hal, seperti kultur kerja, kebiasaan, dan gaya hidup.

“Pelajaran pertama yang dipetik, tentu saja, berkaitan dengan adaptasi terhadap kebiasaan baru, yang cenderung memanfaatkan kemajuan digital, secara virtual. Di sisi lain, krisis selalu sejalan dengan temuan-temuan baru, melalui pembelajaran yang kaya dari pengalaman-pengalaman di lapangan. Ini memberikan wawasan baru sebagai landasan untuk melangkah dan mengatasi berbagai tantangan,” eksekutif yang pernah berkarier di PriceWaterhouse ini menjelaskan.

Ketika BCA menghadapi masa-masa krusial dan berada dalam situasi ketidakpastian, langkah pertama yang diambil Jahja adalah mengenal situasi yang sedang terjadi, termasuk dampak yang bisa terjadi di industri perbankan dan terhadap perusahaan. Sejalan dengan itu, dilakukan penyamaan persepsi untuk semua level agar ritme kerja korporasi dapat merespons dengan persepsi yang sama terhadap tantangan tersebut.

Setelah mendapat pemetaan dari tantangan ini dan persepsi telah sama, langkah berikutnya adalah menetapkan skenario, yaitu serangkaian paket kebijakan yang harus dijalankan untuk semua level. “Prinsip saya dalam memimpin adalah seperti seorang dirigen yang memimpin orkestra. Kita harus tahu nada apa yang harus timbul dari setiap macam instrumen, meskipun kita tidak perlu mahir memainkan instrumen tersebut,” ungkapnya.

Yang juga penting, kata Jahja, harus mengetahui siapa kira-kira yang akan mendengarkan dan melihat permainan orkestra kita. Lalu, ketika terjadi nada-nada sumbang, kita harus mengetahui di mana terjadinya nada sumbang itu.

“Kita perlu memberikan corrective action, meminta pemain musik yang bersangkutan memeriksa apakah masalahnya terletak pada instrumennya atau pada dirinya. Dengan sikap seperti itu, kita dapat memimpin dengan baik. Selama saya memimpin, saya berupaya menerapkan konsep servant leadership yang menekankan pada collaboration, trust, dan empathy,” ia menerangkan.

Penekanan utama adalah mengembangkan orang sebagai individu yang lebih manusiawi, bukan pada kekuasaan dan posisi diri sendiri. Sebagai pemimpin, Jahja pun mengaku perlu meminta masukan dari bawahan, dan itu semua harus sama-sama diolah, untuk menjadi satu keputusan. Dan, kalau sudah diputuskan, sebagai pemimpin harus berani bertanggung jawab. (*)

Sri Niken Handayani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved