Manajemen Krisis Sang Pemenang
Hari-hari ini senyum sumringah selalu mengiringi gerak langkah Charlie E. Oropeza, Presiden Direktur PT Prudential Life Assurance (Prudential). Pemicunya adalah salinan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 08/K/N/2004 yang mengabulkan permohonan kasasi sekaligus membatalkan kepailitan Prudential. Hari-hari yang melelahkan dan menegangkan yang selalu diisi serangkaian meeting dari pukul 6 pagi sampai menjelang dini hari lenyap sudah. Kegembiraan pun terpancar di wajah 250-an staf Prudential dan lebih dari 8 ribu tenaga pemasar, serta sekitar 100 ribu nasabah.
Pembatalan kepailitan Prudential oleh MA memang sebuah kemenangan bagi tim manajemen, karyawan dan nasabah Prudential. Senin, 14 Juni lalu, saat salinan putusan pembatalan pailit itu diterima Prudential, itulah antiklimaks dari perjuangan tim manajemen Prudential menghadapi keputusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat yang memailitkan perusahaan asuransi asal Inggris yang beroperasi di Indonesia sejak 1995 itu.
Seperti banyak diberitakan, pada 23 April lalu Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit dari konsultan Prudential berkewarganegaraan Malaysia Lee Boon Siong. Vonis diketok Majelis Hakim karena Prudential dinilai tidak membayarkan utang yang telah jatuh tempo sebesar Rp 1,43 miliar. Buntutnya, Prudential otomatis tidak bisa melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia.
Tak ayal, pihak manajemen yang dikomandani Oropeza bergegas mengajukan kasasi. Mereka menilai putusan pailit itu salah kaprah. Pasalnya, dari sisi keuangan, perusahaan ini sangat solven. Lihat saja, aset kelolaannya mencapai triliunan rupiah dengan tingkat risk based capital (RBC) mencapai 255% per 31 Desember 2003. Angka ini jauh melebihi ketentuan minimal Departemen Keuangan yang mematok 100%. Terlebih, saham mayoritas (94,6%) perusahaan ini dimiliki oleh The Prudential Assurance Company Ltd. yang merupakan perusahaan asuransi kedua terbesar di Inggris. Selain di Indonesia, Prudential juga beroperasi di 12 negara dengan pengelolaan dana sekitar US$ 320 miliar sampai akhir 2003.
Selain mengajukan kasasi, berbagai upaya dilakukan manajemen untuk menghadapi badai tersebut. Sejak itu, wajah orang nomor satu di Prudential terlihat ekstra serius. Menghadapi keputusan pailit yang menggegerkan jagat industri asuransi di Indonesia ini, manajemen Prudential terlihat sigap. Ditemui di kantornya, secara terus terang Oropeza mengaku situasi selama dua bulan terakhir ini adalah situasi yang penuh tekanan dan butuh konsentrasi tinggi. ?Ini menyangkut pertaruhan reputasi Prudential,? katanya. Permohonan kasasi yang segera dilayangkan kepada MA, menurutnya, juga sebagai upaya membuktikan komitmen manajemen kepada para karyawan dan tenaga pemasar serta nasabah Prudential.
Diakui Oropeza, putusan pailit itu tak hanya ujian terberat bagi Prudential tetapi juga bagi dirinya sendiri. “Inilah ujian terbesar bagi kami sebagai executive management Prudential,” ujar Oropeza. Menurutnya, membangun percaya diri staf, agen pemasaran dan nasabah tidaklah mudah. Seperti dirinya, mereka mengalami dan merasakan situasi yang penuh ketidakpastian itu. Maka, sehari setelah dilayangkannya tuntutan pailit oleh pengadilan niaga itu, pihak executive management langsung membentuk tim khusus untuk menangani persoalan pelik tersebut. Ia sendiri yang memimpin tim itu dibantu Chief Operation Officer, Chief Financial Officer, Chief Agency Officer yang bertangung jawab atas penjualan, VP SDM, VP Komunikasi & Pemasaran Korporat, dan Direktur Government Relations. Tak cukup, Oropeza juga meng-hire jasa konsultan manajemen komunikasi dan public relations Indo Pacific, serta menggandeng tim pengacara dari Kemalsjah, Chemby & Svrilline.
Tugas utama tim ini adalah meng-update segala perkembangan yang terjadi dan merumuskan strategi untuk menghadapi perkembangan kasus tersebut. ?Terpenting lagi, bagaimana mengelola perusahaan agar tetap bisa berjalan di tengah situasi krisis itu,? ujarnya. Diakui Oropeza, ia dan timnya harus berpikir cepat dan memutuskan segala sesuatu dengan segera pula, sehingga keputusan yang diambil bisa segera dikomunikasikan kepada karyawan, agen, nasabah, kantor regional dan pusat Prudential, serta publik yang berwenang, seperti industri asuransi dan pemerintah. Upaya lobi dengan pejabat pemerintah, anggota DPR/MPR, Kedubes Inggris, kedubes negara-negara Uni Eropa, asosiasi perusahaan asuransi, dan asosiasi bisnis lainnya dilakukan tim krisis untuk memulihkan kepercayaan.
?Kami melakukan pertemuan setiap pagi, bahkan pagi hari sekali, untuk membahas perkembangan persoalan tuntutan pailit itu dan membahas pengelolaan bisnis perusahaan di tengah persoalan pailit itu,? papar Oropeza yang siang itu ditemani VP Komunikasi & Pemasaran Korporat Prudential, Nini Sumohandoyo dan Elina Ciptadi dari Indo Pacific PR. Selama masa penantian kasasi, secara maraton, Oropeza dan timnya menggelar rapat internal yang dimulai pukul 06.00 WIB dan baru selesai tengah malam, bahkan tak jarang dini hari. Begitu seterusnya yang otomatis membuat jam tidur tim penanganan krisis ini berkurang. Pasalnya, hari berikutnya kegiatan yang sama terus dilakukan tanpa jeda.
Tim ini memulai hari dengan memantau berita-berita seputar kepailitan Prudential yang memang memancing kontroversi. Berita itu lantas dianalisis untuk merumuskan bentuk komunikasi yang tepat guna menghadapi tanggapan atas perkembangan kasus yang tengah dihadapi. Dengan cara ini, dapat diputuskan langkah yang sebaiknya dilakukan esok hari. Pemantauan berita dan analisnya harus diputuskan sebelum waktu bergerak ke angka 07.30 WIB.
Pasalnya, pada jam itu giliran ia harus melakukan teleconference dengan pihak Prudential di Hong Kong dan London untuk melaporkan semua perkembangan. Kasus pailit Prudential ini memang tak hanya membuat Oropeza pusing tujuh keliling. Pihak manajemen Prudential global pun kelimpungan. Usai berdiskusi dengan para petinggi Prudential kantor pusat, menjelang siang giliran Oropeza didampingi timnya terutama dengan VP Komunikasi & Pemasaran Korporat melakukan pertemuan dengan pihak tertentu dari kelompok-kelompok yang berkepentingan secara langsung atau tidak langsung, seperti Kedubes Inggris, Uni Eropa, asosiasi bisnis, hearing dengan DPR, dan tak ketinggalan pertemuan dengan para karyawan, agen dan nasabah. ?Persiapan dokumen-dokumen yang diperlukan kami lakukan sendiri, termasuk mencari fotokopi yang buka 24 jam,? tuturnya. Maklumlah, para petinggi yang tergabung dalam tim krisis ini tak terbiasa menangani urusan administrasi seperti fotokopi, sehingga saat petugas sudah pulang terpaksa mereka sendiri yang turun tangan. Acap kali, karena tegang dan stres, ia dan tim tak bisa mengoperasionalkan mesin fotokopi di kantor. ?Terpaksalah mencari di luar,? tambahnya.
Di tengah serangkaian rapat itu, tim krisis juga selalu berupaya meredakan keresahan karyawan, agen dan nasabah Prudential. Tim lantas menggelar road show ke berbagai daerah, menyambangi karyawan, agen dan nasabah. Saat road show, tim krisis menunjukkan financial statement dan perkembangan paling anyar seputar kasus pailit itu, agar mereka merasa aman dan nyaman. Komunikasi secara intens sangat perlu agar mereka juga optimistis bahwa upaya kasasi yang ditempuh manajemen Prudential berbuah sukses. Untunglah, para karyawan dan agen mendukung penuh semua kebijakan dan langkah yang diambil manajemen. Termasuk, dukungan dari kantor regional di Hong Kong dan kantor pusat Prudential di London. Bahkan, dukungan dari perusahaan asuransi lainnya. Dukungan itu menambah semangat tim krisis untuk terus berjuang.
Strategi komunikasi kepada semua pihak yang terkait dilakukan secara terbuka, jujur, dan apa adanya. ?Bentuk komunikasi secara dua arah telah menjadi budaya perusahaan sehingga ada rasa saling kontrol antara manajemen dan karyawan,? tutur Oropeza. ?Transparansi dalam berkomunikasi atau pemberian informasi sangat diperlukan dalam manajemen krisis,? tambahnya. Bahkan, komunikasi lewat SMS pun ditanggapi serius oleh tim krisis dengan segera menjawab SMS yang masuk dan menjawabnya sesingkat dan sejelas mungkin. ?Kami memberlakukan sikap free willy untuk seluruh pihak yang mau bertanya tentang segala sesuatu mengenai perkembangan kasus pailit itu,? tuturnya.
Tim krisis juga menyiapkan amunisi menghadapi keadaan darurat, semisal permohonan kasasi ditolak dan Prudential tetap dinyatakan pailit. ?Kami juga sudah menyiapkan segala sesuatu seandainya keputusan yang terburuk kami terima,? kata Oropeza. Tim krisis ini juga membahas segala kemungkinan terbaik dan terburuk yang akan menimpa Prudential. ?Ini sudah merupakan bagian dari strategi bisnis perusahaan dalam menjalankan bisnisnya,? ungkap Oropeza. Ini sejalan dengan strategi manajemen Prudential di negara mana pun untuk selalu mempunyai berbagai perencanaan dalam menghadapi berbagai kemungkinan bisnis. Jika plan A tidak berhasil maka plan B yang dijalankan, jika tidak berhasil pula ya plan C, begitu seterusnya. ?Sebelum adanya tuntutan pailit pun Prudential sudah siap dengan kemungkinan itu,? sambungnya.
Bagi Nini, penerapan manajemen risiko tersebut sebagai upaya menghadapi segala kendala bisnis dan respons perusahaan menghadapi benturan, termasuk upaya mengatasinya. Upaya preventif itu menjadi bagian dari business plan Prudential yang sering dilakukan dalam bentuk simulasi. ?Kami telah siap dengan berbagai skenario bisnis. Jika situasi bagus, kami tahu skenario bisnis apa yang sesuai. Sebaliknya, jika buruk pun kami sudah siap dengan skenario yang cocok dengan situasi itu,? ungkap Nini.
Komunikasi intens yang dilakukan manajemen, diakui seorang karyawan Prudential, membuat dirinya sebagai karyawan merasa aman. Sikap optimistis yang ditunjukkan pihak manajemen, di mata karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya ini, tak pelak menulari para karyawan. ?Ulasan mengenai perkembangan kasus pailit dan upaya-upaya yang sedang dan akan dilakukan yang disampaikan manajemen membuat kami tambah optimistis,? katanya. Upaya komunikasi itu, menurut dia, sebagai bentuk penghargaan manajemen kepada karyawan. ?Bahwa karyawan adalah aset yang patut diakui keberadaannya,? tambahnya. Ia menilai komunikasi langsung yang disampaikan presiden direktur membuat informasi tidak menjadi simpang siur. ?Itu upaya manajemen yang patut saya hargai, jadi saya tidak perlu waswas,? tuturnya.
Hal senada diungkapkan salah seorang nasabah Prudential, Irma Dewi Irawati. Menurut Irma, satu hal yang membuat dirinya tetap yakin bahwa Prudential akan lolos dari kasus pailit adalah surat pemberitahuan yang diberikan pihak Prudential dan ditandatangani langsung presdirnya. Nasabah Prudential sejak Novemebr 2002 ini mengatakan, surat itu bukan fotokopi tetapi benar-benar asli dan berisi tentang segala hal menyangkut perkembangan kasus pailit Prudential. ?Ini membuat saya merasa aman dan nyaman karena menunjukkan salah satu bentuk komitmen tinggi Prudential terhadap nasabahnya,? ungkap konsultan SDM ini. Di matanya, upaya komunikasi itu patut dihargai. ?Ternyata mereka tidak sekadar jualan produk tetapi mereka tahu bagaimana memperlakukan konsumennya,? puji Irma. Ia sendiri mengetahui kasus pailit itu dari agennya sebelum kasus itu mencuat dan menjadi bahan berita di media massa.
Di mata pengamat manajemen dari Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Budi W. Soetjipto, penanganan krisis yang dilakukan Oropeza dan timnya sudah benar. Menurutnya, kunci utama manajemen krisis adalah komunikasi yang sifatnya jujur dan terbuka kepada karyawan, mitra bisnis dan nasabahnya dengan informasi yang selalu up to date dan fakta tentang apa saja yang sudah dan akan dilakukan pihak manajemen. ?Apa yang sudah dilakukan Prudential sudah benar dengan bentuk komunikasi yang terus-menerus dan mengelola perusahaan selayaknya kondisi normal,? ungkap Budi. Bentuk komunikasi yang memaparkan kondisi keuangan perusahaan yang sehat, sambungnya, cukup untuk memberikan keyakinan dan menumbuhkan percaya diri para karyawan dan tenaga pemasarnya.
Sikap empati yang ditunjukkan para executive management juga dinilainya sebagai bentuk sikap manajemen menempatkan dirinya sebagai bagian dari karyawan. ?Try to think as if you are an employee, sehingga lebih memahami kekhawatiran dan keresahan karyawan,? ungkap Budi. Dengan begitu, pihak manajemen dapat lebih mencermati apa saja yang menjadi kekhawatarin karyawan di samping komunikasi yang intens dan bukti konkret perusahaan dalam keadaan sehat, semisal tidak ada keterlambatan pembayaran gaji atau penundaan bonus. ?Hal itu dapat membantu mengembalikan percaya diri dan optimisme karyawan,? tambahnya.
Sikap optimistis dan penuh komitmen, menurut Oropeza, wajib dimiliki tim manajemen. ?Saya dan tim tidak ingin situasi pailit ini benar-benar terjadi karena saya merasa bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup karyawan dan agen,? tuturnya. Selain itu, tambahnya, manajemen memegang kepercayaan dari para nasabah, reputasi dan citra Prudential itu sendiri.
Kendala utama dalam menghadapi persoalan ini adalah kasus tuntutan pailit itu sendiri. Karena, ini yang pertama kali dialami Prudential, khususnya Prudential di Indonesia, Asia, bahkan Prudential Global. Secara jujur, Oropeza mengakui para executive member hingga Prudential tingkat pusat sedikit shock atas kasus itu. ?Sekalinya terlibat kasus, kasus itu langsung mempertaruhkan reputasi dan image Prudential,? ungkapnya. Meski selama ini sudah banyak simulasi sebagai bagian dari penerapan manajemen risiko, para petinggi Prudential cukup shock juga. ?Tak heran, semua executive member peduli, fokus dan committed untuk menyelesaikan persoalan ini,? tandasnya.
Bagi Oropeza, ada tantangan cukup menarik saat menghadapi kasus ini. Yakni, bagaimana para anggota tim harus bisa saling memotivasi dan memberi dukungan agar tidak patah semangat biarpun situasi emosi sedang down karena tekanan, sementara waktu terus bergulir. “Kadang kala, kalau tekanan sedang tinggi-tingginya, sering kali kami mempertengkarkan hal-hal yang sebenarnya maksud dan tujuannya sama cuma berbeda cara penyampaiannya. Di sinilah dibutuhkan peran sosok leader dan orang yang dewasa secara emosi,” Oropeza menuturkan.
Menurut Budi, untuk mengatasi krisis memang sangat diperlukan pemimpin yang mempunyai intelegensi atau kedewasaan emosi yang tinggi selain disiplin diri dan self assessment yang baik. ?Pemimpin harus bisa mengontrol emosi, bersikap positif dan optimistis meski sang pemimpin juga punya kekhawatiran. Sikap pretender diperlukan agar optimisme itu menular kepada karyawan, mitra bisnis dan nasabah,? tutur Budi.
Secara pribadi, Oropeza merasa tanggung jawab dan kedewasaan emosi dirinya sebagai seorang pemimpin, khususnya pada saat krisis, mampu teruji. Leadership dan teamwork adalah modal utama agar bisa keluar dari krisis dengan segala kemungkinan terburuk. “Bisa dibayangkan bagaimana tekanan emosinya. Kami harus tetap optimistis dan positive thinking sementara kami juga harus bisa me-manage kekhawatiran diri sendiri jika benar pailit itu terwujud, terutama tanggung jawab secara moral kepada karyawan dan nasabah yang disertai dengan berbagai penyelesaian hukum selanjutnya,? paparnya. Diakui Oropeza, sejatinya tidak mudah mengurai semua krisis yang membelit itu. ?Banyak tantangannya, terutama tantangan untuk meng-handle emosi diri sendiri,” ujar Oropeza.
Upaya konsolidasi internal pun bentuk tantangan lain dalam krisis manajemen. Memang, selain mencari rumusan strategi komunikasi dan upaya menghadapi pailit, pihaknya sebelumnya banyak mengkaji segala hal yang menjadi tuntutan sesungguhnya dari penggugat. Bahkan, menurut Elina, tindakan persuasif kepada pihak penggugat sejatinya sudah dilakukan jauh sebelum kasus itu bergulir ke pengadilan dan membuahkan vonis pailit bagi Prudential. ?Upaya penyelesaian secara damai sudah dilakukan dan bentuk tawaran kesepakatan,? katanya. Hanya saja, ternyata upaya itu mentok meski sudah dilakukan lewat para pengacara masing-masing pihak.
Sejak 14 Juni lalu, badai yang menghantam Prudential telah berlalu. Boleh jadi, itulah buah dari serangkaian upaya yang dilakukan tim krisis Prudential. Menurut Oropeza, rencana selanjutnya setelah lahirnya keputusan MA itu, Prudential akan tetap melakukan berbagai upaya komunikasi yang persuasif dan argumentatif untuk mengembalikan percaya diri karyawan, agen pemasaran, dan nasabah. Pihaknya tetap akan membangun citra yang lebih positif lagi, biarpun sekarang sudah positif di mata publik. “How to self sustained after crisis, itu yang penting dilakukan. Menjaga kepercayaan itu tidak mudah biarpun kami sudah pernah membuktikannya dengan pengalaman bisnis yang hampir 150 tahun oleh Prudential pusat,? paparnya. Sebagai perusahaan asing di Indonesia, menurut dia, seyogyanya pihaknya juga harus lebih bisa memahami situasi dan kondisi hukum yang berlaku di Indonesia.
Adanya gugatan pailit kembali terhadap Prudential yang marak di media massa selama seminggu terakhir ini tidak menyurutkan optimisme tim executive management Prudential agar bisa lolos dari krisis. “Situasi ini benar-benar menguji ketahanan mental dan fisik kami,? Oropeza mengakui. Optimisme Oropeza juga dipicu oleh prestasi yang telah dicapai Prudential pada masa suram beberapa bulan lalu. Meski awan hitam mengayuti Prudential, ternyata kepercayaan masyarakat kepada Prudential tidak luntur. Terbukti, sejak diputuskan pailit pada 23 April sampai 31 Mei, pihak Prudential masih mampu membukukan lebih dari tiga ribu polis baru. ?Ini prestasi yang luar biasa,? kata Oropeza.