Mata-mata Bisnis nan Cerdas
Bahan baku, mesin, SDM dan modal, sedari dulu sudah dianggap sebagai aset penting perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa yang dibutuhkan pelanggan. Data? Rasanya belum banyak perusahaan yang menganggapnya sebagai aset berharga (seperti halnya faktor-faktor produksi yang sudah disebutkan tadi).
Larry Downes, konsultan strategi dan pengarang buku Unleashing the Killer App and the Strategy Machine, berani memperkirakan bahwa kebanyakan perusahaan berhasil menarik nilai (manfaat) hanya dari 20% data mereka. ?Bagi banyak perusahaan, data yang belum dimanfaatkan masih merupakan sumber produktivitas dan keunggulan kompetitif yang tersembunyi,? ujar Downes.
Tentu saja, potensi data yang belum tergali itu barulah bagus jika kualitas datanya sendiri juga oke. Sekarang semakin banyak perusahaan yang menerapkan aplikasi korporat semacam ERP, SCM, ataupun CRM. Pendeknya, proses bisnis dari hulu ke hilir makin terotomatisasi. Dalam perjalanan proses bisnis ini, beragam data bisa saja bermunculan (dihasilkan). Kalau sekadar dikumpulkan, tak jarang bisa seperti banjir informasi. Nah, tanpa aplikasi yang pas, akan sulit memilih dan memanfaatkan timbunan data tadi untuk membantu proses pengambilan keputusan bisnis yang lebih baik. Padahal, di tengah persaingan bisnis yang makin ketat, tak cocok lagi bila perusahaan mengambil keputusan bisnis ?- apalagi yang strategis — hanya berdasarkan feeling atau instink.
Belakangan memang berkembang aplikasi khusus yang dipakai untuk memilah dan mengolah tumpukan data menjadi laporan atau informasi yang siap pakai dan bernilai tinggi. Secara generik, aplikasi itu disebut business intelligence (BI). Aplikasi ini, antara lain, bisa dimanfaatkan perusahaan untuk kebijakan memangkas biaya (cost cutting), melayani dan meretensi pelanggan dengan lebih baik, membuka peluang bisnis baru, membuat data aplikasi semacam ERP bisa menjadi laporan yang mudah diakses dan digunakan, merespons dengan cepat permintaan pelanggan serta mengoptimalkan kebijakan pricing. Dengan BI, ibaratnya para eksekutif bisnis tinggal mengiris dan memotong (slice and dice) data siap pakai yang diperlukan, ketimbang mesti memelototi laporan yang rumit dan bertele-tele. Dalam praktik, biasanya BI dijalankan berdampingan dengan sistem data warehousing (semacam sistem untuk mengumpulkan data dari berbagai proses bisnis).
Di pasar kini cukup banyak tersedia software BI, baik yang berupa software eksklusif maupun sebagai bagian dari aplikasi terpadu yang ditawarkan vendor. Vendor tersebut antara lain Brio, Cognos, Hyperion Solutions, Informatica, MicroStrategy, IBM, Microsoft, Oracle, Panorama, SAS Institute, SAP dan QlikTech.
Survei yang dilakukan Forrester Research pada 2003 menunjukkan tren makin banyaknya chief information officer yang berminat mengimplementasikan BI di perusahaan mereka. Survei ini menemukan bahwa 45% dari perusahaan yang diriset berencana membeli software BI di tahun 2003. Itulah pula yang bisa menjelaskan mengapa beberapa vendor software BI penting seperti Cognos mampu melipatgandakan revenue mereka.
Isu yang paling sering diangkat kalangan manajemen perusahaan yang terkait dengan pentingnya aplikasi BI buat mereka adalah kebutuhan mendongkrak (levierage) kualitas data yang terkumpul dalam proses bisnis. ?Kami lihat sejumlah perusahaan yang sudah berinvestasi besar-besaran dalam hal ERP dan CRM merasa belum mampu melihat jelas big return yang mereka harapkan,? ujar Rebecca Wettemann, Vice President Nucleus Research. ?Mereka kemudian mulai memakai BI, dengan sedikit tambahan investasi, dengan harapan dapat menarik nilai tambah yang lebih besar dari sistem mereka.?
Ambil contoh FiberMark North America. Perusahaan yang memproduksi kertas dan kemasan khusus (specialty packaging) ini sudah menghabiskan dana US$ 4,5 juta untuk mengimplementasikan aplikasi ERP dari JD Edwards dan US$ 3,5 juta untuk database Oracle, tapi merasa belum bisa memperoleh data berharga dengan mudah. ?Secara tipikal, sistem ERP memang bagus dalam mengumpulkan data, tapi tak mampu memberikan laporan cukup berharga,? ujar Joel Taylor, Direktur Sistem Informasi FiberMark. Taylor kemudian memutuskan membeli aplikasi BI QlikView dari QlikTech –biayanya kurang dari US$ 75 ribu — dengan harapan dapat menangkap dan mengolah data dari sistem JD Edwards, data spreadsheet Excel, dan dari database Oracle dan Access. Data tangkapan dan olahan QlikView itu kemudian disimpan di server (sehingga juga mengeliminasi kebutuhan akan data warehouse).
Kini, 29 staf penjualan FiberMark tak perlu lagi repot-repot mencetak laporan penjualan yang setebal sekitar seribu halaman itu. ?Mereka cukup mencetak empat halaman saja, tidak lagi seribu,? ujar Taylor. Maklum, para tenaga penjualan ini bisa mengakses laporan itu dari sistem intranet korporat kapan pun mereka inginkan. ?Mereka hanya perlu dilatih sebentar, sekitar 15 menit, dan sudah bisa jalan,? kata Taylor lagi. Menurut perhitungannya, sistem tersebut telah mampu membiayai dirinya sendiri dengan penghematan yang berhasil dicapainya dalam 9 bulan, dari penghematan kertas, toner, dan sebagainya. ?Yang lebih penting lagi, kini para eksekutif dan tenaga penjualan bisa memperoleh data segar setiap hari,? katanya menambahkan.
Pengalaman lain dirasakan Quaker Chemical ketika pada 1999 CIO-nya, Irving Tyler, ingin membawa perusahaan ini sebagai satu entitas bisnis global. Selama ini Quaker Chemical punya 14 sistem transaksi. ?Kenyataannya, sistem ERP tidak cukup cerdas. Sebab, biasanya seorang manajer global yang bertanggung jawab terhadap penjualan dan hasil produk akan mencari informasi ke 14 sumber,? ujar Tyler. Ia sendiri lantas membangun sistem data warehouse untuk para pelanggan di AS dan Eropa serta untuk informasi produk, dan kemudian mengembangkannya sebagai sistem data warehouse global. ?Kalau kami tidak tambahkan kemampuan aplikasi penganalisis bisnis untuk sistem data warehouse itu, kami tak akan bisa beroperasi secara global,? ujarnya. Karena itulah, untuk mengakses data warehouse tadi dengan kualitas informasi yang lebih bagus, Taylor kemudian juga menginstal aplikasi BI berbasis Internet dari SAS. Menariknya, proses membangun sistem entitas global ini hanya memakan waktu tiga bulan.
Lebih menarik lagi pengalaman Motorola. Dengan mengonsolidasikan tampilan jaringan pemasok globalnya (menjadi single view) pada 2002, tahun lalu Motorola berhasil mencatat penghematan hingga US$ 2 miliar — sekitar US$ 140 juta darinya diperhitungkan berkat penerapan BI. Perusahaan perangkat komunikasi ini menggunakan aplikasi PowerAnalyzer dari Informatica untuk menganalisis data pembelian. Tujuannya, menjamin para buyer dari jaringan Motorola di seluruh dunia bisa meraih manfaat ketika bernegosiasi. Memang, aplikasi yang diinstal itu akan secara otomatis memberikan peringatan (alert) manakala mereka melewati ambang belanja (spending threshold) yang ditetapkan perusahaan. Kalau saja mereka bisa memperoleh harga dari vendor/pemasok 5% lebih rendah, itu sudah dianggap berarti sekali. ?Kalau Anda punya puluhan ribu vendor, ini isu besar,? kata Chet Phillips, Direktur TI Motorola.
Analisis yang dihasilkan berkat penerapan BI juga dapat menginspirasi perusahaan membuka peluang bisnis baru. Dengan memanfaatkan aplikasi BI, Quaker Chemical jadi tahu pasti, rencananya menjual dalam jumlah kecil ke pelanggan-pelanggan kecil secara langsung, adalah tak masuk akal. Sebagai gantinya, sejak dua tahun lalu Quaker mengembangkan strategi Value–Added Reseller (VAR) untuk para pelanggan kecil ini. Di setiap wilayah, Quaker memang mencari mitra lokal, yang punya produk komplementer dengan Quaker dan sudah bekerja sama dengan pelanggan yang lebih kecil lagi (smaller customer). Karena mampu mengelolanya secara efektif, segmen small customer kini memberikan kontribusi 5% bagi bisnis Quaker. Manajemen Quaker berharap, dengan terus memperbaiki strategi VAR, kontribusi segmen ini bisa meningkat hingga 25%.
Aplikasi BI ternyata juga mampu membantu perusahaan mengetahui dengan cepat mana produk yang hot dan mana yang melempem. TruServ, koperasi yang dimiliki oleh sekitar 7 ribu peritel anggota, menggunakan aplikasi Business Objects untuk mengidentifikasi mana saja produk yang tersimpan lebih dari 120 hari di salah satu dari 14 gudangnya. Koperasi itu kemudian memasukkan informasi itu ke aplikasi supply-chain dari JDA Software Group, yang secara otomatis akan memerintahkan penarikan barang tersebut dari gudang-gudang itu. Selanjutnya, barang-barang itu malah ditawarkan ke toko-toko ritel anggota dengan harga sama atau di bawah biaya produksinya. Dengan langkah ini, TruServ melaporkan mampu menghemat biaya inventory hingga US$ 50 juta pada 2002.
Selain itu, aplikasi BI itu juga membantu para manajer TruServ mengetahui di daerah mana saja promosi mereka berjalan dengan baik. Karenanya, mereka bisa mengarahkan distribusi barang mereka ke daerah tersebut ketimbang ke daerah yang dinilai gagal promosinya.
Yang tak kalah menarik, ternyata aplikasi BI juga membantu kalangan perusahaan menentukan harga (pricing) lebih baik. Keputusan pricing memang sebagian merupakan seni. Tapi berkat BI, perusahaan jadi lebih mampu mengolah data dalam jangka pendek untuk membantunya membuat kebijakan harga yang paling optimal. Contohnya, tadinya Ace Hardware hanya berharap bisa mendongkrak wholesale margin-nya sebesar US$ 19 juta setiap tahun. Kenyataannya, lantaran memanfaatkan aplikasi BI, Ace malah mampu meningkatkannya hingga US$ 175 juta.
Contoh lainnya, Fairchild Semiconductor. Sebelumnya, perusahaan ini menentukan harga sekitar 50 ribu jenis produknya secara manual, dan dilakukan setiap kuartal. ?Sering tidak konsisten dan tidak matematis,? ujar Bill Hall, VP Interface and Logic Fairchild. ?Banyak keputusan pricing yang hanya berdasarkan feeling,? tambahnya. Kini, setelah menggunakan aplikasi dynamic pricing berbasis BI, harga-harga yang sudah ditentukan bisa disesuaikan setiap minggu, sembari mempertimbangkan berbagai faktor semacam kondisi pasar dunia terakhir, biaya manufaktur, kapasitas pabrik, dan tingkat inventory.
Nah, pengalaman berbagai perusahaan di atas memperlihatkan banyak manfaat yang bisa dipetik perusahaan dengan memanfaatkan aplikasi BI. Toh, Rebecca Wettemann menyarankan agar perusahaan mengimplementasikannya dengan memancang harapan yang paling mudah dicapai. ?Sebaiknya, bangun infrastruktur yang sederhana,? timpal Irving Tyler, CIO Quaker Chemical.
7 Aturan Implementasi BI
Sumber: Rebecca Wettemann/Nucleus Research.