Leaders

Ria Sarwono dan Carline Darjanto, Jalin Komunikasi Terbuka, Tingkatkan Produktivitas

Ria Sarwono dan Carline Darjanto, founder Cotton Ink.
Ria Sarwono dan Carline Darjanto, founder Cotton Ink.

Cotton Ink yang didirikan Ria Sarwono dan Carline Darjanto tak bisa terhindar dari dampak pandemi Covid-19. Omzet penjualan Cotton Link menyusut drastis di tahun lalu. “Sebagian besar toko kami yang ada di mal tutup, sehingga revenue kami hilang dari kanal konvesional. Untungnya, kami sejak berdiri berjualan di online sehingga bisnis kami masih bisa bertahan karena penjualan di kanal digital masih ada,” ungkap Ria.

Duo pengusaha wanita ini mendirikan bisnis pakaian bernama Cotton Ink di tahun 2008. Awalnya, mereka berjualan di Facebook. Konsumen Cotton Ink adalah perempuan berusia 21-30 tahun yang berdomisili di perkotaan. Harga produknya, mulai dari Rp 49 ribu untuk aksesori hingga Rp 999 ribu untuk busana dari kolaborasi atau koleksi tertentu, tetapi harga rata-rata baju yang ditawarkan sekitar Rp 279 ribu per potong. Sebelum pandemi, Cotton Ink memasarkan produknya di website dan toko yang tersebar di beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta dan pop-up store di kota-kota lain.

Carline mengamati, pengelola bisnis fashion sudah memberikan potongan harga dan promo yang menarik selama pandemi. Taktik ini, menurutnya, dilakukan agar arus kas produsen fashion tetap stabil.

Agar arus kas tidak menciut, Ria dan Carline juga menegosiasikan biaya sewa toko dengan pengelola pusat perbelanjaan dan menyesuaikan biaya operasional. Langkah berikutnya, duet pengusaha muda ini mengubah strategi pemasaran dan penjualan untuk menyesuaikan dengan ritme bekerja dari rumah (work from home/WFH) dari sebelumnya bekerja di kantor Cotton Ink.

Tatkala pandemi menghantam dunia bisnis, perilaku konsumen bergeser dari sebelumnya berbelanja di gerai konvensional ke toko dalam jaringan (daring). Hal ini direspons Ria dan Carline dengan menggenjot penjualan di toko daring di awal mewabahnya Covid-19, Maret 2020.

“Hasilnya memang bisa meningkatkan sales. Tetapi, tidak sepadan dengan hasil dari 4-5 toko offline yang kami punya dan harus tutup karena pemberlakuan PSBB (pembatasan sosial berskala besar),” imbuh Carline.

Tantangan lainnya, Ria dan Carline kudu memompa motivasi pegawai. “Kami sebagai leader harus mencari solusi untuk keseluruhan perusahaan. Tantangan WFH lainnya, sebagian besar karyawan kami perempuan, mereka di rumah juga banyak pekerjaannya. Contohnya, saya mengurus anak-anak untuk sekolah online. Sebagai pemimpin, kita harus memompa semangat tim untuk saling bekerjasama menghadapi situasi ini,” tutur Ria.

Cotton Ink menggenjot produktivitas dan merilis varian koleksi pakaian dan label brand terbaru, yakni GIL, pada September 2020, demi menjaga loyalitas konsumen. Label jenama ini melengkapi label Syaline Hijab yang diluncurkan pada 2018. Dua label brand ini membidik konsumen yang meminati baju dengan kualitas bagus dan setara dengan brand Cotton Ink, tetapi harganya tak menguras isi dompet. Peluncuran label brand ini merupakan jurus untuk diversifikasi produk dan segmen konsumen.

Kesuksesan menambah label brand itu merupakan bagian dari keberhasilan mereka menjalin komunikasi dengan karyawan. Mereka rutin menjabarkan kondisi bisnis agar saling memahami.

”Challenge yang paling utama adalah komunikasi. Ketika karyawan tidak mendapatkan komunikasi yang cukup dengan atasannya, itulah yang akhirnya melahirkan trust issue. Sehingga, semua hal kami bicarakan dengan jujur. Kami bilang ke karyawan bahwa kami tidak punya funding atau investment, semua harus dilakukan sendiri dan harus lebih aware dengan cash flow,” tutur Carline yang lahir pada 25 Mei 1987. Pemangkasan biaya operasional dan biaya tunjangan pegawai, misalnya uang transportasi, dikomunikasikan secara terbuka oleh mereka dengan para pegawai.

Ria dan Carline memetik pengalaman berharga dari dampak negatif wabah virus corona terhadap laju bisnis Cotton Ink. Carline menyebutkan, pandemi ini memberikan pelajaran mengenai menjaga bisnis yang berkesinambungan dengan target bisnis yang sewajarnya. Ria menambahkan, pandemi Covid-19 ini merupakan momentum untuk meningkatkan kreativitas.

Rasa cemas terpapar virus corona memang sempat terlintas di benak mereka. Namun, mereka mengalihkan kecemasan ini untuk beradaptasi ke aspek produksi dan kreativitas. “Saya dan Carline mengarahkan energi dan fokus untuk berkarya dan berkreativitas,” ungkap Ria.

Pada 2020, Cotton Ink memproduksi masker berbahan katun yang dibuat berlapis, sehingga bisa diisi masker bedah atau tisu untuk perlindungan ekstra. Juga, melahirkan inovasi dengan meluncurkan koleksi perdana sustainable fashion bertajuk Pastel Whimsical, berkolaborasi dengan tekstil Tencel.

Carline sependapat mengenai kreativitas di masa pandemi. Misalnya saja, dia meluncurkan bisnis kuliner, Carlino Bakes. “Bisnis ini awalnya gara-gara saya stres di rumah. Saya juga ingin membantu Mama yang hobi baking. Jadi, Mama yang baking, saya yang bantu jual. Tapi, sekarang entah kenapa malah jadi UMKM yang serius berbisnis. Awalnya sekadar hobi, sekarang malah kami pindah ke ruko yang ada dapur komersialnya,” Carline menjabarkan.

Kembali ke bisnis Cotton Ink, Carline berupaya mempersiapkan dan mengeksekusi rencana bisnis. “Kami melakukan diversifikasi brand. Sebelum pandemi, kami sedang mempersiapkan untuk launching dua brand. Pertama, brand occasion wear bernama Studio Asa, waktu itu kami sedang produksi. Yang kedua, brand women’s wear dan men’s wear bernama The Life Of. Kedua label brand ini ada di segmen harga yang higher end,” ungkapnya.

Mereka mengapresiasi pegawai yang mendukung rencana bisnis. Rutinitas menjalin komunikasi yang terbuka kian meningkatkan produktivitas pegawai dan menyokong rencana bisnis Cotton Ink. Selain dari pegawai, Ria dan Carline juga mendapat dukungan dari keluarga. “Peran keluarga sangat besar. Suami saya punya pekerjaan yang setipe dengan pekerjaan saya. Jadi, kami saling menguatkan. Urusan domestik pun kami bekerjasama,” ucap Ria.

Setali tiga uang, Carline menyebutkan hal yang sama. “Dukungan keluarga tidak cuma dari keluarga sendiri, tapi juga dari keluarga Ria, ” ujarnya. “Pada akhirnya, kita sebagai manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri,” Ria, kelahiran 4 Juni 1987, menambahkan. (*)

Andi Hana Mufidah Elmirasari & Vicky Rachman

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved