Public Leaders Profil Profesional

Agus Martowardojo, Terbiasa Membereskan Masalah Besar

Agus Martowardojo, Terbiasa Membereskan Masalah Besar

Agus Martowardojo boleh dibilang sosok eksekutif “langganan” posisi CEO. Dalam puluhan tahun karier profesionalnya di bidang perbankan dan keuangan, sejumlah posisi top leader penting pernah didudukinya.

Agus Martowardojo Komisaris Utama Bank BNI dan Tokopedia.

Rentang jabatannya sangat komplet, baik sebagai eksekutif bisnis (bankir) maupun birokrat top. Mulai dari jabatan CEO/Presdir Bank Bumiputera (1995-1998), Dirut Bank Ekspor Impor Indonesia/Bank Exim (1998-1999), Dirut Bank Permata (2002-2005), Dirut Bank Mandiri (2005-2010), hingga Menteri Keuangan RI (2010-2013) dan Gubernur Bank Indonesia/BI (2013-2018). Dengan kata lain, Agus telah berkali-kali menjadi orang yang dipercaya oleh para stakeholder utama di sejumlah lembaga itu —baik itu pemegang saham utama, pemerintah/presiden, maupun DPR— untuk mengemban jabatan-jabatan penting tersebut.

Di balik beragam jabatan mentereng tersebut, tentu ada beban dan tanggung jawab besar yang harus diemban lelaki kelahiran Amsterdam, 24 Januari 1956 itu.

Agus menceritakan pengalaman tak terlupakannya ketika berkarier di Bank Mandiri, bank hasil merger empat bank pemerintah dengan suntikan dana Rp 174 triliun. Ia masuk ke bank ini pada tahun 1998 (ketika krisis moneter) sebagai salah seorang direktur, karena posisi sebelumnya sebagai Dirut Bank Exim.

Ketika pemerintahan berganti, Dirut Bank Mandiri kala itu, Robby Djohan, ikut diganti. Menurut Agus, karena pergantian ini, komitmen untuk membangun bank yang sehat dan berdaya saing tinggi jadi melemah. “Saya di jajaran direksi Bank Mandiri merasa pengelolaan bank tidak mengikuti prinsip kehati-hatian,” ungkapnya.

Agus melihat kondisi Bank Mandiri saat itu makin mengkhawatirkan. Ia mengaku berusaha mempertahankan reputasinya, tetapi ada praktik-praktik perbankan yang tidak baik, yang membuatnya mengalami pergulatan batin yang besar. “Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk mengundurkan dari dari Bank Mandiri di tahun 2002,” ujarnya.

Selepas undur diri dari jabatan direktur di Bank Mandiri, pada 2002 itu Agus justru dipercaya menjadi Dirut Bank Permata. Di sana ia menghadapi tantangan: mesti menggabungkan lima bank menjadi Bank Permata dalam waktu cukup singkat. Belum lagi, salah satu bank yang dimerger, yakni Bank Bali, sedang mengalami kasus Cessie. Di luar itu, juga ada masalah berupa kredit bermasalah (non performing loan) yang sangat inggi, 25%, dan laba bank ini yang minus Rp 800 miliar.

Menurut Agus, berkat penerapan visi dan strategi yang kuat, perbaikan bisa dilakukan dalam dua tahun. Di tahun 2002 Bank Permata masih rugi, dan pada 2004 sudah bisa mencatat laba. Kredit bermasalah pun turun dari sebelumnya 25% menjadi di bawah 5%.

“Kalau kita mengelola institusi dengan visi dan strategi yang baik, juga penuh komitmen, kita bisa mendorong organisasi itu tumbuh secara sehat dan berkelanjutan,” katanya.

Pada 2005, Agus yang sudah menunjukkan prestasi luar biasa dalam memimpin Bank Permata, ditarik Menteri BUMN Soegiharto untuk kembali ke Bank Mandiri, dengan posisi sebagai dirut. “Waktu itu sebetulnya saya kurang berminat, karena sedang menjalankan komitmen sebagai Dirut Bank Permata,” ungkapnya. Namun, Menteri Soegiharto menyebutkan bahwa permintaan ini dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tak bisa lagi menolak, Agus resmi bergabung dengan Bank Mandiri sebagai dirut pada Mei 2005. Pada saat bersamaan, ada tiga direktur Bank Mandiri yang sedang dalam proses hukum dan kemudian diputuskan masuk penjara. Dari sini, ia semakin yakin ketika mengundurkan diri di tahun 2002 pengelolaan Bank Mandiri memang tidak prudent.

Di tahun 2005 itu, kondisi Bank Mandiri memang sedang bermasalah. Kredit bermasalahnya menggunung, hingga mencapai 27%. Keuntungannya juga terpangkas tajam, hingga tinggal ratusan miliar saja.

Untuk menangani kredit bermasalah itu, Agus dan timnya berupaya bernegosiasi dengan para debitur. Sayangnya, para debitur ini tidak kooperatif. Lalu, ia mengambil keputusan tidak biasa: mengumumkan kepada publik daftar debitur kakap bermasalah ini. “Kalau tidak terbuka seperti ini, nasabah (debitur) tidak akan kooperatif dan permasalahan tidak akan selesai,” kata Agus beralasan.

Dampak setelah menerapkan asas keterbukaan ini, langkah perbaikan kredit akhirnya bisa berjalan. Saat itu, manajemen Bank Mandiri juga melapor ke BI, Presiden, dan DPR untuk menceritakan kondisi bank berkode BMRI di bursa ini.

Tantangan lainnya, saat itu banyak petugas kejaksaan yang bolak-balik datang untuk memeriksa para pejabat Bank Mandiri. Situasi ini membuat staf/karyawan galau. “Saya besarkan hati mereka, ’Kalau kalian tidak salah, tidak usah ragu, cukup jelaskan dengan baik dan transparan’,” demikian cerita Agus.

Untuk memulihkan kondisi Bank Mandiri, menurut Agus, pada dasarnya pihaknya melakukan program transformasi. Maka, ia dan timnya menyusun program transformasi dan berupaya mengimplementasikannya dengan baik. Hasilnya, dalam kurun waktu 2-3 tahun kredit bermasalah Bank Mandiri saat itu turun menjadi di bawah 5%. ”Pelajaran dari langkah transformasi ini, bahwa kita harus memiliki sense of crisis and sense of urgency,” katanya tandas.

Pada saat RUPS Bank Mandiri pada 2010, sebenarnya Agus mendapat mandat untuk tetap memimpin bank ini. Namun, ia menerima telepon dari Presiden SBY, diminta untuk menjadi Menteri Keuangan, menggantikan Sri Mulyani yang diangkat sebagai pemimpin di World Bank.

Tantangannya kala itu adanya tekanan cukup berat ke organisasi, lantaran Sri Mulyani dikabarkan terkait kasus Bank Century dan adanya kasus permainan pajak oleh

oknum pegawai Ditjen Pajak bernama Gayus Tambunan. “Lagi-lagi saya harus meyakinkan para pegawai tentang sense of urgency menghadapi krisis,” ujar Agus. Selanjutnya, ia berupaya mengonsolidasi para dirjen yang waktu itu terkesan bekerja sendiri-sendiri dan kurang bekerjasama.

Agus juga lagi-lagi mengambil langkah tak biasa, dengan mengundang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memberikan informasi tentang siapa oknum di Ditjen Pajak yang punya transaksi keuangan mencurigakan. Nyatanya, PPATK menemukan lebih dari 90 laporan bermasalah.

Agus pun meminta laporan itu untuk diaudit. Dari sini terbukti ada sekitar 200 pegawai yang tersangkut, yang separuhnya kemudian diberhentikan. Kemenkeu kemudian bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperbaiki praktik-praktik yang salah di Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.

Di tahun 2013, Agus diusulkan oleh Presiden SBY untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia/BI, dan akhirnya disetujui DPR. Pada saat di BI itu, ada sejumlah tantangan yang dihadapinya. Salah satunya yang mencolok adalah dipindahkannya fungsi pengawasan perbankan yang selama ini dijalankan BI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Hal itu membuat karyawan BI resah. Karenanya, Agus merasa dirinya harus bisa mentransformasi BI supaya peran BI tidak menjadi kecil, karena kehilangan salah satu fungsi utamanya (yakni pengawasan perbankan).

Maka, Agus sebagai Gubernur BI bersama jajaran Dewan Gubernur membuat visi dan konsep baru BI sesuai dengan global practice. Di antaranya, menyusun kebijakan moneter yang baik serta membangun fungsi yang selama ini tidak cukup diperhatikan, yakni kebijakan makroprudensial.

Boleh dikatakan, ketika ditugaskan memimpin suatu institusi/lembaga besar, Agus seperti diberi misi penting untuk membereskan suatu masalah besar. Ia menyimpulkan, modal pentingnya adalah mengetahui apa kekuatan dan kelemahan institusi, apa visinya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai visi itu, disertai dengan integritas yang kuat.

Dalam pandangan Agus, integritas tidak bisa ditawar. “Integritas tidak bisa dicapai oleh slogan, tetapi harus dicontohkan oleh pemimpin tertinggi,” ujar pria yang kini masih menjabat sebagai Komisaris Utama BNI dan Tokopedia ini. (*)

Joko Sugiarsono & Andi Hana M. Elmirasari

“Integritas tidak bisa dicapai oleh slogan, tetapi harus dicontohkan oleh pemimpin tertinggi.”

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved