Leaders zkumparan

Robert Budiarto Widjaja “Kalau Kompetensi Kuat, Kita Tidak Perlu Takut”

Robert Budiarto Widjaja “Kalau Kompetensi Kuat, Kita Tidak Perlu Takut”

Robert B. Widjaja (kini 81 tahun), bersama saudaranya, Johny Widjaja (84 tahun), merupakan pemegang saham mayoritas perusahaan distribusi ternama, PT Tigaraksa Satria Tbk. (TS). Kepemilikan Robert di perusahaan ini diwakili putrinya, Chandra Natalie Widjaja, yang duduk selaku komisaris.

Robert Budiarto Widjaja

Orang tua Robert dan Johnny mendirikan Tigaraksa, yang semula merupakan perusahaan perkebunan karet. Kemudian, TS lahir tahun 1986 sebagai pemisahan divisi distribusi fast moving consumer goods dari PT Tigaraksa Holding. Untuk memulihkan keadaan perusahaan yang dalam kesulitan, pada 2005 Robert dipercaya sebagai Presdir TS. Saat itulah ia memperkenalkan sejumlah pendekatan manajemen modern, seperti sistem Activity Based Costing (ABC) dan Economic Value Added (EVA).

Selama beberapa tahun terakhir, Robert masih mendukung TS dengan posisi sebagai advisor. Hampir setiap hari, dalam usianya yang cukup lanjut, ia masih ngantor. Sepulang dari kantor, ia biasanya melanjutkan hobinya membaca dan menulis buku. Hingga saat ini sudah ada enam buku yang ditulisnya: empat buku manajemen dan dua novel.

Berikut ini petikan wawancara dengan Robert mengenai pandangan dan sarannya terhadap dunia bisnis menghadapi situasi ekonomi saat ini.

Apa pengalaman situasi krisis yang pernah Anda hadapi?

Pada awal beroperasi, Tigaraksa mendapatkan hak distribusi minyak goreng Filma. Namun di tahun 1992, Presdir Tigaraksa Satria (TS) mengundurkan diri dan mendirikan perusahaan distribusi baru bersama prinsipal Filma. Ini diikuti direktur serta beberapa manajer dan staf yang ikut meninggalkan TS. Hal ini mengakibatkan krisis pada tingkat direksi. Waktu itu dengan cepat saya merekrut eks manajer senior dari Tigaraksa Holding untuk menjadi presdir.

Tahun 1993, TS membeli saham Sari Husada. TS mengalami masa kejayaan pada 1994-97, tetapi menghadapi krisis moneter 1997. Dulu kami juga sangat tergantung pada produk Sari Husada, yang kemudian dijual kepada Nutricia (Belanda) pada 1999.

Selain itu, banyak orang berpikir bahwa sales & distribution adalah bisnis yang tidak memiliki masa depan. Termasuk, Boston Consulting. Alasannya, prinsipal akan berhubungan langsung dengan para peritel.

Nah, sekarang kenyataannya apakah kami sangat bergantung pada prinsipal? Saya rasa sudah tidak. Kami sekarang mempunyai hubungan interdependent, saling membutuhkan. Kuncinya adalah karena kami memiliki kompetensi, sehingga peran kami dibutuhkan.

Kalau dilihat sekarang, justru peran distributor makin penting. Walaupun kini sekarang ada banyak e-commerce, problem yang mereka hadapi adalah justru pada distribusi dan logistik.

Bagaimana Anda membantu perusahaan keluar dari krisis?

Saya terinspirasi model manajemen St. Gallen untuk menyusun model perusahaan yang memadukan berbagai teori manajemen dan semua aktivitas TS, sehingga seluruhnya terintegrasi dalam sistem yang holistik. Hal ini sudah diterapkan sejak 2005, ketika saya menjadi presdir.

Ketika saya berusia 60 tahun, saya intens mempelajari berbagai teori manajemen. Semua wisdom kemudian saya tuangkan ke dalam buku Model Manajemen Tigaraksa Satria yang diterbitkan pada 2017, yang digunakan untuk internal perusahaan.

Sebagai contoh, perubahan mendasar yang harus dilakukan perusahaan adalah mengubah dari struktur organisasi berbasis fungsi yang berfokus pada produk menjadi struktur organisasi berbasis proses yang fokus pada market/customer. Prosesnya dimulai dengan kebutuhan dan permintaan customer.

Kemudian, kompetensi yang ada harus bisa dieksekusi. Saya tidak menyukai kata implementasi dan planning, tetapi lebih suka menggunakan istilah eksekusi dan program.

Apa prinsip manajemen yang harus dipegang pengusaha?

Model manajemen itu dasarnya adalah value. Kita pun harus paham siapa itu stakeholder, yaitu orang atau kelompok orang yang penting bagi perusahaan untuk bisa sukses. Perusahaan membutuhkan mereka, dan perusahaan juga perlu memberi nilai pada mereka.

Contohnya, stakeholder yang paling penting adalah customer. Karenanya, kunci paling penting adalah melayani customer. Sebagai kompensasi dari uang pelanggan yang diinginkan perusahaan sebagai sumber revenue, perusahaan mesti memberikan suatu value proposition.

Lalu, apa hal-hal penting yang harus dimiliki para pebisnis saat ini?

Mereka mesti memiliki suatu gambaran atau pemikiran yang berdasarkan knowledge, meskipun juga ada juga perasaan, keinginan, kehendak, dan cita-cita yang ingin dicapai. Selain itu, mereka juga perlu berpikir secara sistem (system thinking).

Pengalaman saya, satu hal yang saya gunakan untuk memotivasi direksi adalah prinsip EVA (Economic Value Added) dan ABC (Activity Based Costing). Saya juga tidak memakai ukuran net operating profit after tax (NOPAT), tetapi saya rombak menjadi dividend policy dan bonus policy. Ini ukuran-ukuran yang lebih fair.

Lalu, bagaimana Anda menularkan wisdom ke generasi penerus?

Ya, kalau mereka tidak mau membaca, tidak ada gunanya. Kalau generasi penerus cuma maunya didongengkan, akan sulit.

Di tengah situasi ekonomi yang sulit ini, apa prinsip yang semestinya dipegang oleh para pebisnis?

Sebenarnya kalau kita mempunyai kompetensi yang kuat, kita tidak perlu takut. Sekarang misalnya, kalau perusahaan logistik dari luar mau masuk ke Indonesia, mereka tidak bisa berkutik, karena kita tidak kalah dengan mereka. Karena itu, hal terpenting adalah stop functional thinking, Ubahlah menjadi system and process thinking. Banyak hal yang bisa diatasi dengan cara berpikir ini. (*)

Joko Sugiarsono & Jeihan K. Barlian


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved