Saatnya yang Etis Menang
Dikotomi ini sebenarnya bahan diskusi klasik dan merupakan penyebab dominan gagalnya kita membangun masyarakat bisnis yang etis sekaligus tumbuh dan maju atau masyarakat yang tumbuh dan maju dengan tetap menjaga etika. Titik awal kegagalan dimulai dengan paradigma semacam ini: Menjadi dosen berarti secara ekonomi kurang makmur; menjadi pengusaha berarti harus fasih dengan intrik dan daerah abu-abu; dan paradigma lain yang tumbuh di kalangan masyarakat.
General Manager Surabaya Plaza Hotel (SPH), Yusak Anshori, menceritakan pengalamannya menangguk keuntungan usaha justru melalui etika. Suatu saat setelah melalui diskusi dan pergulatan mental yang alot di antara karyawan SPH, diputuskan bahwa di wilayah reception ditulis pemberitahuan yang kira-kira berbunyi: Hotel kami tidak bersedia menerbitkan kuitansi yang tidak sesuai dengan fakta konsumsi jasa yang benar-benar digunakan oleh tamu.
Seperti kita ketahui praktik gross-up kuitansi dan penerbitan kuitansi palsu oleh hotel saat ini bukanlah hal tidak lazim untuk menarik tamu hotel. Peminat kuitansi semacam itu adalah para tamu hotel bermotif bisnis yang menginap dengan didampingi ABIDIN alias Atas BIaya DINas. Sehingga, pihak pemberi tugas harus membayar lebih mahal, sedangkan sebagian biaya dinas untuk akomodasi dan konsumsi bisa dijadikan tambahan penghasilan.
Pada minggu-minggu pertama para oposan ide penerbitan pengumuman itu dapat tersenyum simpul. Beberapa tamu hotel batal menginap atau mempersingkat masa tinggalnya. Namun setelah melewati bulan ketiga, mulai terlihat kenaikan occupancy rate secara konsisten dan signifikan. Selidik punya selidik, ternyata ini akibat kebijakan para employer yang biasa mengirim para karyawannya sebagai tamu di hotel yang dimaksud. Ada semacam aturan tak tertulis yang mewajibkan para karyawan yang melakukan perjalanan dinas ke Surabaya untuk menginap di hotel yang dimaksud dengan pertimbangan adanya jaminan kebenaran tagihan dan pengendalian biaya. Suatu pengalaman untuk mencapai ?tumbuh dan maju? justru bermula dengan mengambil langkah yang ?terhormat?.
Pengalaman tersebut seharusnya dapat menambah rasa percaya diri kita bahwa antara tumbuh, terhormat dan terpercaya bukan merupakan paradoks, melainkan ada simbiosis mutualistis. Seperti kata pengusaha Julius Tahija dalam bukunya Horizon Beyond: ?Ethical Behavior is always good business. The key is how you deal with people.? Momentum untuk menjalankan etika semakin menguat pascaskandal Enron dan skandal-skandal bisnis sejenis. Tantangan bagi kita adalah menerjemahkannya menjadi praktik bisnis di luar ruang seminar, kolom-kolom media cetak, serta diskusi media elektronik yang penuh idealisme.
Minimal ada dua hal yang bisa langsung kita lakukan tanpa menunggu terbitnya undang-undang ataupun perpu serta kebijakan-kebijakan baru dari pemerintah. Pertama, membangun jejaring pengusaha dan bisnis yang etis. Jejaring ini bersifat informal. Tidak diperlukan bentuk asosiasi, ikatan ataupun konsorsium. Semua itu hanya akan menjadi gelembung idealisme sesaat yang dihiasi upacara dan protokol. Jejaring ini mirip jejaring pengusaha Cina, jejaring alumni kampus biru ataupun jejaring Darul Arqam. Jejaring yang tersimpul oleh emosi, kesamaan keyakinan dan cita-cita. Dibuat secara tak tertulis daftar rekanan etik sebagai tiruan daftar rekanan mampu. Dan di dalam jejaring inilah digulirkan interaksi binis yang menjamin berlangsungnya bisnis yang hemat, terpercaya dan pada akhirnya memberikan keuntungan yang menjanjikan. Antarsesama pebisnis yang etis dapat dihemat biaya pengacara untuk menyusun perjanjian bisnis yang berlapis dan rumit. Juga, premi asuransi pembatalan pengiriman barang. Atau, biaya dan jaminan penerbitan garansi bank. Semuanya terjamin dengan sendirinya.
Kedua, membangun entry barrier yang bersifat virtual. Pelaku bisnis sehebat apa pun tanpa rekomendasi dari anggota jejaring pengusaha etis tidak dilayani untuk berinteraksi bisnis. Sesungguhnya jejaring pengusaha etis saat ini sudah eksis. Berinteraksi dengan nada suara rendah kadang terkesan inferior dalam menghadapi kenyataan perilaku usaha yang penuh trik dan manipulasi. Sudah saatnya para pengusaha etis menyuarakan ideaslime etikanya dengan lantang. Dengan asumsi bahwa bisnis yang etis adalah bisnis yang menguntungkan, maka dalam jangka yang tidak terlalu lama jejaring pengusaha yang etis akan semakin solid dan memiliki posisi bargaining yang dominan terhadap yang tidak etis.
Cara pandang dan pendekatan yang baru ini akan lebih ampuh dibanding pendekatan tradisional yang terbukti lemah untuk mengembangkan budaya beretika bisnis. Teringat saya pada iklan TV yang menggugat pemasangan teralis di rumah-rumah kita. Seharusnya para kriminal yang berada di balik terali penjara, bukan kita! Berlaku juga bagi para pengusaha. Pengusaha tidak etis yang seharusnya inferior, bukan yang etis.
____________________________________
Praktisi pengembangan SDM di Jakarta.