Next Gen zkumparan

Risa Santoso, Lulusan Harvard yang Jadi Rektor Termuda

Risa Santoso, Lulusan Harvard yang Jadi Rektor Termuda
Risa Santoso,Rektor Institut Teknologi & Bisnis ASIA.
Risa Santoso,Rektor Institut Teknologi & Bisnis ASIA.

Nama Risa Santoso sempat ramai jadi perbincangan publik ketika pada 2 November 2019 dilantik sebagai Rektor Institut Teknologi & Bisnis ASIA. Pasalnya, ketika dilantik sebagai rektor perguruan tinggi swasta yang berlokasi di Malang, Jawa Timur itu, usia Risa baru 27 tahun, sehingga ia menyandang status sebagai rektor perguruan tinggi termuda di Indonesia.

Risa memang bukan lahir dari keluarga biasa. Ia tak lain putri pengusaha dan trainer ternama dari Jawa Timur, Tanadi Santoso, MBA. Sebagai entrepreneur, Tanadi mendirikan dan memimpin perusahaan desain SAM CGI dan lembaga pelatihan Business Wisdom Institute (BWI). Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah tinggi dengan program D-1, S-1, dan S-2 di Malang, yang tampaknya merupakan cikal-bakal Institut ASIA.

Institut ASIA, sebagaimana dijelaskan Risa kepada Andi Hana dari SWA, merupakan perguruan tinggi swasta di Malang dengan basis ilmu teknologi dan bisnis. “Perguruan tinggi ini merupakan penggabungan dari dua sekolah tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer,” katanya. Perguruan tinggi ini mengelola dua fakultas, yakni Fakultas Teknologi dan Desain serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis, juga sebuah Program Pascasarjana (Magister Manajemen).

Orang mungkin saja menilai Risa terpilih sebagai rektor karena dia putri Tanadi. Namun, dengan logika sederhana saja, ia tak akan dipilih untuk memegang tanggung jawab besar itu bila dinilai tak memiliki kemampuan. Perempuan kelahiran 27 Oktober 1992 ini dipercaya karena dianggap punya bekal kompetensi yang sudah memadai.

Dari segi latar belakang pendidikan, Risa menjalani studi S-1 di Jurusan Ekonomi, University of California, Berkeley, yang ditempuhnya pada 2012-2014. Setelah itu, ia langsung mengambil program S-2 (Master of Arts) Jurusan Pendidikan di salah satu universitas terbaik di dunia, Harvard University, pada 2014-2015.

Dari segi pengalaman kerja, selama masa pendidikan di luar negeri, Risa pernah mengikuti beragam pelatihan kerja. Antara lain, menjadi tutor mata kuliah Ekonomi, Matematika, dan Statistika di Diablo Valley College.

“Saya juga harus meningkatkan kualitas kampus dan pembelajaran, serta membuat inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan.” Risa Santoso, MA Ed., Rektor Institut ASIA

Selulus dari Harvard, Risa pernah menjadi Tenaga Ahli Muda di Kantor Staf Presiden (KSP), yang dijalaninya pada Agustus 2015-Februari 2017. Setelah mengabdi di KSP, ia bekerja sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di Business Wisdom Institute, selama dua tahun sembilan bulan. Selepas itu, ia dipercaya mengemban jabatan sebagai Direktur Pengembangan Institut ASIA, yang dijalaninya selama dua tahun sepuluh bulan sejak Februari 2017. Hingga kemudian, pada 2 November 2019 ia dipercaya menjadi Rektor Institut ASIA, yang diembannya hingga saat ini.

Di luar itu, keterlibatan Risa di bidang pendidikan karena ketertarikannya pada bidang ini. “Saya sebenarnya adalah tipe orang yang mudah tertarik (easily interested) mengenai suatu hal. Saya menikmati jalan saya sekarang, meskipun entah bagaimana ke depannya,” kata perempuan yang kini berusia 29 tahun ini.

Ia menceritakan pengalaman yang mengesankannya ketika semasa kuliah mengikuti seminar tentang perkembangan sebuah negara. Ia terkesan dengan presentasi salah seorang pembicara, bahwa suatu negara bisa berkembang kalau bisa menyediakan “safety, health, infrastructure, and education.” “Waktu itu saya jadi berpikir, banyak hal yang bisa kita akses dengan pendidikan. Pendidikan adalah enabler,” katanya.

Tugas utama Risa sebagai Rektor Institut ASIA adalah memastikan institusi pendidikan tinggi ini berjalan dengan lancar. “Saya juga harus meningkatkan kualitas kampus dan pembelajaran, serta membuat inovasi-inovasi baru di bidang pendidikan,” katanya.

Selama masa pandemi ini, menurutnya, up and down sangat terasa. Selama pandemi, seluruh pembelajaran di Institut ASIA dilakukan secara online. Namun, beberapa waktu terakhir, mulai dicoba pola hybrid; kelas yang banyak praktiknya tetap dilakukan secara offline.

Hingga saat ini, selain merenovasi beberapa infrastruktur kampus, pihaknya tengah mengembangkan sistem digitalisasi pembelajaran, agar mahasiswa tidak merasa kelas-kelas online hanya seperti kelas offline yang dibuat online. “Kami berupaya merancang bagaimana dengan adanya kelas online, pengalaman belajar yang mereka rasakan lebih baik dan memudahkan,” ia menjelaskan.

Salah satunya, mengembangkan asynchronous learning dengan memanfaatkan fasilitas YouTube atau website untuk pembelajaran seperti Coursera. “Maksudnya, supaya teman-teman mahasiswa bisa belajar berulang kali dari topik yang kami siapkan,” kata Risa, yang mengaku meskipun menjadi rektor, ia masih mengajar 2-3 kelas sehingga tetap bisa berinteraksi dengan mahasiswa.

Ia meyakini, dengan perkembangan teknologi, proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif. “Orang-orang yang effort-nya lebih besar akan menghasilkan output yang lebih besar juga,” ujarnya tandas. Contohnya, di Institut ASIA, mahasiswa berkesempatan mengambil kelas internasional di perguruan tinggi kerjasamanya di Filipina. Mahasiswa yang mau mencoba hal itu diyakininya akan memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak.

Risa mengakui, ajaran ayah-ibunya ikut membentuk dirinya saat ini. “Ayah dan ibu saya mengajarkan tanggung jawab, dimulai dari hal-hal kecil, seperti kalau janjian tidak boleh terlambat,” ungkapnya.

Risa juga mengingat ajaran ayahnya dalam hal pengambilan keputusan, bahwa keputusan yang diambil ada yang berdampak jangka panjang dan ada yang berdampak jangka pendek. Menurut sang ayah, kalau keputusan yang akan diambil berdampak jangka panjang, harus dipastikan sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan diri sendiri. Adapun kalau keputusan itu berjangka pendek, just do it, dan jangan berlama-lama mengambil keputusan.

“Karena itu, setiap saya akan mengambil keputusan, saya selalu berpikir secara objektif apa saja dampak yang akan muncul,” ungkapnya. (*)

Joko Sugiarsono & Andi Hana Mufidah Elmirasari

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved