Pengusaha Tambang Keluhkan Lamanya Proses Perijinan
Pengusaha tambang batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Samarinda (APBS) Kota Samarinda, Kalimantan Timur terus mengeluhkan lamanya proses perijinan. Jangankan ijin baru, ijin perpanjangan masa produksi membutuhkan waktu hingga setengah tahun lebih.
Ketua APBS Kota Samarinda, Eko Prayitno mengatakan kondisi pengusaha batubara saat ini ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kondisi harga batubara dunia yang terjun bebas sudah membuat pengusaha terpuruk.
Menurut Eko, bila ditambah lagi masalah perijinan, tentu akan semakin mempersulit pengusaha yang jelas-jelas memperkerjakan orang dalam jumlah yang relatif besar. “Kondisi sekarang ini serba susah bagi kami pelaku usaha tambang batubara,” katanya saat dihubungi dari Samarinda, Kalimantan Selatan Selasa 6 Oktober 2015.
Eko bercerita bahwa dia mendapat laporan dari anggota untuk perpanjangan ijin saja, sudah enam bulan berjalan belum juga selesai. “Ini kan akan menunda usaha.”
Terpuruknya usaha pertambangan batubara memang menjadi pukulan tersendiri. Dari anggota APBS Samarinda yang semula lebih dari 20 pengusaha yang tergabung kini hanya menyisiakan tak lebih dari 10 usaha yang masih berjalan. Itu juga kata Eko seperti usaha yang hanya bertahan karena tak mungkin melakukan Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) lantaran membutuhkan biaya besar.
“Jadi yang masih bertahan skalanya menengah, istilahnya hanya bertahan saja sambul menunggu harga kembali normal,” kata dia.
Eko menceritakan masa jaya usaha tambang batubara di Kalimantan Timur, khususnya Samarinda sangat menunjang ekonomi daerah. Tenaga kerja yang terserap dari sektor ini juga sangat banyak.
Kalimantan Timur dikenal sebagai daerah penghasil batubara terbesar nasional. Roda ekonomi daerah itu sebagian besar ditopang dari usaha batubara.
Dia mengatakan ketika batubara booming, pengusaha terus mengeruk tanpa mempertimbangkan rasio ideal menambang, yang dikenal dengan istilah striping rasio 1:8. Artinya, satu kubik batubara berbanding dengan delapan kubik tanah. Para pengusaha masih berani berproduksi meski striping rasio 1 banding 20.
“Memang rasio ini berisiko, tapi pengusaha masih berani produksi. Tapi kalau sekarang, striping rasio 1 banding 8 saja sudah mikir panjang, biaya produksi saat ini sangat jauh lebih besar dari harga ekonomis batubaranya,” kata Eko.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo menerbitkan paket kebijakan ekonomi yang antara lain mempermudah perijinan bagi usaha dalam dan luar negeri di Indonesia. Pemerintah akan memangkas panjangnya jalur perijinan.