Covid 19

Belajar dari Pengalaman Salsabeela sebagai Penyintas COVID-19

Salsabeela Co-Founder dan CMO Storialco, penyintas Covid-19 (foto dari Instagram Salsabeela)

Salsabeela Co-founder dan CMO Storialco dan Nulisbuku, startup yang mengembangkan situs berbagi cerita dan self-publishing berbasis online ini baru saja sembuh dari COVID-19. Selama berhari-hari ia melawan virus ini di kamarnya. Ia memang memutuskan untuk karantina sendiri, dengan alasan tubuhnya tidak memerlukan alat perawatan khusus medis untuk mengatasinya.

Wanita lajang yang sekarang tinggal di Bali ini, mengaku sejak bulan Maret sudah menjalani pekerjaan secara remote, tidak ke kantor, semua rapat dan pertemuan dilakukan secara virtual, baik dengan anak buah maupun dengan rekan bisnisnya. “Saya merasakan proses penyembuhan yang sangat melelahkan, tapi juga sangat bersyukur tidak ada gejala berat yang terasa,” tuturnya.

Diceritakan Llia, sapaan akrabnya, berawal dari teman serumahnya yang batuk-batuk, namun mereka menganggap itu sakit flu biasa saja. Tentu saja ini pelajaran yang bisa dipetik, meski menurut Llia ia tidak pernah berdiri terlalu dekat dengan temannya itu, kalau pun duduk berhadapan, itu dilakukan di meja makan semi outdor jadi bukan di ruang tertutup, tidak menjamin akan aman tidak tertular.

“Saya tidak mengira akan tertular, karena saya tidak dalam kondisi stress, stamina tubuh pun bagus. Saya menjalani hidup di Bali dengan santai dan bahagia,” ungkap wanita dengan follower di Instagram 12 ribu lebih. Menurutnya, bisa jadi, saat virus itu menyerang, imunitasnya sedang turun. Llia bersaksi bahwa COVID-19 bukanlah virus flu biasa.

Gejala awalnya memang mirip flu biasa, tapi apa yang dirasakan Sisi teman serumahnya, kemudian luar biasa. Bermula dari rasa tidak enak badan, sakit tenggorokan selama 2 hari, kemudian ia merasakan kehilangan indera penciuman menghilang. Llia dan Sisi kemudian memutuskan melakukan test PCR.

“Kami melakukannya di klinik Fullerton dengan biaya Rp 1,5 juta dan baru didapat hasilnya 3 hari kemudian karena sampel harus dikirim ke Jakarta. Sakit tapi cuma sebentar. Bagi saya, swab test itu, super tidak nyaman, tapi perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi saya,” tuturnya. Menurut Llia, berdasarkan informasi yang didengarnya, kasus COVID-19 di daerah dia tinggal saat itu sedang meningkat pesat. Untuk diketahui, area rumah Llia, merupakan kawasan turis Jakarta tinggal, yang datang ke Bali hanya berbekal hasil rapid test. Saat itu sedang ramai kunjungan turis dari Jakarta.

Setelah tiga hari, Llia mendapat kepastian hasil swab-nya melalui pesan Whatsapp dengan format Pdf, bahwa ia dinyatakan positif COVID-19. “Saya langsung trace back sekitar 5 hari ke belakang siapa saja yang bertemu dengan saya, lalu saya menginfokan agar mereka bisa self-quarantine atau swab test untuk mengetahui kondisi mereka. Alhamdulillah, semuanya baik dan sehat. Saya sendiri memutuskan untuk karantina mandiri di rumah saja,” kata wanita yang juga penulis 30 buku ini.

Demam mulai ia rasakan di hari ketiga dengan suhu tubuh di kisaran 37–38 derajat celcius, tapi berlangsung terus menerus selama 9 hari. Lila merasakan kehilangan indera penciuman dan pengecapan pada hari keempat. “Makan apa pun tidak terasa, nafsu makan hilang. Lumayan bisa makan dan sangat membantu itu buat saya salad, buah, sup. Selain itu, agak sulit ditelan,” ungkapnya.

Merasakan sendiri sebagai penyintas COVID-19, Llia memahami, virus ini berbeda dari virus-virus lain sepanjang hidup yang ia tahu. Memang efeknya berbeda tiap orang, tergantung imunitasnya. “Ketidakpastian ini yang mengerikan, karena setiap hari, saya tidak tahu apakah malam ini saya akan ‘aman’ atau berpotensi memburuk,” tuturnya.

Menurut Llia, virus Corona baru ini, penyakit yang menguras fisik dan mental kita. Kaerna secara fisik, kita harus beradu stamina dengan si virus. “Demam selama 9 hari itu sangat melelahkan, saya sudah hampir menyerah dan pergi ke RS karena lemas. Bahkan mau minum saja sepertinya tidak ada tenaga,” katanya.

Tapi ia berpikir, kalau ke rumah sakit, belum tentu membantu karena kemungkinan kapasitas penuh dan tenaga medis pun dalam kondisi kelelahan luar biasa. Ia bersyukur tidak batuk dan juga tidak mengalami masalah pernapasan selama sakit.

Merasakan sakit, tidak bisa dirawat oleh siapa-siapa itu, membuat mental drop. Sedang sakit yang kemungkinan mengancam nyawa, semua harus diurus sendiri, makanan, obat, vitamin bisa dibeli online. Sangat repot ketika obat tidak bisa dibeli online, untuk yang tinggal sendiri karena tidak bisa minta tolong siapa pun untuk membeli.

“Saya beruntung, punya sahabat-sahabat dan keluarga yang membantu, mulai dari mengirim berbagai macam jenis jahe, buah-buahan, makan siang, obat, moral support via whatsapp, my insurance agent make sure I’m covered kalau harus ke rumah sakit, hingga ada yang mengirimkan reiki energy healing,” katanya. Maka itu ia berterima kasih pada sepupunya yang perawat, yang membantunya memandu dari jarak jauh dalam proses penyembuhan. Setelah 9 hari demam, atas saran sepupunya, yang berkonsultasi dengan dokter, Llia minum antibiotik. Malamnya, ia berkeringat sampai harus ganti baju 5 kali.

“Di hari ke-10 demam saya turun dan penciuman saya pelahan-lahan kembali. Hal pertama yang bisa saya cium adalah bau minyak kayu putih. That’s the best minyak kayu putih I ever smell. Kemudian pelan-pelan saya mulai bisa mencium bau coconut shampoo saya saat sedang mandi, dan bisa mencium harum pelembut dari baju yang baru saya laundry. Sangat bersyukur sekali dengan hal yang biasanya saya take for granted,” kata Llia.

Selama sakit, Llia istirahat total, menghindari berpikir terlalu berat agar energinya total untuk penyembuhan. Yang dilakukan Llia, selama 2 minggu, menonton berbagai serial yang menghibur. Di hari ke-16, ia sempat jadi pembicara pada sebuah event online dan melakuan beberapa meeting online.

“Bicara selama 2 jam saat itu membuat saya kewalahan. Saya merasa napas agak ngos-ngosan dan kehilangan konsentrasi, kadang saya bingung apa yang harus saya katakan selanjutnya, atau sudah tau apa yang mau diomongin, tapi stuck nggak keluar jadi kata-kata. Saya baru sadar kalau Covid-19 masih meninggalkan bekas-bekas di tubuh saya,” katanya.

Lila sempat panik ketika mendapat informasi tentang kondisi Happy Hipoxia yang bisa membuat mati mendadak penderita COVID-19. Ini membuat nafasnya pendek-pendek. Ia sangat takut kalau sesak nafas pendek, saturasi oksigen dalam tubuhnya turun. “Untuk menekan ketakutan saya, saya segera ke klinik Hydro Medical untuk mengukur saturasi oksigen dan tekanan darah, ternyata semuanya bagus dan normal. Saya langsung lega dan sembuh seketika Inilah yang namanya psikosomatis. Jadi, please kalau lagi sakit jangan lihat-lihat media sosial, bisa tambah sakit,” sarannya.

Setelah seminggu merasa sembuh , mendadak ia merasa kedinginan dan agak menggigil. Tiap kali ini menyerang secara acak dalam sehari, ia akan merasa lemah, capek dan kehilangan kemampuan untuk konsentrasi. Sangat sulit untuk menjadi produktif. “Saya pun membaca tentang Long Covid, ini sempat membuat saya stress, karena konon bisa berbulan-bulan, bahkan permanen. Tiap hari merasa sakit selama berminggu-minggu itu sangat melelahkan. Saya pun merebus jahe, kencur, sereh, minum vitamin, pake minyak kayu putih tiap hari selama sebulan itu melelahkan,” ungkapnya.

Sakit ini menurut Llia mengajarkannya menjadi jauh lebih sabar, sabar menghadapi sakitnya dan menjalani proses penyembuhan. Jika sakitnya sedang menyerang, ia diam saja sambil memperhatikan, merasakan sakitnya dan biasanya sakitnya akan hilang begitu saja seperti mengalir keluar dari tubuhnya. “Saya sabar, tapi juga tidak berhenti berusaha. Untuk membantu tubuh saya, saya mulai memperbaiki pola makan saya dengan bantuan nutrition coach, banyak makan sayur dan buah, banyak minum air putih dengan target pipis 8 kali sehari, dan minum berbagai macam vitamin dan herbal yang bisa membantu untuk meningkatkan imunitas saya, Alhamdulillah tepat di hari ke-30 sejak saya sakit, saya tidak punya keluhan ’sisa covid’ yang mengganggu lagi,” kata Llia.

Ia pun melakukan ‘stress test’ di fisik dan mental, mencoba aktivitas memanjat, hingga menjadi pembicara sebuah webinar dengan topik yang sulit selama 2 jam. Llia tidak merasakan ada yang aneh, sejak itu ia merasa telah kembali normal. Apakah saya akan test PCR lagi? “Tidak. Karena menurut referensi terpercaya yang saya baca, saya sudah tidak menular sejak hari ke-14 dan karena test PCR jumlahnya terbatas, lebih baik orang lain yang lebih memerlukan yang menggunakannya,” tegasnya. Llia pun banyak mengonsumsi vitamin saat ini, dan tetap menggunakan masker, ia pun memilih menggunakan masker medis saat aktivitas ke luar.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved